Esai

Kebudayaan Menjadi Instrumen Penting dalam Gerakan Anti-Sistem di Dunia Ketiga
Pendahuluan
Dalam peta sejarah perlawanan terhadap dominasi global, khususnya hegemoni kapitalisme, kebudayaan selalu menjadi medan utama sekaligus alat strategis. Bukan hanya sekadar warisan tradisional atau ekspresi kesenian, kebudayaan dalam makna luas — yang meliputi sistem nilai, agama, bahasa, simbol, hingga ideologi — memainkan peran sentral dalam gerakan anti-sistem, terutama di kawasan yang kerap disebut sebagai Dunia Ketiga. Kawasan ini, yang secara historis merupakan wilayah bekas jajahan dan marjinal dalam sistem kapitalisme global, memperlihatkan bahwa jalan keluar dari atau masuk ke dalam jerat kapitalisme seringkali ditentukan oleh kekuatan kebudayaan, bukan hanya kalkulasi ekonomi atau strategi politik semata.
Dalam pandangan objektif, gerakan anti-sistem di Dunia Ketiga tidak dapat dilepaskan dari bagaimana kebudayaan dijadikan ruang kontestasi wacana, alat mobilisasi massa, dan medium pembentukan kesadaran kolektif. Dari Revolusi Kebudayaan di Tiongkok hingga perjuangan pembebasan Vietnam, sejarah telah mencatat bagaimana sistem nilai lokal, ideologi sosialisme, dan budaya revolusioner menjadi alat vital dalam melawan dan menggantikan sistem yang opresif. Tulisan ini akan membedah peran kebudayaan dalam gerakan anti-sistem Dunia Ketiga dengan pendekatan historis dan teoritis, khususnya melalui lensa pemikiran Karl Marx dan Antonio Gramsci.
Kebudayaan sebagai Basis Kesadaran dan Perlawanan
Karl Marx dalam karya-karya awalnya mengungkap bahwa basis material (struktur ekonomi) menentukan bangunan suprastruktur (termasuk kebudayaan), namun ia juga mengakui bahwa kesadaran manusia lahir dari interaksinya dengan struktur sosial. Dalam konteks ini, kebudayaan bukanlah sesuatu yang netral; ia merupakan refleksi dan sekaligus alat dari relasi produksi dan kepentingan kelas. Di tangan kelas penguasa, kebudayaan dipakai untuk mereproduksi status quo, sedangkan bagi kelas tertindas, kebudayaan bisa menjadi senjata pembebasan.
Antonio Gramsci memperdalam gagasan ini melalui konsep hegemoni kultural. Gramsci menekankan bahwa dominasi kelas tidak hanya dipertahankan dengan kekuatan koersif, tetapi terutama melalui konsensus yang dibangun melalui kebudayaan. Dalam hal ini, kebudayaan tidak hanya mencerminkan kekuasaan, tetapi juga menjadi medan pertempuran ideologis. Hegemoni harus ditantang dengan kontra-hegemoni — yaitu pembentukan blok historis yang mengartikulasikan nilai-nilai tandingan melalui praktik kebudayaan, pendidikan, media, dan seni.
Konsep ini relevan untuk memahami gerakan anti-sistem di Dunia Ketiga, di mana perjuangan bukan hanya berlangsung di medan perang atau parlemen, melainkan dalam ranah kebudayaan: narasi sejarah, bahasa perjuangan, simbol-simbol lokal, dan kesadaran kolektif yang diartikulasikan secara kultural.
Revolusi Kebudayaan di Tiongkok: Menata Ulang Kesadaran Revolusioner
Salah satu contoh paling konkret bagaimana kebudayaan dijadikan instrumen dalam gerakan anti-sistem adalah Revolusi Kebudayaan di Tiongkok (1966–1976) yang diprakarsai oleh Mao Zedong. Revolusi ini bukan hanya kampanye politik, tetapi juga proyek besar untuk menggantikan nilai-nilai borjuis dan tradisional yang dianggap melemahkan semangat revolusi proletariat. Mao memahami bahwa kapitalisme dan feodalisme tidak hanya hidup dalam struktur ekonomi, tetapi juga dalam kebiasaan, keyakinan, dan sistem pendidikan.
