Opini
Analisis kritis tentang kegagalan kolektifitas yang hanya mengandalkan kebersamaan tanpa sistem. Studi kasus Revolusi Spanyol memperlihatkan dampaknya.
KOLEKTIF DAN ILUSI KEBERSAMAAN
Istilah “kolektif” hari ini sering dijadikan simbol kebersamaan. Kata itu terdengar hangat dan progresif. Ia memberi kesan setara, bebas, dan saling mendukung. Namun di balik semangatnya yang ideal, banyak kolektif justru berfungsi seperti kawanan bebek yang sibuk bergerak bersama tanpa arah. Ramai, riuh, tapi tak meninggalkan jejak berarti. Mereka berkeliling dengan slogan “bersama itu penting” tanpa pernah menanyakan: bersama untuk apa, dengan sistem seperti apa, dan menuju ke mana.
Kolektif dalam bentuk seperti ini adalah ilusi kebersamaan. Ia tampak hidup, padahal rapuh. Dalam banyak komunitas, kolektif hanya menjadi tempat menumpuk energi sosial yang cepat menguap. Mereka menolak sistem dengan alasan “kita ini setara.” Padahal, justru tanpa sistem, kesetaraan hanya akan menjadi mitos. Dalam kerumunan yang tanpa aturan, suara paling keras akan selalu menang. Hierarki tetap ada, tapi tersembunyi.
Kolektif yang menolak sistem ibarat rumah tanpa fondasi. Di awal terlihat bebas dan cair, tapi begitu menghadapi tekanan, semuanya runtuh. Mereka menganggap struktur dan tanggung jawab adalah musuh kreativitas. Akibatnya, kerja bersama berhenti pada level simbolik. Tidak ada sistem distribusi pengetahuan, tidak ada jalur pengembangan individu, tidak ada cara mengelola konflik. Ketika semangat mulai redup, yang tersisa hanya arsip kegiatan dan rasa lelah.
Masalah utama kolektif hari ini adalah kebiasaan menyanjung “kebersamaan” tanpa membangun infrastruktur yang menopang kebersamaan itu. Banyak kelompok terjebak pada slogan “asal bersama, soal rezeki masing-masing.” Kalimat itu terdengar rendah hati, tapi sejatinya adalah bentuk penolakan terhadap tanggung jawab kolektif. Ia menegaskan bahwa dalam kebersamaan itu tidak ada jaminan kesejahteraan bersama, hanya kenyamanan emosional semu.
Kolektif seperti ini sibuk mengurus citra solidaritas. Mereka rajin membuat acara, tapi malas membicarakan struktur kerja. Mereka menyukai kata “organik,” padahal yang mereka maksud adalah “tidak teratur.” Mereka menghindari pembicaraan soal uang, karena takut merusak suasana. Padahal justru di situ akar masalahnya: tanpa ekonomi yang jelas, kolektif akan selalu bergantung pada tenaga gratis dan idealisme yang menua.
Dalam kolektif yang sehat, kebersamaan tidak berarti menghapus individualitas. Sebaliknya, kolektif seharusnya menjadi sistem yang mendukung perkembangan personal. Ia memberi ruang bagi setiap individu untuk belajar, tumbuh, dan berkontribusi sesuai kapasitasnya. Kolektif yang sehat tidak mengatur siapa harus seperti siapa, melainkan menciptakan mekanisme agar setiap perbedaan bisa saling menguatkan.
Namun dalam banyak kasus, kolektif menjadi ruang yang menolak perbedaan. Siapa yang terlalu aktif dicurigai ambisius. Siapa yang pasif dianggap tidak loyal. Dinamika seperti ini membuat anggota menyesuaikan diri bukan karena visi, tapi karena tekanan sosial. Kolektif berubah menjadi arena kompetisi diam-diam. Yang tersisa bukan lagi kerja bersama, tapi politik perasaan.
Fenomena ini bukan hal baru. Sejarah sudah berulang kali menunjukkan bagaimana kolektif yang tanpa sistem selalu gagal bertahan. Salah satu contoh paling jelas adalah apa yang terjadi dalam Revolusi Spanyol tahun 1936–1939.
