Press "Enter" to skip to content

KASDUT BELATER

Cerpen

KASDUT BELATER


penulis : Kusni

Di sebuah kota yang dibanggakan karena keberagamannya, berdiri tegak bangunan-bangunan tinggi yang menebar bayangan panjang ke kampung-kampung sempit di bawahnya. Kota ini, meski terlihat ramah di permukaannya—dengan taman-taman publik, mural keberagaman di tembok jalanan, dan jargon toleransi di setiap sudut reklame—menyimpan luka-luka lama yang merayap dalam sunyi: ketimpangan yang mencabik segala sendi kehidupan.

Kampung Parang Kusumo, di pinggiran utara kota itu, berjejal rumah-rumah triplek yang dibangun berdempetan seperti barisan luka yang tak pernah dijahit rapi. Di sinilah Kasdut dibesarkan. Anak seorang buruh pabrik kertas gosok dan seorang ibu pekerja pabrik kayu. Kampung ini mengajarkan Kasdut dua hal sejak kecil: bahwa hidup tidak bisa hanya dijalani dengan sabar, dan bahwa mulut yang diam seringkali diinjak oleh sepatu yang pongah.

Kasdut—kurus, tinggi semampai, rambut gondrong yang dibiarkan mengurai tak beraturan—bukan anak yang disukai guru. Ia tidak takut siapa pun, bahkan sejak Usia delapan tahun, ia melempar batu ke wajah anak kompleks yang menyebut temannya “monyet kampung.” Temannya itu bocah kecil dengan kulit gelap dan suara gagap, sering ditertawai anak-anak dari rumah tembok. Kasdut menendang satu, mengejar lainnya sampai kekampung mereka, lalu digebuki ramai-ramai. Ia babak belur. Tapi pulang dengan kepala tegak.

Di usia sembilan, ia menyaksikan kawannya, seorang anak Tionghoa berkacamata, diludahi karena dianggap “banci.” Tanpa pikir panjang, Kasdut melempar sendok makan tepat dipelipis pelaku. Darah mengucur, dan Kasdut digelandang ke pos satpam. Tapi ia tak menyesal. Ia tak tahu apa itu diskriminasi, tapi ia tahu rasa jijik melihat orang menghina orang lain hanya karena berbeda.

Setahun kemudian, ia memukul wajah seorang pria dewasa yang membela keponakannya setelah si keponakan menghina teman Kasdut yang cacat. Ia babak belur malam itu. Tapi yang membuatnya lebih takut adalah air mata yang hampir jatuh di depan bapaknya—karena ayahnya selalu berkata, “Luka itu biasa. Nangis itu buat pengecut.”

Setelah perceraian orang tuanya saat Kasdut berusia enam belas, ia tinggal hanya bersama sang ibu di gang sempit bantaran kali. Gang itu tidak mengenal jam tidur; suara TV tetangga, anak-anak menangis, dan dentingan piring plastik dari warteg kumuh menjadi simfoni malam. Ibunya menjadi pusat segalanya bagi Kasdut. Ia menjelma anak yang bekerja di balik layar: menjajakan jajanan sekolah buatan ibunya, mengantar kerupuk titipan ke warung, menolak dikasihani.

Namun di luar rumah, Kasdut menjadi wajah yang ingin ditakuti. Celana bolong, kaus ketat tanpa lengan, bekas luka di pelipis, dan tatapan seperti anjing jalanan yang siap menggigit. Ia tak ingin ibunya diganggu, disentuh, atau dilirik. Ia tahu betul betapa lelaki bisa menjadi binatang saat melihat perempuan sendirian.

Hingga suatu malam, saat langit kota memantulkan cahaya neon dari pusat perbelanjaan mewah yang hanya sepuluh kilometer dari rumahnya, Kasdut pulang menemukan ibunya termenung. Matanya sembab. Tangannya yang kasar gemetar.

“Pakdemu… mau ngelamar Ibu,” ucapnya pelan.

Kasdut mengerutkan dahi. Pakde? Lelaki bermulut kotor, yang bahkan saat Lebaran tak sudi memberi salam tanpa memelototi tubuh perempuan? Lelaki yang dulu menggoda ibunya dengan sindiran mesum saat pernikahannya baru hancur?

