Press "Enter" to skip to content

Literasi Kolektif di Kota Urban: Penerbit Lumpur

Penerbit Lumpur adalah kolektif penerbitan buku indie di Surabaya yang membangun ekosistem literasi alternatif tanpa kontrak dan biaya cetak. Gerakan ini menjadi sumur ide segar di tengah dominasi industri.

sumber dokumentasi pribadi Penerbit Lumpur

Penerbit Lumpur: Gerakan Literasi Alternatif Surabaya

Surabaya adalah kota yang tak pernah benar-benar tidur. Meski malam jatuh, denyut nadinya tetap berdetak, mengalir dalam urat-urat aspal, beton, dan deru kendaraan yang tak kunjung reda. Di balik hingar industri, lalu lintas yang sesak, dan panas kota yang seringkali memekakkan, Surabaya ternyata menyimpan oase, sumur-sumur kecil tempat tumbuhnya kehidupan yang berbeda dari stereotip urban yang keras dan kering. Ia adalah kota yang tampak penuh kesibukan kapital, namun juga menyimpan ruang-ruang alternatif yang memperjuangkan nilai. Salah satu ruang itu adalah Penerbit Lumpur, sebuah kolektif penerbitan buku indie yang digerakkan oleh sekelompok anak muda dengan semangat literasi yang menyala.

Surabaya kerap dilabeli sekadar kota industri, dengan pelabuhan yang sibuk, pusat perdagangan yang padat, dan deretan pabrik yang menjadi tulang punggung ekonomi. Namun di balik lapisan logam dan debu kota ini, tumbuh gerakan-gerakan kultural dan intelektual yang tak bisa diremehkan. Kota ini adalah tempat di mana kreativitas tetap menemukan jalannya. Dari lorong-lorong kampung, warung kopi kecil, hingga kamar-kamar sempit yang dipenuhi buku, diskusi, dan mimpi, Surabaya menyimpan denyut lain. Penerbit Lumpur tumbuh dari denyut itu: ruang perlawanan sunyi terhadap dominasi penerbitan besar yang kerap tak adil dan komersialistik.

Penerbit Lumpur lahir dari keresahan yang sangat mendasar namun jarang mendapat perhatian: bagaimana para penulis pemula bisa menerbitkan karyanya tanpa harus kehilangan hak dan kemandirian kreatif? Bagaimana mereka bisa bertahan tanpa harus tunduk pada kontrak yang mematikan atau berhadapan dengan sistem distribusi yang lebih peduli pada angka ketimbang isi? Pertanyaan-pertanyaan ini tak hanya teoritis, mereka lahir dari pengalaman nyata Adnan Guntur dan kawan-kawan, anak-anak muda yang merasakan langsung getirnya industri buku. Royalti yang tak kunjung datang, kerumitan komunikasi dengan penerbit, dan jarak antara penulis dengan pembacanya menjadi bara yang menghangatkan hasrat mereka untuk menciptakan sesuatu yang berbeda.

Adnan Guntur Inisiator Penerbit Lumpur

Adnan Guntur sendiri bukan nama yang asing di kalangan lingkar sastra bawah tanah. Ia adalah penyair muda asal Banten yang memutuskan untuk menetap di Surabaya, kota yang menurutnya memiliki denyut sosial dan kebudayaan yang jujur. Adnan bukan sekadar penulis; ia adalah penggerak yang percaya bahwa menulis bukan semata-mata perkara bakat, tapi juga keberanian untuk bersuara. Dari catatan-catatan puisinya yang getir dan gelap, hingga percakapannya yang hangat di ruang-ruang diskusi kecil, Adnan selalu memperlihatkan satu hal: kepercayaan bahwa setiap orang punya cerita, dan setiap cerita layak mendapat panggung.

Bersama beberapa rekannya, Adnan mendirikan Penerbit Lumpur bukan untuk mengejar pasar, tetapi untuk menciptakan ruang. Ruang bagi suara-suara yang sering kali tenggelam oleh algoritma pasar dan estetika industri. Ia membangun kolektif ini dari bawah, dari tanah, dari lumpur, dengan tangan sendiri, dari kekurangan yang dikompensasi oleh tekad yang kukuh. Di Penerbit Lumpur, Adnan tak hanya menjadi editor atau kurator, tetapi juga pendengar pertama dari naskah-naskah mentah yang datang dari berbagai penjuru kota. Dalam perannya, ia menjadi penghubung antara kata dan dunia nyata, antara penulis dan pembacanya.

