FEATURE
Dengan gitar dan pemikiran tajam, Sembilu melintasi ruang dan waktu, menyatukan musik, perjalanan, dan kesadaran dalam satu arah sikap.

Yang Mengalir di Urat Folk: Sembilu, Kota-Kota, dan Suara yang Liar
penulis: kawan pejalan
Tak semua musisi lahir dari studio. Tak semua kisah perjuangan dibingkai dengan lampu sorot dan karpet merah. Ada yang lahir dari terminal, dari jalan panjang yang didera panas dan debu. Ada yang mengukir namanya di ruang-ruang kecil yang tak tercatat dalam sejarah industri, tapi hidup di ingatan banyak orang. Dan Sembilu adalah salah satunya.
Saya bertemu ia pertama kali di tahun 2023, di sebuah art space yang saya kelola bersama kawan-kawan di Surabaya. Sebuah ruang kecil yang dibangun dari idealisme dan tenaga, tempat kami menghidupi keyakinan bahwa kesenian harus hadir dalam denyut hidup yang nyata, bukan sekadar pajangan kultural. Di sana, Sembilu datang bukan sebagai artis yang ditunggu, tapi sebagai kawan seperjalanan seorang musisi berdikari yang berjalan dengan gitar, harmonika, dan tas ransel, tak membawa nama besar, hanya membawa isi kepala dan suara yang ingin dibagikan.
Satu tahun kemudian, ia kembali. Kali ini di art space baru yang kami bangun: Cakrawala Kata. Hari itu tak sekadar menjadi panggung musik, tapi juga tempat pertemuan gagasan. Sebab bersamaan hadir pula tokoh sastra Indonesia, Soesilo Toer. Sebuah peristiwa lintas generasi dan lintas medium yang tak direncanakan, tapi menjelma menjadi simbol: bahwa suara bisa datang dari mana saja, dan bahwa musik serta sastra bisa saling menguatkan dalam satu garis perjuangan kultural.

Dan di tengah itu semua, Sembilu tetap dengan gaya yang sama. Bersahaja, tak banyak bicara, hanya menyetel gitarnya, menarik napas, dan melepaskan lagu-lagu yang tak hanya terdengar, tapi menyusup, menancap, dan mengguncang.
Ia Bukan Sekadar Musisi. Ia Jalan Itu Sendiri.
Apa yang membuat Sembilu berbeda? Jawabannya sederhana: ia tidak sedang bermain peran. Ia tidak tampil untuk disukai. Ia bukan boneka promosi, bukan produk industri. Ia hadir sebagai dirinya sendiri. Dan itu saja sudah cukup langka hari ini.
Ia adalah satu dari sedikit orang yang benar-benar menjalani apa yang banyak orang hanya omongkan. Semangat indie? Ia hidup dalam itu. Ia tidak sekadar menghindari label besar, tapi juga membangun tur lintas kota seorang diri. Naik angkot, bus, kadang kereta murah. Tidak ada manajer, tidak ada kru. Hanya dia dan alat-alat tempurnya: gitar, harmonika, dan buku catatan penuh draf lagu dan potongan puisi. Ia menembus kota-kota yang tak masuk dalam radar industri musik. Ia tampil di ruang-ruang komunitas, taman, pelataran rumah, warung kopi, dan ruang seni pinggiran.
Perjalanan panjangnya membentuk karakter. Ia terbiasa berbicara dengan berbagai jenis manusia. Ia mendengar banyak, mengamati lebih banyak lagi. Dan dari situ, musiknya tumbuh. Tidak dari teknik yang rumit atau efek suara yang mahal. Tapi dari kesadaran sosial yang diasah langsung oleh pengalaman.