Pelajaran dari Revolusi Spanyol
Revolusi Spanyol sering dipuji sebagai percobaan besar dalam mengorganisasi masyarakat secara kolektif. Di berbagai wilayah, terutama Catalunya dan Aragon, ribuan buruh dan petani mengambil alih pabrik dan lahan. Mereka membentuk kolektif produksi, koperasi, dan dewan pekerja. Banyak dari mereka mengaku sedang membangun masyarakat baru tanpa kapitalisme dan tanpa negara.
Pada awalnya, eksperimen ini tampak berhasil. Dalam waktu singkat, pabrik-pabrik tekstil di Barcelona dijalankan oleh para pekerja sendiri. Petani di desa-desa Aragon mengelola lahan secara bersama. Ada rasa euforia. Kolektif dianggap solusi dari penindasan kapitalis dan birokrasi negara. Semua orang merasa menjadi bagian dari sejarah besar.
Namun keberhasilan itu tidak bertahan lama. Setelah beberapa bulan, muncul ketegangan di dalam tubuh kolektif. Tidak ada sistem manajemen yang jelas. Keputusan sering diambil berdasarkan rapat besar yang melelahkan dan tidak efisien. Setiap suara dianggap setara, tapi dalam praktiknya hanya segelintir orang yang benar-benar menentukan arah. Produksi mulai menurun karena tidak ada mekanisme evaluasi.
Sebagian kolektif lebih sibuk memperdebatkan ideologi daripada memastikan distribusi pangan. Di banyak tempat, semangat egalitarianisme membuat mereka menolak bentuk kepemimpinan apa pun. Tapi tanpa koordinasi yang kuat, distribusi hasil kerja menjadi kacau. Ada desa yang kelebihan bahan pangan, sementara desa lain kekurangan.
Di sisi lain, tidak semua individu dalam kolektif punya motivasi yang sama. Banyak yang bergabung karena terpaksa atau karena tekanan sosial. Begitu situasi politik berubah, mereka meninggalkan kolektif. Akibatnya, struktur yang sudah rapuh menjadi semakin lemah.
Kegagalan kolektif dalam Revolusi Spanyol bukan semata akibat serangan eksternal dari fasisme atau konflik dengan pemerintah republik. Faktor internal jauh lebih mendasar. Kolektif yang dibangun dengan semangat kebersamaan tanpa sistem akhirnya tidak mampu bertahan menghadapi tekanan nyata. Mereka memiliki idealisme, tapi tidak punya mekanisme.
Revolusi Spanyol mengajarkan bahwa solidaritas tidak cukup tanpa struktur. Kolektif bukan hanya tentang bekerja bersama, tapi tentang bagaimana kerja itu diatur, dievaluasi, dan diwariskan. Ketika sistem manajemen diabaikan, kolektif berubah menjadi kelompok yang bergantung pada energi moral. Begitu moral itu menurun, semuanya runtuh.
Eksperimen sosial itu memperlihatkan bahwa kolektif tanpa sistem akhirnya dikuasai oleh mereka yang paling vokal. Para pemimpin informal muncul, mengambil keputusan sepihak, dan menciptakan ketimpangan baru. Semua atas nama kebersamaan. Dalam situasi seperti itu, kolektif kehilangan makna. Ia tidak lagi menjadi ruang pembebasan, melainkan ruang yang mereproduksi dominasi dengan cara baru.
Kolektif Hari Ini dan Repetisi Kesalahan Lama
Pola kegagalan yang sama masih terlihat pada banyak kolektif modern. Di dunia seni, aktivisme, hingga komunitas kreatif, kata “kolektif” sering digunakan untuk menghindari tanggung jawab formal. Ia dipilih karena terdengar egaliter. Namun di dalamnya tetap ada yang mengatur, mengontrol, dan mengambil keputusan—hanya saja tidak diakui secara terbuka.
Dalam banyak kasus, kolektif hanya menjadi label yang menutupi pola kerja eksploitatif. Orang-orang bekerja tanpa upah jelas dengan alasan “kontribusi untuk komunitas.” Ketika proyek selesai, keuntungan tidak dibagi secara adil. Tidak ada dokumen, tidak ada sistem akuntabilitas. Semua dianggap selesai karena “yang penting kita sudah melakukannya bersama.”
