Negeri Moral Kosong
Ini negeri moral kosong,
Penuh slogan, otak bolong,
Bendera dikibarkan tinggi menjulang,
Tapi kejujuran tenggelam di kolong.
Di sini janji dibungkus rapi,
Seperti kado tanpa isi,
Politik jadi ladang cuci,
Sementara nurani dilarang berdiri.
Lihat mereka di kursi empuk,
Mulut bicara, tangan mencukup,
Rakyat disuruh hemat nafas,
Elit pesta di atas gelas.
Budaya kami dipoles kaca,
Hanya dipamer saat kamera menyala,
Di balik tari dan baju warna-warni,
Tanah digadai, sejarah dikubur sendiri.
Negeri moral kosong, pasar bebas etika,
Yang kuat bicara, yang lemah binasa,
Korupsi ditutup pakai puisi bangsa,
Sementara petani menangis di sisa sawahnya.
Kami sekolah diajari sopan santun,
Tapi lihat ruang sidang, isinya aib ditampung,
Anak-anak disuruh hafal Pancasila,
Tapi sila kelima cuma pajangan kata.
Ini negeri — lucu tapi getir,
Ngaku religius, tapi rakusnya tak terkira,
Ngaku adil, tapi adil itu langka seperti utopia,
Ngaku budaya, tapi budaya hanya pajangan belaka.
Negeri ini moralnya kosong,
Yang penuh hanya seremonial dan slogan,
Kami diajari diam —
tapi suara ini terlalu nyaring untuk ditahan.
Jangan salahkan kami jika kata jadi peluru,
Jika puisi ini menusuk kalbu,
Karena negeri moral kosong begini,
Hanya bisa diisi dengan suara yang tak lagi takut mati.
Resah yang Tak Sempat Diundang
Ada resah yang diam-diam tumbuh,
Di sela-sela berita yang lusuh,
Di antara janji yang manis terucap,
Tapi esok hari kembali lenyap.
Harga naik, katanya wajar,
Subsidi hilang, katanya pintar,
Tapi rakyat kecil di tikungan pasar,
Belajar menawar nasib yang gentar.
Bensin membubung seperti doa,
Tapi gaji tak ikut serta,
Buruh memeras waktu dan tulang,
Sementara papan nama elit semakin terang.
Anak-anak diajari tentang harapan,
Tapi bangku sekolah perlahan berlubang,
Pendidikan mahal, mimpi pun segan,
Tinggal cerita, tinggal angan.
Kesehatan katanya hak semua,
Tapi rumah sakit pilih siapa,
Di kampung-kampung orang belajar tabah,
Sakit disembuhkan oleh sabar dan pasrah.
Resah ini tak diundang datang,
Tapi ia menetap, bertahan tenang,
Menunggu kapan negeri ini waras,
Atau setidaknya, jujur pada cermin yang retak jelas.
Negeri Metafora
Negeriku bukan negeri biasa,
Negeriku — negeri metafora,
Burung garuda mengepak sayap maya,
Tapi kandang rakyat terkunci jua.
Sawah hijau? Hanya di brosur,
Di ladang nyata, tanah disuruh mundur,
Katanya tambang untuk makmur,
Nyatanya lumpur sampai sumur.
Mereka bilang: “Kita kaya raya!”
Tapi isi piring cuma cerita,
Harga sembako naik tiap doa,
Tuhan pun bingung mau dengar siapa.
Gedung tinggi menembus awan,
Tapi moral roboh tanpa perlawanan,
Hukum berjalan — katanya beradab,
Tapi yang kaya selalu lebih cepat melangkah ke depan.
Negeri ini panggung sandiwara,
Topeng janji dipoles setiap acara,
Rakyat disuruh percaya buta,
Sementara istana pesta pora.
Bicara beda? Bisa dianggap durhaka,
Melukis luka? Dituduh hina negara,
Padahal yang kutulis cuma fakta,
Bahwa adil itu belum tiba.
Negeri metafora, negeri penuh rima,
Tapi isi kepala penuh dilema,
Tiap spanduk, baliho, dan drama,
Hanya mengulang puisi lama.
Tapi dengar ini, para penjaga tahta,
Aku tak takut kata “celaka”,
Selama pena masih bicara,
Kebenaran akan tetap bernyawa.
Karena negeri metafora tak butuh dusta,
Yang dibutuhkan hanya mata,
Melihat rakyat bukan angka,
Tapi nyawa, mimpi, dan suara.

Be First to Comment