Antara Lirik, Dunia, dan Pijakan Ideologis
Di antara musisi folk, banyak yang memilih jalur romantik. Tapi tidak dengan Sembilu. Lagu-lagunya tidak menjual nostalgia atau cinta yang seragam. Ia menulis tentang Pasar Cinde yang digusur, tentang air yang kotor, tentang tanah yang dirampas, dan tentang manusia yang dibungkam. Tapi ia menulisnya tanpa menjadi agitator kaku. Ia menulisnya dengan bahasa yang tajam namun puitis. Lugas tapi penuh simbol. Seolah ingin bilang bahwa lirik bukan untuk sekadar dipuji, tapi untuk dibaca, ditafsir, dan dipikirkan.
Dan di balik lirik-lirik itu, berdiri seorang pemikir. Sembilu bukan hanya musisi yang bisa bernyanyi dan bermain gitar. Ia membaca buku, menulis refleksi, dan mengolah realitas secara ideologis. Ia bicara soal politik, spiritualitas, agama, ekologi, dan sejarah dengan kedalaman yang jarang saya temukan pada musisi lain di generasinya. Ia bukan intelektual kampus, tapi cara berpikirnya tak kalah sistematis. Ia seperti pemikir jalanan: tidak formal, tidak elitis, tapi tajam dan faktual.
Musik baginya bukan panggung hiburan, tapi alat untuk menginterupsi kenyamanan. Bagi Sembilu, lagu adalah medium komunikasi, bukan komoditas. Dan dari situlah ia membangun posisinya: bukan sebagai selebritas, tapi sebagai penyambung suara-suara kecil yang sering ditenggelamkan.
Indie Bukan Slogan, Tapi Jalan Terjal
Ada banyak musisi yang menyebut dirinya indie, tapi tetap bergantung pada logika industri: menjual konten, mengejar engagement, dan menggoda algoritma. Tapi tidak dengan Sembilu. Ia benar-benar berdiri di luar sistem. Ia menciptakan jaringan sendiri, merancang turnya sendiri, hidup dari komunitas ke komunitas. Dan ia tidak malu untuk itu. Bahkan ia bangga. Sebab yang ia jalani bukan hanya jalan sunyi, tapi jalan yang jujur dan utuh.
Ia tidak merendahkan siapa pun. Tapi ia tahu betul posisinya. Ia tahu musik yang ia bawa bukan untuk semua orang. Dan justru karena itu, ia tidak goyah oleh ketidaksukaan atau penolakan. Ia sudah menyelesaikan urusannya dengan dunia luar. Sekarang ia hanya melayani panggilan suara yang ada dalam dirinya.
Karakter Terbentuk di Jalan, Bukan di Panggung
Di tengah gempuran digital dan kemudahan teknologi, banyak musisi terbentuk oleh citra. Tapi Sembilu dibentuk oleh perjalanan. Ia bukan hasil dari kurasi media, tapi hasil dari pertemuan-pertemuan nyata dengan manusia, tempat, dan keadaan. Ia tahu cara beradaptasi dengan ruang yang sempit, penonton yang berisik, atau listrik yang padam. Ia tahu cara menyambung pembicaraan dengan warga kampung, seniman kota, hingga petani pegunungan.
Dan dari semua itu, terbentuklah karakter yang kuat: tidak manja, tidak rapuh, dan tidak mudah tergoda. Ia tahu bahwa proses panjang yang ia jalani bukan untuk jadi bintang, tapi untuk menemukan cara agar musik tetap relevan dan bernyawa.
Penutup: Yang Datang dari Jalan, Akan Kembali ke Jalan
Sembilu adalah nama yang mungkin tak akan sering kau dengar di media besar atau daftar playlist viral. Tapi ia adalah salah satu representasi paling nyata dari semangat kebudayaan akar rumput hari ini. Ia berdiri di persimpangan antara musik, pemikiran, dan keberanian untuk tidak tunduk.
Dan bagi saya, ia bukan hanya musisi. Ia adalah pembaca zaman, pencatat luka, dan penyampai pesan-pesan yang tak sempat tertulis di papan pengumuman negara. Ia datang dari jalan, dan saya yakin, kelak jalan pula yang akan menyambutnya kembali—bukan sebagai pejalan yang tersesat, tapi sebagai musisi yang telah menemukan arah dan memilih tetap di sana.
Be First to Comment