Esai
Analisis mendalam keterikatan manusia dan mesin dari awal Revolusi Industri hingga era post-modern dan post-truth, membahas dampak sosial, budaya, dan kapitalisme.
Keterikatan Manusia dan Mesin: Dari Revolusi Industri ke Post-Truth
Pendahuluan: Sebuah Ikatan yang Tak Terelakkan
Hubungan manusia dan mesin bukanlah hubungan yang berdiri di ruang hampa; ia lahir dari kebutuhan, berkembang karena kepentingan, dan kini menjadi relasi yang hampir mustahil dilepaskan. Dari mesin uap hingga algoritma kecerdasan buatan, setiap lompatan teknologi memengaruhi tidak hanya cara kita bekerja, tetapi juga bagaimana kita memandang dunia dan diri kita sendiri.
Dalam pandangan sosiologi teknologi, setiap inovasi mekanis bukan sekadar alat netral, melainkan pembawa nilai dan logika tertentu. Mesin membawa ritme, disiplin, dan paradigma yang perlahan-lahan membentuk masyarakat. Pada awalnya, keterikatan ini bersifat pragmatis—mesin mempermudah pekerjaan fisik manusia. Namun, ketika mesin mulai merambah ruang domestik, sosial, dan kultural, hubungan itu menjadi lebih intim dan kompleks.
Kini, di era post-modern dan post-truth, mesin tidak hanya membantu, tetapi juga menentukan cara kita berinteraksi, berfikir, bahkan merasakan. Mesin menjadi mediasi utama antara manusia dan realitas. Yang menarik, dalam sistem kapitalisme lanjut, mesin menjadi sarana produksi bukan hanya barang, tetapi juga makna, nilai, dan ideologi. Ia menjadi instrumen yang mampu menormalkan ketimpangan dan menyamarkan penindasan, membuatnya tampak sebagai “kewajaran” yang tidak perlu dipertanyakan.
Revolusi Industri: Awal Ikatan Struktural Manusia dan Mesin
Akhir abad ke-18 di Inggris menandai sebuah pergeseran radikal dalam sejarah manusia. Sebelum Revolusi Industri, mayoritas manusia hidup dalam masyarakat agraris yang ritmenya ditentukan oleh musim, cahaya matahari, dan siklus alam. Produksi barang dilakukan secara manual atau dengan bantuan hewan, dan hubungan sosial bersifat lokal serta relatif stabil.
Penemuan mesin uap oleh James Watt, bersama kemajuan di bidang metalurgi dan transportasi, mengubah segalanya. Produksi berpindah dari bengkel rumah tangga ke pabrik-pabrik besar. Pekerja yang dulunya bekerja secara fleksibel di lahan atau di rumah kini diatur oleh jam kerja pabrik yang kaku. Disiplin waktu menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari; bunyi peluit pabrik menjadi tanda awal dan akhir kerja, menggantikan terbit dan tenggelamnya matahari.
Dari perspektif Marxian, momen ini adalah kelahiran kapitalisme industri: buruh menjual tenaga kerjanya, sementara pemilik modal mengendalikan sarana produksi—yang kini berbentuk mesin-mesin besar. Mesin menjadi pusat proses produksi, dan manusia menjadi operator yang mengikutinya. Relasi ini bersifat asimetris: mesin meningkatkan produktivitas, tetapi juga memperkuat dominasi pemilik modal terhadap pekerja.
Secara sosiologis, Revolusi Industri menciptakan “masyarakat mesin” di mana struktur sosial diatur oleh logika produksi mekanis. Urbanisasi masif memindahkan jutaan orang dari desa ke kota, memecah komunitas tradisional, dan membentuk kelas pekerja industri yang terikat pada ritme dan kebutuhan mesin. Di sini, keterikatan manusia-mesin bersifat struktural: untuk bertahan hidup, manusia harus menyesuaikan diri dengan mesin, bukan sebaliknya.
Abad 20: Mesin Masuk ke Rumah, Masuk ke Budaya
Memasuki abad ke-20, kemajuan teknologi tidak hanya terjadi di pabrik, tetapi juga merambah kehidupan domestik. Listrik, mesin pembakaran dalam, dan otomasi memunculkan mobil, pesawat, dan peralatan rumah tangga. Henry Ford dengan lini perakitan massal merevolusi bukan hanya industri otomotif, tetapi juga ide efisiensi dan standarisasi yang kemudian menjadi nilai dominan di seluruh aspek kehidupan.
Mesin rumah tangga seperti kulkas, mesin cuci, dan kompor listrik membawa narasi pembebasan pekerjaan rumah tangga, tetapi dalam logika kapitalisme, hal ini juga membuka pasar baru. Iklan dan media massa mempopulerkan gagasan bahwa kepemilikan mesin adalah tanda kemajuan dan status sosial.
Di sisi lain, radio dan televisi menjadi mesin reproduksi budaya. Antonio Gramsci menyebut fenomena ini sebagai hegemoni—pengendalian bukan melalui kekerasan, tetapi melalui pembentukan kesadaran dan persetujuan sukarela. Mesin di ruang tamu menjadi medium utama penyebaran ideologi dominan: dari gaya hidup konsumtif hingga narasi politik yang menguntungkan kelompok berkuasa.
Keterikatan manusia dan mesin di tahap ini menjadi lebih personal. Mesin bukan lagi hanya simbol produktivitas, tetapi juga simbol identitas. Memiliki mobil, televisi berwarna, atau kulkas besar menjadi bagian dari citra diri di masyarakat. Mesin mulai memediasi hubungan sosial, mengubah interaksi tatap muka menjadi interaksi yang dimediasi oleh layar dan siaran.
Era Digital dan Post-Modern: Mesin sebagai Tubuh dan Pikiran Kedua
Lompatan dari mesin mekanis ke mesin digital pada akhir abad ke-20 membawa konsekuensi yang bahkan lebih radikal. Komputer personal, internet, dan ponsel pintar mengubah mesin dari sekadar alat fisik menjadi ekstensi kognitif. Kini, mesin dapat memproses informasi, menyimpan memori, dan melakukan tugas-tugas yang sebelumnya hanya bisa dilakukan oleh manusia—menganalisis data, mengatur jadwal, hingga membuat keputusan.
Jean Baudrillard, filsuf post-modern, menggambarkan fenomena ini sebagai era simulasi, di mana tanda dan citra tidak lagi merepresentasikan realitas, tetapi menciptakan realitas itu sendiri. Media sosial adalah contoh nyata: kehidupan digital seringkali lebih “nyata” bagi penggunanya dibanding kehidupan fisik. Identitas dibangun melalui unggahan foto, status, dan interaksi virtual yang diatur oleh algoritma.
Di era ini, mesin bukan hanya alat bantu, tetapi juga rekan eksistensial. Kita bangun tidur dan langsung memeriksa ponsel; kita berjalan dengan headphone yang memutar musik dari aplikasi berbasis AI; kita menggunakan GPS untuk menuju tempat yang sebenarnya kita kenal, sekadar karena itu lebih “aman” dan “efisien”. Keterikatan ini tidak lagi bisa diputus tanpa mengubah seluruh gaya hidup.
Dari sudut pandang sosiologi kritis, era digital juga memperkuat kapitalisme ke tahap “kapitalisme pengawasan” (Shoshana Zuboff). Mesin tidak hanya memproduksi barang, tetapi juga memproduksi dan mengolah data pribadi kita sebagai komoditas. Aktivitas sehari-hari—klik, pencarian, lokasi, preferensi—dikumpulkan, dianalisis, dan dijual. Mesin menjadi instrumen untuk memperdalam jurang kekuasaan dan kekayaan, di mana segelintir korporasi teknologi mengendalikan infrastruktur informasi global.
Post-Truth: Mesin, Ideologi, dan Normalisasi Penindasan
Post-truth adalah era di mana kebenaran objektif memiliki pengaruh lebih kecil dibanding daya tarik emosi dan keyakinan pribadi. Dalam konteks ini, mesin—terutama mesin algoritmik media sosial—memegang peran sentral.
Algoritma dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan (engagement), bukan untuk memverifikasi kebenaran. Akibatnya, informasi yang memicu emosi—marah, takut, atau senang—lebih mungkin disebarkan dibanding informasi yang akurat. Gelembung informasi (filter bubble) terbentuk, membuat orang hanya terpapar pada pandangan yang memperkuat keyakinan mereka.
Di bawah sistem kapitalisme lanjut, post-truth bukan sekadar anomali, tetapi bagian dari strategi yang menguntungkan status quo. Ketika realitas menjadi terfragmentasi, sulit tercipta konsensus publik untuk menantang ketidakadilan. Penindasan menjadi sulit dikenali, karena informasi yang menyingkapnya kalah oleh narasi dominan yang diproduksi dan disebarkan oleh media yang dikuasai korporasi besar atau negara.
Contoh konkret dapat dilihat dalam bagaimana isu-isu struktural—seperti ketimpangan ekonomi, perusakan lingkungan, atau represi politik—dapat dibingkai ulang menjadi “isu teknis” atau bahkan diabaikan sepenuhnya. Mesin, dalam hal ini, bukan sekadar medium, tetapi menjadi aktor aktif yang memfilter realitas.
Analisis kritis di sini menunjukkan bahwa keterikatan manusia dan mesin di era post-truth memperkuat ideologi kapitalisme yang telah matang:
- Pertama, ia menjadikan informasi sebagai komoditas, sehingga kebenaran tunduk pada logika pasar.
- Kedua, ia membentuk kesadaran sosial sedemikian rupa sehingga penindasan dianggap wajar, bahkan tidak disadari.
- Ketiga, ia menghapus ruang bagi “kebenaran bersama” yang dibutuhkan untuk mengorganisasi perlawanan terhadap ketidakadilan.
Kesimpulan: Antara Kebebasan dan Ketergantungan
Perjalanan panjang keterikatan manusia dan mesin adalah kisah yang dimulai dari efisiensi produksi di pabrik hingga penciptaan realitas virtual yang menguasai pikiran. Dari sudut pandang sosiologi, ini adalah proses di mana teknologi, ekonomi, dan kekuasaan saling terkait untuk membentuk struktur masyarakat.
Revolusi Industri memulai ikatan itu secara struktural, abad ke-20 membawanya ke ranah domestik dan budaya, era digital menjadikannya intim dan kognitif, dan post-truth memutarnya menjadi alat hegemoni yang hampir tak terlihat.
Pertanyaan besar yang muncul adalah: apakah kita masih memiliki kendali atas mesin, ataukah kita telah menjadi bagian dari mesin itu sendiri? Dalam sistem kapitalisme global yang terus mencari cara baru untuk mengekstraksi nilai dari kehidupan manusia, mesin tampaknya lebih setia pada logika modal daripada pada kebutuhan manusia.
Namun, di balik narasi deterministik ini, masih ada ruang untuk intervensi manusia. Kesadaran kritis, literasi digital, dan gerakan sosial yang memanfaatkan teknologi untuk tujuan emansipatoris adalah langkah-langkah yang dapat menantang dominasi ini. Mesin adalah ciptaan manusia; bagaimana ia digunakan, pada akhirnya, adalah keputusan kolektif kita.
Keterikatan manusia dan mesin tidak dapat dihindari, tetapi bentuk dan arah keterikatan itu masih bisa diperdebatkan, dipertarungkan, dan diarahkan. Di tengah kabut post-truth dan derasnya arus kapitalisme lanjut, mempertahankan kebenaran dan keadilan adalah tantangan yang memerlukan keberanian, kesabaran, dan kesadaran yang tajam—karena jika tidak, kita hanya akan menjadi roda kecil yang berputar tanpa henti di dalam mesin raksasa yang tak lagi kita kendalikan.
Be First to Comment