Kolektif seperti ini hidup dari romantisme. Mereka menolak transparansi dengan alasan kepercayaan. Mereka menolak perencanaan dengan alasan spontanitas. Padahal, tanpa kejelasan peran dan tanggung jawab, semua kerja akan menumpuk pada segelintir orang. Ketimpangan tumbuh dalam diam.
Sebagian kolektif lain beralih menjadi kelompok eksklusif yang sibuk dengan legitimasi sosial. Mereka menilai kesetiaan bukan dari kontribusi, melainkan dari seberapa sering seseorang hadir atau ikut kegiatan. Kolektif berubah menjadi ajang pengakuan sosial, bukan wadah pengembangan kapasitas. Di titik itu, kolektif berhenti menjadi alat perubahan dan berubah menjadi ritual.
Untuk menghindari jebakan ini, kolektif harus menata diri sebagai sistem yang hidup. Sistem berarti ada pembagian peran, ada mekanisme evaluasi, ada proses regenerasi. Kolektif yang sehat tidak takut pada kata “manajemen.” Justru melalui sistem, nilai-nilai kesetaraan bisa dijaga.
Kolektif juga perlu memiliki fondasi ekonomi yang realistis. Tanpa itu, mereka hanya bertahan selama semangat relawan masih kuat. Model pendanaan bersama, sistem upah proporsional, atau mekanisme bagi hasil bisa menjadi cara agar kebersamaan tidak berhenti di kata-kata. Dalam banyak kasus, gagasan progresif gagal bukan karena ide yang buruk, tapi karena tak punya model ekonomi yang menopang.
Menuju Kolektif yang Tersistematis
Kolektif yang tersistematis tidak berarti birokratis. Ia berarti terstruktur, adil, dan transparan. Dalam kolektif seperti ini, perbedaan peran diakui. Ada yang merancang, ada yang mengeksekusi, ada yang mengevaluasi. Semua setara secara nilai, tapi tidak identik secara fungsi. Kesetaraan bukan berarti melakukan hal yang sama, tapi memiliki kesempatan yang sama untuk tumbuh.
Kolektif semacam ini juga sadar pentingnya dokumentasi. Setiap keputusan, hasil, dan kegagalan dicatat. Tujuannya bukan untuk mengawasi, melainkan untuk belajar. Tanpa catatan, pengetahuan akan hilang bersama orang yang pergi. Tanpa dokumentasi, kolektif akan terus mengulang kesalahan yang sama.
Sistem yang baik juga menciptakan mekanisme evaluasi rutin. Evaluasi bukan bentuk ketidakpercayaan, tapi cara menjaga agar nilai kolektif tetap relevan. Kolektif yang menolak evaluasi akan menjadi dogmatis. Mereka sibuk mempertahankan citra kebersamaan meskipun sudah tidak efektif.
Yang paling penting, kolektif harus memandang pertumbuhan individu sebagai bagian dari misi bersama. Kolektif yang baik tidak menahan anggotanya agar tetap di lingkaran, tapi justru mendorong mereka berkembang di luar. Kolektif bukan tempat bergantung, melainkan tempat berlatih.
Penutup
Kolektif yang berisik tanpa arah hanya akan menjadi kerumunan. Ia bisa tampak hidup, tapi sebenarnya kosong. Kolektif bukan tentang ramai-ramai berkumpul, bukan tentang menolak struktur, dan bukan tentang saling menenangkan diri dengan kata “kita.” Kolektif adalah tentang bagaimana sistem sosial dibangun agar setiap orang dapat berkembang dan berkontribusi.
Revolusi Spanyol sudah menunjukkan akibatnya: kebersamaan tanpa struktur hanya menghasilkan kekacauan. Semangat solidaritas tidak cukup jika tidak ada sistem yang menjaga agar energi itu terarah. Dalam skala kecil, hal yang sama terjadi di banyak komunitas hari ini.
Kolektif perlu berhenti menjadi tempat berlindung dari tanggung jawab. Ia harus menjadi sistem yang mendukung, bukan sekadar tempat bersuara. Tanpa itu, kolektif akan terus menjadi mitos yang berisik. Ramai di luar, kosong di dalam.







Be First to Comment