Melalui gerakan ini, Tiongkok berupaya menghancurkan hierarki budaya lama, menyerang simbol-simbol lama, dan menggantinya dengan ideologi Maoisme yang bersifat egaliter dan revolusioner. Pelajar dan kaum muda, terutama Red Guards, menjadi aktor utama dalam mendekonstruksi institusi-institusi lama — dari universitas hingga seni pertunjukan. Revolusi ini membuktikan bahwa tanpa pembentukan budaya baru yang revolusioner, sistem lama akan terus bertahan dalam bentuk baru.
Meski menimbulkan banyak kontroversi dan dampak negatif, Revolusi Kebudayaan menunjukkan bagaimana kebudayaan bisa diubah menjadi kekuatan yang tidak kalah besar dari militer atau ekonomi dalam menggeser tatanan masyarakat. Ini adalah bukti empiris bahwa transformasi budaya adalah prasyarat penting untuk keluar dari sistem dominasi kapitalisme global.
Revolusi Vietnam: Simbiosis Budaya, Nasionalisme, dan Sosialisme
Contoh lain dari kekuatan kebudayaan dalam gerakan anti-sistem adalah Revolusi Vietnam. Di bawah kepemimpinan Ho Chi Minh, Vietnam berhasil menyatukan identitas nasional dengan ideologi sosialisme dalam perlawanan melawan kolonialisme Prancis dan kemudian imperialisme Amerika. Dalam konteks ini, kebudayaan lokal — mulai dari bahasa, puisi, filosofi Konfusianisme, hingga nilai gotong royong pedesaan — disinergikan dengan nilai-nilai revolusi.
Vietnam tidak hanya memenangkan perang militer, tetapi juga perang narasi. Mereka membingkai perlawanan sebagai bagian dari identitas bangsa dan martabat kolektif. Sajak-sajak revolusioner, lagu perjuangan, serta simbol-simbol lokal dipakai untuk membentuk semangat juang yang kuat, terutama di kalangan petani dan pemuda. Dengan menjadikan budaya sebagai alat komunikasi politik dan spiritual, revolusi Vietnam menjadi model keberhasilan integrasi antara kebudayaan dan gerakan anti-sistem.
Kebudayaan sebagai Gerbang Masuk dan Keluar Kapitalisme
Kebudayaan bukan hanya instrumen keluar dari sistem kapitalisme, tetapi juga bisa menjadi pintu masuknya kembali. Ketika Dunia Ketiga melakukan liberalisasi ekonomi dan menerima bantuan dari lembaga-lembaga internasional seperti IMF atau Bank Dunia, kebudayaan juga menjadi target penetrasi. Masuknya nilai-nilai individualisme, konsumerisme, dan meritokrasi melalui media, pendidikan, dan gaya hidup secara perlahan-lahan merusak nilai-nilai kolektif yang sebelumnya menopang perlawanan.
Inilah yang disoroti oleh Gramsci ketika menyatakan bahwa hegemoni borjuis tidak selalu melalui kekerasan, tetapi melalui infiltrasi budaya. Dunia Ketiga yang dulu berteriak anti-imperialis, kini sebagian besar justru mempraktikkan sistem ekonomi neoliberal yang disfungsional secara sosial. Nilai-nilai asli yang menjadi dasar gerakan pembebasan kian tersisih dan digantikan oleh etos kerja korporat, logika pasar, dan standar hidup global yang kapitalistik.
Kesimpulan
Gerakan anti-sistem di Dunia Ketiga bukan hanya persoalan militer, diplomasi, atau ekonomi; ia adalah persoalan budaya. Kebudayaan adalah ladang utama dalam membentuk kesadaran, membangun solidaritas, dan menyalakan semangat perlawanan. Melalui pemahaman Marx dan Gramsci, kita melihat bahwa kebudayaan tidak netral; ia adalah alat kuasa dan bisa menjadi alat pembebasan.
Dari Revolusi Kebudayaan di Tiongkok hingga Revolusi Vietnam, sejarah membuktikan bahwa perubahan sistemik yang radikal hanya mungkin terjadi bila disertai transformasi kebudayaan. Dunia Ketiga tidak akan pernah lepas dari jerat kapitalisme global tanpa membangun fondasi budaya yang kuat, progresif, dan membumi pada identitas rakyatnya. Maka dari itu, setiap gerakan anti-sistem yang melupakan kekuatan budaya, pada akhirnya akan gagal membangun tatanan baru yang berkelanjutan dan berdaulat.
Be First to Comment