Press "Enter" to skip to content

Kompas Rusak Peta Bangsa | Narasi Kritis tentang Bangsa yang Terombang-ambing di Tengah Laut Kekuasaan

Esai

ilustrasi by pinterest

Kompas Rusak Peta Bangsa
Narasi Kritis tentang Bangsa yang Terombang-ambing di Tengah Laut Kekuasaan

Ada sebuah perahu besar bernama Indonesia. Perahu ini telah lama mengarungi lautan luas sejak pertama kali dinyatakan merdeka. Namun anehnya, walau sudah lebih dari tujuh dekade berlayar, perahu ini tak pernah benar-benar sampai pada tujuan yang dijanjikan: keadilan sosial, kemakmuran bersama, dan peradaban yang maju. Ia justru sering terombang-ambing, tersesat, bahkan kadang kembali ke pelabuhan yang sama hanya dengan bendera dan nahkoda yang berganti.

Setiap lima atau sepuluh tahun sekali, perahu ini mengganti nahkoda—presiden demi presiden mengambil alih kendali. Dengan semangat dan jargon baru, mereka berjanji akan membawa kapal ini menuju tanah harapan. Tapi setiap kali pergantian itu terjadi, kompas arah diganti, peta dilipat dan dibakar, diganti dengan skema navigasi baru yang seringkali tak berakar pada peta lama. Segenap kru kapal, yakni para pembantu dan elite kekuasaan, ikut memutar haluan, mengatur ulang jalur pelayaran, dan mulai lagi dari titik nol. Sementara rakyat, penumpang yang setia di geladak bawah, terus bertanya: “Kita ini sebenarnya mau ke mana?”


Di bawah rezim Orde Lama, Indonesia disebut ingin menuju jalan revolusi. Segalanya tentang anti-imperialisme, berdikari secara ekonomi, dan merdeka dalam politik luar negeri. Tapi kapal justru oleng dalam badai kudeta dan konflik internal yang berdarah. Lalu Orde Baru datang dengan janji stabilitas dan pembangunan. Peta baru digelar: ekonomi tumbuh, tapi kebebasan dicekik. Ketika kapal mulai terlalu dikendalikan segelintir tangan besi, badai reformasi menggulingkan segalanya.

Era Reformasi menjadi semacam pelabuhan darurat. Di sanalah kompas kembali diatur. Tapi sejak saat itu, tak satu pun rezim yang mampu membawa peta bangsa ke satu tujuan bersama yang utuh. Justru tiap presiden berlomba menuliskan sejarahnya sendiri. Mereka bukan pelaut yang membaca arah bintang, melainkan kompetitor yang sibuk menamai pulau dengan namanya, mendirikan monumen untuk dikenang, merancang sistem baru yang tak jarang menghapus fondasi yang telah dibangun sebelumnya.

Rakyat pun terus menjadi penumpang setia yang tidak pernah diajak berdiskusi ke mana kapal akan berlayar. Mereka hanya diberi informasi melalui pengeras suara di geladak: “Kami akan menuju kemajuan”, “Kapal kita akan hebat”, “Kita sedang berlayar menuju Indonesia Emas”. Tapi peta yang dipegang oleh awak kapal justru menunjukkan rute-rute lain—jalan pintas untuk investasi asing, jalur sempit untuk kepentingan partai, bahkan jalan mundur ke arah neoliberalisme yang mengaburkan batas antara rakyat dan pasar.


Lihatlah hari ini. Satu kebijakan pendidikan baru lahir hanya untuk dibongkar oleh presiden berikutnya. Rencana jangka panjang pembangunan nasional direvisi di tengah jalan. Program kerakyatan hanya sebentar eksis lalu lenyap digantikan skema ekonomi digital yang tak semua rakyat bisa ikuti. Bahkan hukum pun seperti layar yang bisa diubah arah angin sesuka nahkoda.

Kita hidup dalam bangsa yang tidak pernah memiliki kesinambungan, karena setiap penguasa ingin menjadi arsitek tunggal sejarahnya. Mereka tidak membangun dari pondasi yang telah ada, melainkan membongkar demi mendapatkan pengakuan sebagai “pemimpin perubahan”. Tidak ada estafet visi, hanya ego eksistensi. Di sini, sejarah bangsa bukan seperti jembatan yang dibangun bersama, melainkan panggung di mana setiap rezim menampilkan dramanya sendiri-sendiri.

Akibatnya, bangsa ini kehilangan arah. Kompas ideologi rusak—tak lagi menunjuk ke Pancasila yang substansial, melainkan hanya sebagai ornamen dalam pidato dan simbol kosong dalam birokrasi. Peta kebijakan pun penuh coretan dan sobekan, terlalu sering diganti sehingga kehilangan akurasi.


Dalam kapal yang goyah ini, siapa yang paling menderita? Rakyat biasa. Mereka yang terdampar dalam gelombang kebijakan yang berubah-ubah. Petani yang dulunya dijanjikan reforma agraria, kini kehilangan tanah demi proyek strategis nasional. Nelayan yang dulunya dibanggakan sebagai penjaga laut, kini terpinggirkan oleh tambang laut dan proyek reklamasi. Buruh yang dulu dijanjikan kesejahteraan, kini hidup di bawah bayang-bayang upah murah demi iklim investasi.

Kemajuan tidak pernah benar-benar hadir dalam wujud yang merata. Ia hanya mampir di dermaga elite: para pebisnis, pejabat, dan mereka yang dekat dengan kekuasaan. Sementara rakyat di dek bawah kapal, tetap berdesakan, memompa air yang masuk dari kebocoran-kebocoran sistemik: korupsi, ketimpangan, dan ketidakpastian masa depan.


Kita perlu bertanya dengan sungguh: apakah bangsa ini akan terus berlayar tanpa arah, ataukah kita harus memaksa para nahkoda untuk membaca kembali peta lama bangsa ini? Peta yang dituliskan oleh para pendiri bangsa dengan visi yang tak lekang oleh zaman—tentang keadilan sosial, tentang kemerdekaan sejati, dan tentang kemanusiaan yang adil dan beradab.

Tentu perubahan adalah keniscayaan. Tapi perubahan yang bijak adalah yang bertumpu pada kesinambungan, bukan kehendak individual. Kita tak butuh nahkoda baru setiap lima tahun yang datang dengan ego dan kompas barunya. Kita butuh visi bangsa yang tetap, yang menjadi panduan siapapun yang memegang kemudi. Kita butuh peta bersama yang tidak mudah dibakar oleh ambisi politis.

Selama kompas tetap rusak dan peta terus diganti, jangan harap kita akan sampai pada tujuan. Selama kekuasaan hanya jadi ajang perlombaan menulis nama dalam buku sejarah, rakyat akan terus jadi korban dari kapal yang berputar-putar dalam labirin laut kebijakan.

Dan sampai hari itu tiba—hari di mana bangsa ini benar-benar menemukan satu arah dan berjalan bersama—kita, rakyat, tetap akan menjadi pelaut yang hidup di atas kapal besar bernama Indonesia, namun tak pernah benar-benar tahu ke mana perahu ini akan berlabuh.


Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *