
Kekuasaan Rakyat adalah Kekuasaan Meruntuhkan Ketidakadilan
Dalam setiap lembar sejarah manusia, satu kebenaran tak terbantahkan terus menggema: rakyat adalah sumber sejati kekuasaan. Namun, berapa banyak dari kita yang sungguh memahami potensi dahsyat yang terkandung dalam kata “rakyat”? Dalam dunia yang semakin diwarnai oleh tirani modern, manipulasi kekuasaan, dan ketidakadilan sistemik, kesadaran ini kerap direduksi menjadi slogan tanpa makna. Saatnya kita menghidupkan kembali kesadaran ini: kekuasaan rakyat bukan sekadar teori—ia adalah kekuatan nyata untuk meruntuhkan kesewenang-wenangan dan membangun keadilan sejati.
Ketidakadilan: Tirani yang Terpelihara
Sejak lama, pemerintahan tiranik tidak hanya mempertahankan kekuasaan melalui kekuatan militer atau hukum represif, melainkan melalui rekayasa kesadaran. Dengan mengajarkan rakyat bahwa mereka lemah, terpecah, atau tergantung pada “elit”, tirani menciptakan self-defeating prophecy—sebuah ramalan yang menjadi kenyataan karena rakyat mempercayainya.
Filsuf Italia, Antonio Gramsci, berbicara tentang konsep hegemoni budaya, di mana kekuasaan berfungsi bukan hanya dengan kekerasan, melainkan dengan membentuk persepsi rakyat terhadap apa yang normal, apa yang layak diterima. “Krisis terjadi,” kata Gramsci, “ketika yang lama tidak dapat lagi bertahan dan yang baru belum lahir.” Di tengah krisis inilah peluang lahirnya kekuasaan rakyat muncul.
Tirani modern bukan hanya berupa raja-raja absolut atau diktator militer. Ia hadir dalam bentuk korporasi raksasa yang memperbudak tenaga kerja, pemerintahan yang lebih loyal pada kapital daripada pada warganya sendiri, serta sistem hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Ketidakadilan ini bertahan bukan karena kekuatan rezim semata, tetapi karena kelalaian kolektif kita untuk menyadari dan menggunakan kekuatan yang kita miliki.
Kesadaran sebagai Permulaan
Jean-Jacques Rousseau, dalam The Social Contract, menulis, “Manusia dilahirkan bebas, namun di mana-mana ia berada dalam belenggu.” Belenggu itu, sebagian besar, adalah buatan manusia sendiri—dikuatkan oleh ketakutan, ketidakpercayaan, dan rasa tidak berdaya. Untuk meruntuhkan tirani, revolusi fisik bukanlah langkah pertama. Langkah pertama adalah revolusi kesadaran.
Kesadaran rakyat bahwa mereka memiliki hak sah untuk menolak ketidakadilan adalah fondasi utama perubahan. Tanpa kesadaran, rakyat tetap menjadi massa yang tercerai-berai, mudah dipecah belah melalui propaganda, konflik identitas, atau janji palsu perubahan.
Che Guevara mengingatkan: “Diam adalah bentuk lain dari berdebat dengan cara yang berbeda.” Ketika rakyat diam terhadap ketidakadilan, mereka sesungguhnya berbicara: mereka memberi restu pada tirani. Maka, suara rakyat—teriakan melawan kesewenang-wenangan—adalah kekuatan politik paling purba sekaligus paling revolusioner yang pernah ada.
Peluang Kebangkitan: Di Setiap Tindakan Kecil
Banyak yang mengira perubahan besar harus diawali oleh tindakan heroik atau pertumpahan darah. Namun sejarah menunjukkan bahwa kebangkitan rakyat sering kali bermula dari kesadaran kecil yang menyebar—satu percakapan, satu perlawanan, satu keteguhan hati untuk tidak tunduk.
Mahatma Gandhi menunjukkan bahwa perubahan bisa dimulai dari aksi damai, konsisten, dan kolektif. “Pertama mereka mengabaikanmu, lalu mereka menertawakanmu, kemudian mereka melawanmu, dan pada akhirnya kamu menang,” kata Gandhi. Tirani selalu mengejek kekuatan rakyat di awal, namun ketika kesadaran telah tersebar luas, tak ada kekuatan di bumi ini yang dapat menahannya.
Kebangkitan rakyat tidak harus seragam. Ia bisa berupa gerakan literasi, mogok massal, pembangkangan sipil, pembentukan komunitas solidaritas, hingga merebut kembali ruang-ruang ekonomi dan politik lokal. Setiap tindakan, sekecil apa pun, adalah bagian dari gelombang besar yang pada akhirnya dapat menumbangkan rezim ketidakadilan.
Kekuasaan Kolektif: Rakyat Bersatu Tak Terkalahkan
Frantz Fanon, dalam The Wretched of the Earth, menulis: “Setiap generasi harus menemukan misi historisnya, memenuhi atau mengkhianatinya.” Generasi kita hidup dalam dunia dengan ketimpangan yang lebih lebar daripada masa manapun dalam sejarah modern. Jika kita gagal menyadari kekuatan kita, kita sedang mengkhianati misi sejarah itu.
Tirani takkan tumbang dengan berpasrah. Ia runtuh karena rakyat, dalam jutaan tindakan sadar, memutuskan untuk berkata: cukup.
Inilah esensi kekuasaan rakyat: kesadaran kolektif bahwa ketidakadilan bukan takdir, dan bahwa rakyat bersatu tidak bisa dikalahkan. Seperti kata Thomas Jefferson, salah satu pendiri Amerika, “Ketika ketidakadilan menjadi hukum, maka perlawanan menjadi kewajiban.”
Penutup: Menghidupkan Kembali Api Perlawanan
Kekuasaan rakyat adalah bara yang selalu menyala, bahkan di masa-masa tergelap. Bara itu menunggu untuk ditiupkan kembali menjadi api perubahan. Kita harus menolak menjadi sekadar penonton dalam drama penindasan global ini. Kita adalah pemeran utama. Kita memiliki kekuatan, bukan karena kita diberi, tetapi karena kita adalah sumber segala kekuasaan politik.
Mari kita sadari, kita rawat, dan kita gunakan kekuatan itu. Sebab ketidakadilan hanya bertahan selama rakyat memilih diam.
Dan ketika rakyat memilih untuk bangkit, tak ada tembok tirani setebal apapun yang bisa bertahan.
Be First to Comment