
JANCOK: Antitesis Basa-Basi dan Manifesto Perlawanan Urban dalam Goresan XGo
Dalam kota yang bergemuruh seperti Surabaya, bahasa tidak hanya sekadar alat komunikasi, melainkan juga medan pertempuran sosial. Di tengah dentuman knalpot, peluh para pekerja, dan gelegar pasar tradisional, muncul satu diksi yang tak lekang oleh waktu: jancok. Ia bukan sekadar umpatan, melainkan idiom kolektif yang menyimpan ledakan emosi, solidaritas, dan ketegangan antar kelas. Masyarakat Jawa Timur, khususnya Surabaya, telah menjadikan kata ini sebagai bagian organik dari identitas mereka. Dan dari realitas itu, XGo—seorang seniman mural asal kota ini—melahirkan satu proyek visual yang tak hanya estetik tetapi juga ideologis: serangkaian komik strip yang menjadikan jancok sebagai penanda zaman sekaligus senjata perlawanan simbolik.
XGo tak meromantisasi jancok sebagai nostalgia masa lalu atau kekhasan daerah semata. Ia melihatnya sebagai kritik yang hidup—umpatan sebagai ruang kontestasi melawan kemapanan, sebuah bahasa kasar yang justru menyimpan kemurnian ekspresi. Dalam komik-komik strip yang ia hasilkan sejak beberapa tahun silam, terutama sejak awal pandemi COVID-19, XGo memotret peristiwa sosial-politik yang mengguncang bangsa ini: dari tragedi sosial, kebijakan absurd, hingga absurditas hidup di tengah retorika kosong para elit. Dan dalam setiap kisah visual itu, jancok hadir bukan sebagai penutup semata, melainkan sebagai puncak intensitas emosi—sebuah punchline yang mengajak pembaca tidak hanya tertawa getir, tetapi juga bertanya, marah, dan berpikir.
Apa yang dilakukan XGo bukanlah hal baru dalam tradisi kesenian urban, tetapi caranya menempatkan jancok dalam narasi visual menjadikannya berbeda secara subtansial. Bila seniman lain mungkin menjadikannya sebagai gimmick lokalitas, XGo justru memaknai jancok sebagai simbol praksis budaya: sebuah ekspresi yang lahir dari ketertindasan dan ketidakberdayaan rakyat menghadapi tatanan yang korup dan manipulatif. Jancok adalah jerit tanpa sensor atas absurditas hidup, atas janji-janji pembangunan yang hampa, atas paternalistik moral yang tak pernah berpihak pada yang kecil.

Dalam narasi visual XGo, jancok tidak steril dan netral. Ia hadir dalam mulut pedagang pasar yang ditertibkan secara sepihak, di wajah aktivis muda yang diintimidasi karena kritiknya, di ruang-ruang sunyi warga kota yang harus berdamai dengan PHK massal. Ketika pemerintah melempar jargon “new normal” dengan kesan megah, XGo lewat karakternya menjawab dengan satu kata: jancok. Itulah esensi satire yang ia mainkan—bahwa terkadang, satu kata umpatan bisa menjadi lebih jujur daripada seribu pidato kenegaraan.
Lebih jauh, karya XGo bisa dibaca sebagai upaya kultural untuk mengamankan ruang lokal dari kolonialisasi budaya populer global. Di tengah banjirnya idiom dan estetika dari dunia Barat, yang seringkali menyamar sebagai “modernitas”, XGo mengingatkan kita akan pentingnya mempertahankan idiom-idiom organik sebagai bentuk perlawanan simbolik. Jancok bukan hanya bahasa, ia adalah gestur perlawanan, batu lempar, tanduk kerbau yang menolak tunduk pada etiket palsu dunia korporat dan birokrasi elit.
Proyek XGo adalah bagian dari gelombang movement yang lebih luas: menggali nilai-nilai lokal bukan untuk dikomodifikasi, tetapi untuk dikembalikan pada masyarakatnya sendiri sebagai kekuatan simbolik. Dalam dunia seni rupa kontemporer yang sering terlalu sibuk dengan estetika global, XGo memilih jalan lain: ia menjadikan mural dan komik sebagai media edukasi sosial, sebagai manifestasi ekspresi warga urban yang tak ingin dibungkam. Karyanya tidak sekadar memotret realitas, tetapi juga menawarkan gagasan alternatif: bahwa bahasa jalanan bisa menjadi bahasa pembebasan, bahwa umpatan bisa lebih bermakna dari slogan-slogan elite.

Akhirnya, proyek visual XGo adalah bentuk artikulasi atas ketegangan sosial yang tak bisa diatasi dengan basa-basi. Ia adalah suara lantang yang tidak akan tunduk pada sopan santun palsu, simbol dari sebuah kota yang selalu resisten terhadap dominasi wacana luar. Dalam dunia yang semakin dibungkam oleh eufemisme politik dan retorika korporat, mungkin hanya satu kata yang bisa tetap jujur menyuarakan keresahan rakyat: jancok. Dan selama ada seniman seperti XGo, diksi ini akan terus hidup—tidak sekadar sebagai umpatan, tetapi sebagai bentuk keberanian melawan absurditas dunia.
Karena kadang, dalam ketidakadilan yang terus berlangsung, satu kata kasar bisa lebih revolusioner dari ribuan kalimat manis yang dibayar. Jancok, sebagai bentuk ekspresi, adalah ajakan untuk tidak lagi menahan diri.
Be First to Comment