Kolom Esai

Ketergantungan Manusia Pada Harapan: Ekspektasi Abstrak yang Mengarahkan Manusia Pada Suatu Perjalanan
“Harapan itu seperti jalan di padang rumput. Tidak pernah ada jalan. Namun ketika banyak orang melaluinya, jalan itu terbentuk.” – Lu Xun
Di sebuah kota kecil, seorang pria duduk termenung di depan jendela kamarnya. Cahaya mentari sore yang redup memantul di kaca, membentuk siluet bayangan dirinya yang penuh dengan tanda tanya. Dia telah bekerja selama sepuluh tahun di perusahaan yang sama, berharap suatu hari nanti ia bisa naik jabatan dan memperoleh kehidupan yang lebih baik. Namun, setiap tahun harapannya hanya menjadi angan yang belum terwujud. Meskipun begitu, ia tetap melangkah, tetap bertahan, dan tetap menggantungkan dirinya pada harapan.
Kisah pria ini bukanlah cerita yang asing. Kita semua, dengan cara masing-masing, adalah entitas yang bergantung pada harapan. Seorang mahasiswa yang merangkai cita-cita akademiknya, seorang buruh yang bekerja di bawah tekanan eksploitasi dengan mimpi kehidupan yang lebih layak, hingga seorang pengungsi yang bertahan hidup di tengah peperangan dengan impian akan kedamaian. Harapan menjadi peta tak kasat mata yang mengarahkan manusia pada perjalanan yang mungkin tidak berujung.
Tetapi, apakah harapan benar-benar menyelamatkan? Ataukah ia hanya candu yang membuat manusia terus berjalan tanpa kepastian?
Harapan: Sebuah Ekspektasi yang Tidak Berbentuk
Harapan adalah sesuatu yang paradoksal: ia ada, tetapi tidak bisa disentuh. Ia hidup dalam ruang abstrak pikiran manusia, menjadi api yang menghangatkan, sekaligus sering kali menjadi racun yang memperdaya.
Secara filosofis, harapan sering kali dikaitkan dengan eksistensi manusia. Jean-Paul Sartre, seorang filsuf eksistensialis, berpendapat bahwa manusia terjebak dalam absurditas karena mereka menciptakan makna di dunia yang sebenarnya tidak memiliki makna bawaan. Harapan adalah salah satu alat yang digunakan manusia untuk menghadapi absurditas itu. Ketika dunia tidak memberikan kepastian, manusia menciptakan harapan sebagai kompas agar mereka tidak kehilangan arah.
Namun, harapan juga dapat menjadi penjara. Ketika seseorang terus berharap tanpa tindakan yang konkret, ia berisiko jatuh dalam delusi, hidup dalam angan-angan tanpa pernah benar-benar menyentuh realitas. Fenomena ini dapat kita lihat dalam masyarakat modern, di mana janji-janji kosong sering kali dikemas dalam bentuk harapan. Iklan, politik, hingga agama sering kali menawarkan harapan sebagai solusi, tanpa benar-benar memberikan sesuatu yang nyata.
Dua Sisi Harapan: Antara Pendorong dan Ilusi
Dalam sejarah, harapan telah menjadi sumber kekuatan bagi banyak perlawanan. Gerakan pembebasan di berbagai belahan dunia lahir dari harapan untuk dunia yang lebih baik. Martin Luther King Jr. dengan pidato legendarisnya, “I Have a Dream”, adalah contoh bagaimana harapan dapat menjadi energi yang menggerakkan massa untuk perubahan.
Namun, di sisi lain, harapan juga sering menjadi alat kontrol sosial. Pemerintah yang korup sering menggunakan narasi harapan untuk meredam pemberontakan rakyat. Para pekerja dipaksa untuk menerima eksploitasi dengan iming-iming masa depan yang lebih baik. Sistem pendidikan mengajarkan siswa untuk mengejar impian besar, tetapi tanpa membekali mereka dengan keterampilan yang cukup untuk menghadapi realitas.
Di sinilah pertanyaannya muncul: apakah harapan benar-benar membebaskan, ataukah ia hanya menunda penderitaan?
Harapan yang Sehat: Antara Kesadaran dan Tindakan
Maka, bagaimana seharusnya manusia menyikapi harapan? Apakah kita harus membuangnya sepenuhnya dan hidup dalam realitas yang dingin dan tanpa impian? Ataukah kita harus menggunakannya sebagai alat untuk bergerak maju dengan cara yang lebih bijaksana?
Harapan yang sehat adalah harapan yang disertai dengan kesadaran dan tindakan. Tidak cukup hanya bermimpi; seseorang harus memahami batas-batas harapan dan menggunakannya sebagai bahan bakar untuk langkah konkret. Jika harapan menjadi candu yang membuat seseorang pasrah menunggu, maka ia berbahaya. Tetapi jika harapan menjadi penggerak untuk perjuangan, maka ia bisa menjadi kekuatan yang luar biasa.
Kita dapat belajar dari tokoh-tokoh yang tidak hanya berharap, tetapi juga bertindak. Nelson Mandela, misalnya, tidak hanya berharap akan keadilan di Afrika Selatan; ia berjuang dan bertahan dalam penjara selama 27 tahun demi cita-citanya. Para buruh yang memperjuangkan upah layak tidak hanya berharap; mereka turun ke jalan dan memperjuangkan hak mereka.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa mempraktikkan harapan yang sehat dengan cara sederhana: memahami bahwa harapan bukan sekadar menunggu, tetapi menciptakan langkah-langkah nyata untuk mencapainya.
Refleksi: Apakah Kita Benar-Benar Membutuhkan Harapan?
Mungkin, pertanyaan terbesar yang harus kita ajukan bukanlah apakah harapan itu baik atau buruk, tetapi apakah kita benar-benar membutuhkannya? Apakah manusia bisa hidup tanpa harapan, ataukah harapan adalah bagian dari naluri dasar yang tidak bisa dihindari?
Seorang petani yang menanam benih berharap akan panen yang baik, tetapi ia juga memahami bahwa tanah, cuaca, dan kerja kerasnya adalah faktor yang menentukan. Seorang musisi yang berharap lagunya didengar tidak hanya diam; ia menciptakan, mengasah keterampilan, dan memperjuangkan tempatnya di dunia musik.
Pada akhirnya, harapan bukanlah masalah utama. Yang lebih penting adalah bagaimana kita menggunakannya. Apakah kita membiarkan harapan membutakan kita dari realitas, ataukah kita menjadikannya alat untuk terus melangkah dengan kesadaran penuh?
Mungkin, manusia memang makhluk yang tidak bisa lepas dari harapan. Namun, harapan yang benar-benar berarti adalah harapan yang lahir dari pemahaman dan keberanian untuk bertindak.
Dan di titik ini, kita harus bertanya pada diri sendiri: Apakah harapan kita selama ini benar-benar membawa kita ke arah yang lebih baik, ataukah kita hanya tersesat dalam ekspektasi yang tidak pernah menjadi nyata?
Be First to Comment