“Ibu tolak. Tapi… dia maksa. Datang ke rumah, ngeludah sembarangan, bilang Ibu butuh lelaki buat ‘menyudahi hidup miskin’ katanya…”

Malam itu darah Kasdut naik seperti ledakan gas dari kompor butut. Ia melompat dari kursi kayu. Tangannya menggenggam celurit yang disembunyikan di bawah tumpukan jaket. Ia mengenakan jaket hitam, mengunci helm, lalu menghidupkan RX-King-nya—raungan mesinnya meraung seperti anjing lapar.

Gas pertama, gas kedua, lalu putaran penuh throttle di depan rumah pakde. Orang-orang mengintip dari balik tirai. Lampu-lampu gang menyala kuning tua. Pakde keluar dengan celana batik longgar dan kaus dalam penuh lubang.

“Kau ap—”

“Ayo carok. Lapangan pasar. Sekarang.”

Tak ada basa-basi. Mata Kasdut menyalak seperti arang dilempar bensin. Pakde yang awalnya tertawa meremehkan itu, akhirnya menyanggupi. Satu jam kemudian, dua lelaki beda generasi berdiri berhadap-hadapan di tengah lapangan parkir pasar yang gelap. Hanya remang cahaya bulan purnama menyinari tanah becek yang masih menyisakan genangan dari hujan sore tadi.

Pakde memegang golok berkarat, tangannya agak gemetar.

Sementara Kasdut… berdiri seperti seekor harimau muda yang tak peduli dengan apapun kecuali satu hal: harga diri ibunya.

Tanpa aba-aba, Kasdut menerjang lebih dulu. Celuritnya melesat seperti kilat ke arah bahu pakde, disambut tebasan balik golok yang nyaris mengenai perutnya. Mereka berputar, saling menghindar. Pakde sempat mengenai lengan kiri Kasdut—darah menetes dari sobekan kausnya.

Namun Kasdut bukan anak kecil yang bisa dipukul lalu menangis. Ia menggulung lengan jaketnya, menerjang lagi. Kali ini celuritnya mengenai paha pakde. Teriakan keras terdengar memecah malam.

Pakde mencoba lari mundur, tapi tanah licin membuatnya terpeleset. Dalam posisi menjulang, Kasdut melompat, mencengkeram rambut pakde, mengacungkan celurit siap menebas leher—

“Kasdut! Jangan! Nak! Jangan bunuh orang!”

Suara itu datang seperti tamparan halilintar. Ibunya berlari dari arah gang. Tubuh ringkihnya memeluk lutut Kasdut. “Nak, cukup. Jangan jadi pembunuh. Jangan jadi binatang seperti mereka…”

Nafas Kasdut memburu. Ia menatap pakde yang kini tersungkur dengan air kencing mengalir di celananya. Tapi dendamnya belum padam.

Tanpa bicara, ia mengangkat celurit dan menebas kaki kiri pakde hingga tulangnya terdengar patah dalam benturan keras. Darah menyembur. Teriakan pakde menggema seperti sirine rusak.

“Supaya kau ingat… seumur hidupmu… jangan hina ibuku lagi.”

Lalu Kasdut pergi. Malam itu, ia menjadi buronan. Polisi datang dua hari kemudian, membawa foto wajahnya dan menyegel rumah kecil di bantaran kali. Tapi Kasdut tak pernah kembali.

Namun dari gang ke gang, cerita tentang Kasdut disebarkan anak-anak kecil sambil menirukan suaranya saat menggertak. Warga menyebutnya “Kasdut Belater”—pembelah martabat. Di warung kopi, tukang becak, ibu-ibu penjual sayur, hingga anak-anak SMA yang nongkrong di ujung gang, semua tahu siapa dia.

Konon, tiap bulan, sembako datang ke rumah ibunya dari entah siapa. Uang tunai juga kerap muncul di bawah keset pintu, dan seseorang terlihat kadang duduk di atas motor tua di ujung gang saat malam, memandangi rumah itu dari kejauhan, lalu pergi diam-diam.

Karena bagi Kasdut, sekalipun kota ini dipenuhi gedung tinggi dan jargon manis, ia tahu satu hal:

Martabat ibunya lebih layak dibela dibanding hukum yang sering lupa siapa yang benar dan siapa yang hanya menang karena punya kuasa.


Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *