Kolom Esai

Kesetaraan, Keadilan, dan Kemanusiaan yang Tersesat di Tengah Debu Perdebatan
Di dunia yang semakin riuh dengan tuntutan dan klaim atas hak, keadilan dan kesetaraan telah menjadi dua kata kunci yang terus-menerus diulang—di mimbar politik, seminar akademik, hingga diskusi warung kopi. Namun, di balik gaungnya yang terdengar mulia, seringkali terselip kekeliruan berpikir yang justru menyesatkan makna paling mendasar dari keduanya. Kesetaraan dan keadilan tak lagi dibicarakan sebagai nilai kemanusiaan, melainkan sebagai alat pembenaran, senjata debat, atau bahkan komoditas politik yang kehilangan ruhnya.
Kesetaraan dan keadilan, meski terdengar serupa, sejatinya lahir dari pijakan yang berbeda. Kesetaraan bicara tentang pemberian hak yang sama kepada semua, sementara keadilan menuntut pertimbangan yang lebih dalam: apakah yang sama itu selalu adil? Apakah memberi perlakuan seragam dalam kenyataan yang tidak setara adalah bentuk kebijaksanaan, atau justru bentuk pengabaian terhadap realitas manusia yang kompleks?
Namun di sinilah letak jebakan sesat pikir yang sering terjadi: menganggap bahwa kesetaraan otomatis berarti keadilan, atau bahwa memperjuangkan satu berarti sudah cukup untuk mencapai yang lain. Inilah bentuk false equivalence yang diam-diam mengikis perdebatan sehat. Kesetaraan yang tidak memahami konteks hanya akan menjadi cermin dangkal, yang memantulkan bayangan ideal tapi menolak melihat luka di baliknya. Sebaliknya, keadilan yang dicurigai sebagai bentuk pengistimewaan pun sering kali ditolak dengan alasan kesetaraan semu.
Kesalahan berpikir lainnya adalah straw man fallacy, ketika siapa pun yang mempertanyakan makna kesetaraan atau keadilan secara kritis, langsung dianggap sebagai musuh dari nilai-nilai tersebut. Kritik terhadap pendekatan yang bias sering dilabeli sebagai penolakan terhadap prinsip. Dalam iklim semacam ini, ruang diskusi menjadi kaku, dialog menjadi arena tudingan, dan upaya untuk memahami menjadi tindakan yang dicurigai. Padahal, bukankah kebenaran justru tumbuh di tengah kesediaan untuk mempertanyakan dan menyelami makna?
Ada pula jebakan false dilemma—seolah kita harus memilih antara memperjuangkan kesetaraan atau menyerah pada ketimpangan; antara membela keadilan atau dianggap menolak kebebasan. Padahal, kehidupan manusia tak pernah sesederhana itu. Kompleksitas manusia tidak bisa disederhanakan dalam dikotomi hitam-putih yang membunuh nuansa.
Ironisnya, semakin keras tuntutan atas keadilan dan kesetaraan digaungkan, semakin jauh keduanya dari prinsip awal: kemanusiaan. Apa guna keadilan yang kehilangan empati? Apa arti kesetaraan yang kehilangan pengakuan akan perbedaan dan kedalaman pengalaman manusia? Ketika perjuangan tidak lagi berangkat dari kasih terhadap sesama, melainkan dari kebencian terhadap “yang dianggap berbeda”, maka perjuangan itu telah tersesat.
Filsuf Emmanuel Levinas pernah berkata bahwa “tanggung jawab etis tertinggi kita adalah terhadap wajah sesama.” Artinya, kemanusiaan hadir bukan dari ide besar atau sistem megah, tetapi dari tatapan antarmanusia yang saling mengakui. Kesetaraan dan keadilan sejati tumbuh dari kesadaran bahwa kita semua adalah makhluk yang rentan, kompleks, dan layak untuk didengarkan.
Esensi dari keadilan bukanlah distribusi hak yang mekanis, tapi pengakuan atas martabat manusia yang tidak bisa disamaratakan. Esensi dari kesetaraan bukanlah identitas yang dikunci dalam kategori, tapi kebebasan untuk menjalani hidup yang bermakna tanpa penghalang-penghalang semu.
Maka, saat kita bicara tentang kesetaraan dan keadilan, mari kita tanyakan kembali: untuk siapa kita bicara? Dari mana kita memulai? Apakah dari nalar yang jernih atau dari prasangka yang dibungkus jargon? Apakah dari cinta terhadap sesama atau sekadar dorongan untuk merasa paling benar?
Jangan sampai kesetaraan dan keadilan hanya menjadi slogan yang kehilangan isi. Jangan biarkan ia berubah menjadi tirani baru, yang memaksa manusia untuk berpikir seragam, merasa seragam, dan hidup dalam cetakan seragam. Karena manusia bukan mesin produksi yang bisa diperlakukan sama rata dalam segala hal. Manusia adalah makhluk hidup, dan hidup itu penuh ketidaksamaan yang justru membuatnya layak untuk dihargai.
Saat kita kehilangan esensi kemanusiaan dalam perjuangan keadilan dan kesetaraan, maka yang tersisa hanyalah keramaian tanpa arah—perdebatan tanpa makna, tuntutan tanpa jiwa, dan sistem yang membungkam apa yang paling manusiawi: hati nurani.
Be First to Comment