kolom opini

Kapitalisme yang Menyusupi Isu Kesetaraan Gender
Kesetaraan gender seharusnya menjadi perjuangan kolektif untuk menghapuskan segala bentuk ketidakadilan yang menimpa perempuan dan kelompok marginal. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, kapitalisme telah menyusup ke dalam diskursus ini, mereduksi maknanya menjadi sekadar strategi pasar. Di bawah sistem kapitalisme neoliberal, kesetaraan gender bukan lagi soal keadilan sosial, melainkan komoditas yang dapat diperdagangkan untuk kepentingan korporasi.
Feminisasi Pasar dan Komodifikasi Perjuangan
Kapitalisme telah mereduksi feminisme menjadi sekadar simbol dan estetika. Gerakan yang dulunya radikal dan menuntut perubahan struktural kini sering kali dikemas dalam bentuk produk komersial seperti kaos dengan slogan feminis, kampanye pemasaran bertema empowerment, dan representasi perempuan di iklan tanpa perubahan nyata dalam sistem kerja dan ekonomi.
Bell Hooks, seorang feminis dan pemikir sosial, mengingatkan bahwa feminisme tidak boleh terjebak dalam perangkap konsumsi:
“Feminism is for everybody, not just for those who can afford it.”
Feminisme yang sejati bukanlah sekadar produk yang dapat dibeli oleh mereka yang mampu. Namun, kapitalisme justru mempersempit perjuangan ini menjadi semata-mata peluang ekonomi. Representasi perempuan di posisi kepemimpinan dalam korporasi sering kali dianggap sebagai kemenangan besar, padahal tidak ada perubahan signifikan dalam kondisi buruh perempuan di sektor bawah.
Eksploitasi Buruh Perempuan dalam Kapitalisme
Kapitalisme memanfaatkan tenaga kerja perempuan dengan dalih pemberdayaan. Perusahaan-perusahaan yang mengklaim mendukung kesetaraan gender tetap mengeksploitasi pekerja perempuan dengan upah rendah dan kondisi kerja yang buruk, terutama di negara berkembang. Fenomena ini disebut sebagai “feminisasi tenaga kerja,” di mana perempuan lebih banyak diserap ke dalam industri dengan upah murah, sedikit perlindungan, dan beban kerja ganda.
Alexandra Kollontai, seorang sosialis dan feminis revolusioner, menegaskan bahwa:
“The true liberation of women is only possible in a society that has overthrown capitalist exploitation.”
Selama kapitalisme masih menjadi sistem dominan, perempuan akan tetap berada dalam posisi rentan meskipun terdapat kemajuan dalam representasi mereka di ruang publik.
Neoliberalisme dan Ilusi Kesetaraan
Neoliberalisme telah mengubah perjuangan kesetaraan gender menjadi alat untuk mempertahankan status quo. Diskursus feminisme arus utama lebih banyak menekankan pada keberhasilan individu, seperti perempuan yang menjadi CEO atau politisi, tetapi mengabaikan persoalan struktural seperti kesenjangan ekonomi, akses terhadap layanan kesehatan, dan hak-hak pekerja.
Nancy Fraser, seorang filsuf feminis, mengkritik bagaimana neoliberalisme telah membajak feminisme:
“Feminism’s critique of the family wage has served to legitimate a new form of capitalism, which is deeply inegalitarian.”
Alih-alih membebaskan perempuan, kapitalisme justru menciptakan bentuk baru ketidakadilan, di mana perempuan yang telah “berhasil” dalam sistem tetap mendukung mekanisme eksploitatif yang sama terhadap perempuan lainnya.
Kembali ke Akar Perjuangan
Untuk melawan penyusupan kapitalisme dalam isu kesetaraan gender, perjuangan feminis harus kembali ke akarnya sebagai gerakan sosial yang bertujuan membongkar sistem opresi. Feminisme tidak boleh hanya berfokus pada inklusivitas dalam kapitalisme, tetapi harus menggugat sistem itu sendiri.
Kesetaraan gender sejati bukanlah soal memiliki lebih banyak perempuan di posisi elit, tetapi memastikan bahwa tidak ada perempuan—atau siapa pun—yang tereksploitasi dalam sistem yang menindas. Seperti yang dikatakan Rosa Luxemburg:
“Those who do not move, do not notice their chains.”
Perjuangan sejati adalah perjuangan yang membebaskan semua orang dari belenggu kapitalisme, bukan hanya mereka yang memiliki privilese untuk menaiki tangga sosial dalam sistem yang tetap menindas mayoritas.
Be First to Comment