Program “Terbit Mini” adalah bentuk konkret dari filosofi tersebut. Dalam program ini, penulis tidak dikenai biaya cetak, tidak diwajibkan menandatangani kontrak eksklusif, dan diberikan kebebasan penuh untuk menerbitkan ulang bukunya di tempat lain. Tidak ada kekangan, tidak ada kooptasi, hanya kepercayaan dan semangat saling menghidupi. Penerbit Lumpur bukan sekadar mesin produksi buku, ia adalah ruang belajar bersama, tempat penulis pemula bisa menemukan panggung pertamanya tanpa rasa takut ditolak oleh parameter pasar yang sempit.

Hingga kini, sudah ada 13 judul buku yang berhasil diterbitkan. Buku-buku ini datang dari berbagai latar belakang: bukan hanya dari mereka yang berlabel “penulis”, tetapi juga dari ibu rumah tangga, pekerja swasta, dan individu-individu biasa yang menyimpan kegelisahan dan cerita. Hal ini menunjukkan bahwa Penerbit Lumpur membuka akses literasi seluas-luasnya. Mereka tidak menciptakan kasta baru dalam dunia tulis-menulis, tapi justru meruntuhkan sekat-sekatnya. Di sini, semua suara berhak didengar.

Gerakan semacam ini bukan hanya penting bagi penulis dan pembaca, tapi juga bagi kota itu sendiri. Literasi bukan sekadar soal membaca dan menulis, tapi tentang menciptakan ruang diskusi, memperluas imajinasi kolektif, dan menyemai kesadaran kritis. Di tengah-tengah tekanan hidup urban yang penuh tuntutan produktivitas dan konsumsi, gerakan kolektif seperti Penerbit Lumpur adalah nafas panjang. Ia mengingatkan kita bahwa kota tidak hanya dibangun dari gedung dan jalan, tapi juga dari ide dan cita-cita yang disebarkan lewat buku, puisi, dan percakapan yang jujur.

Surabaya membutuhkan lebih banyak inisiatif semacam ini, ruang-ruang alternatif yang menjadi titik perlawanan terhadap banalitas budaya populer dan hegemoni pasar. Kota ini punya sejarah panjang perlawanan, dari gerakan rakyat, seniman, hingga aktivis jalanan. Penerbit Lumpur adalah kelanjutan dari semangat itu, sebuah perlawanan dalam bentuk lain: sunyi, namun gigih. Ia tidak bersuara lewat teriakan, tapi lewat halaman demi halaman yang dicetak dan dibaca.

Mendukung Penerbit Lumpur bukan sekadar mendukung kelompok kecil yang mencetak buku. Itu adalah bentuk solidaritas terhadap perjuangan membangun peradaban. Literasi adalah fondasi dari masyarakat yang sehat, dan setiap buku yang lahir dari kolektif ini adalah sumbangan kecil namun penting bagi kota ini, bahkan bagi negeri ini. Di era ketika buku mulai tergantikan oleh konten cepat saji, ketika algoritma menentukan bacaan kita, keberanian untuk menerbitkan dengan cara sendiri adalah tindakan radikal.

Tak banyak yang tahu, namun gerakan seperti ini kerap menjadi akar dari perubahan besar. Mereka tidak butuh lampu sorot untuk terus tumbuh. Seperti rerumputan yang muncul di sela-sela trotoar, Penerbit Lumpur adalah pengingat bahwa kehidupan tetap menemukan jalannya, bahkan di tengah kota yang sibuk dan terengah.

Di akhir hari, mungkin Penerbit Lumpur tidak akan menjadi raksasa industri buku. Tapi itu bukanlah tujuannya. Mereka tidak ingin menjadi penguasa pasar, tapi penjaga nilai. Mereka adalah sumur-sumur ide yang menghidupi kota. Dan kota ini, Surabaya, akan terus berdetak karena masih ada yang berani menulis, menerbitkan, dan bermimpi.

“Mari dukung gerakan literasi akar rumput seperti Penerbit Lumpur. Baca, terbitkan, dan hidupkan kembali ruang-ruang diskusi di kota kita!”

Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *