Esai

Industri Hiburan Hollywood: Pengalihan Isu Global Terhadap Korban Perang dan Kekejaman Dunia
Ketika anak-anak Palestina tertimbun reruntuhan rumah mereka, ketika darah mengalir di Darfur, ketika militer Amerika Serikat menjatuhkan bom di Irak, Afghanistan, dan Suriah, dunia sibuk tertawa menyaksikan film komedi, menangis karena drama romantis, atau berdebat tentang siapa yang paling layak memerankan tokoh superhero dalam Marvel Cinematic Universe. Sementara itu, layar-layar bioskop dan platform streaming justru berperan sebagai tabir yang menutupi penderitaan umat manusia. Industri hiburan—terutama Hollywood—bukan lagi sekadar tempat pelarian; ia kini berfungsi sebagai pengalih kesadaran kolektif dunia dari kenyataan paling brutal yang pernah terjadi di bumi.
Penderitaan Dunia yang Ditutupi oleh Layar Lebar
Selama lebih dari satu tahun sejak serangan brutal Israel ke Jalur Gaza pada Oktober 2023, lebih dari 37.000 warga Palestina tewas, mayoritas adalah perempuan dan anak-anak. Infrastruktur sipil seperti rumah sakit, sekolah, dan tempat ibadah dihancurkan secara sistematis. Organisasi seperti Human Rights Watch dan Amnesty International telah menyebut ini sebagai bentuk kejahatan perang, bahkan dugaan genosida. Namun, alih-alih sorotan penuh pada krisis kemanusiaan ini, media global, termasuk industri hiburan, justru mengalihkan perhatian dunia dengan rilis film seperti Barbie, Oppenheimer, dan konser global artis-artis papan atas.
Sementara itu, di Afrika, lebih dari 8 juta orang mengungsi akibat konflik bersenjata yang tidak pernah diselesaikan. Di Sudan, perang saudara antara faksi militer telah menewaskan lebih dari 15.000 orang hanya dalam setahun, dan kelaparan ekstrem mengancam jutaan jiwa di negara-negara seperti Ethiopia, Somalia, dan Republik Demokratik Kongo. Konflik-konflik ini diperparah oleh eksploitasi perusahaan multinasional atas sumber daya alam—seperti kobalt dan koltan untuk baterai ponsel dan mobil listrik—yang didapatkan lewat kerja paksa anak-anak dan pembantaian komunitas lokal.
Namun, berapa banyak film Hollywood yang menggambarkan penderitaan ini secara jujur? Sebaliknya, justru yang muncul adalah glorifikasi budaya konsumsi, hedonisme, dan pahlawan buatan yang tidak memiliki relevansi dengan tragedi kemanusiaan yang nyata.
Hollywood: Mesin Pengalihan dan Pencucian Narasi
Hollywood tidak bekerja dalam ruang kosong. Ia adalah bagian dari sistem kekuasaan yang terintegrasi secara geopolitik dan ekonomis. Sejak Perang Dunia II, Hollywood telah menjadi bagian dari proyek ideologis Amerika Serikat untuk menanamkan nilai-nilai dominasi global lewat budaya populer. Tak sedikit film yang secara aktif melayani narasi resmi pemerintah, bahkan bekerjasama dengan CIA dan Pentagon dalam proses produksinya.
Film seperti American Sniper, 13 Hours, Lone Survivor, hingga Zero Dark Thirty tidak hanya menyajikan kisah personal prajurit Amerika, tapi juga secara sistemik membenarkan invasi dan kehadiran militer AS di Timur Tengah. Padahal, menurut laporan Cost of War Project dari Brown University, sejak 2001, perang yang dipimpin AS di Irak, Afghanistan, Suriah, dan Yaman telah menyebabkan lebih dari 900.000 kematian, termasuk sekitar 387.000 warga sipil, serta menciptakan lebih dari 38 juta pengungsi.
Data ini jarang muncul dalam diskusi publik, karena Hollywood berhasil membungkus kekerasan tersebut dalam estetika kepahlawanan dan patriotisme. Di satu sisi, perang yang menguntungkan korporasi senjata dan minyak dipoles menjadi kisah keberanian; di sisi lain, korban perang dikubur dalam keheningan media.
Genosida yang Dijadikan Hiburan: Ironi Suku Asli Amerika
Hollywood juga punya dosa historis yang tidak pernah diakui secara jujur: genosida terhadap suku asli Amerika. Lebih dari 10 juta penduduk asli dibantai, diusir, atau dilenyapkan lewat kebijakan kolonialisme negara AS sejak abad ke-15 hingga abad ke-19. Namun, bagaimana narasi itu dibingkai dalam film-film?
Suku asli Amerika sering kali digambarkan sebagai “liar”, “penghalang peradaban”, atau “karakter mistik” dalam film koboi-klasik hingga era modern. Mereka dijadikan objek eksotisasi, bukan subjek perjuangan. Film seperti Dances with Wolves, The Revenant, hingga Pocahontas—meski terlihat simpatik—sebenarnya mewakili narasi kolonial yang dilembutkan agar sejarah pembantaian sistematis tampak sebagai konflik budaya atau romansa tragis.
Mereka yang selamat dari pembantaian kini terpinggirkan secara ekonomi, budaya, dan politik. Namun, identitas mereka justru menjadi komoditas hiburan, bahkan sebagai “inspirasi” untuk karakter-karakter fiksi seperti suku Na’vi dalam Avatar—film yang mengklaim membela masyarakat adat, namun diproduksi oleh perusahaan yang sama yang menolak menyoroti kekejaman militer AS dan perusahaan tambang terhadap suku-suku asli di dunia nyata.
Mekanisme Pelupa Massal: Dari Trending Topic ke Amnesia Kolektif
Ketika Gaza hancur, ketika Afrika berdarah, dan ketika suara-suara perlawanan di Amerika Latin dibungkam, masyarakat global disodori tayangan-tayangan yang menumpulkan kesadaran: reality show, live action adaptasi, konser selebritas, dan ribuan jam konten berulang.
Fenomena ini disebut oleh ilmuwan budaya Neil Postman sebagai “Amusing Ourselves to Death”—sebuah kondisi di mana hiburan menggantikan realitas sebagai pusat perhatian publik. Yang lebih mengerikan, kondisi ini menciptakan kehilangan empati sistemik. Kita tidak merasa perlu menangis untuk korban perang, karena lebih mudah menangisi kematian karakter fiksi dalam film atau serial.
Seperti yang pernah dikatakan Noam Chomsky, “Kontrol terhadap media memungkinkan mereka yang berkuasa untuk menciptakan narasi-narasi palsu, dan dalam banyak kasus, menghapus realitas itu sendiri.”
Kesadaran: Jalan Menuju Pembebasan
Masyarakat global tidak akan bisa bangkit melawan penindasan jika kesadarannya terus dibungkam oleh industri yang menyamar sebagai hiburan. Hiburan harusnya menjadi ruang refleksi dan keberpihakan, bukan alat untuk melupakan tragedi. Kita perlu mengedukasi diri, membongkar narasi yang dimanipulasi, dan menyuarakan kembali kisah-kisah yang dikubur oleh sorotan panggung.
Mendukung jurnalisme independen, membaca literatur alternatif, dan menyebarkan kesadaran kritis adalah langkah awal. Karena jika kita terus mengonsumsi hiburan tanpa berpikir, kita bukan hanya menjadi penonton—kita menjadi bagian dari sistem yang membiarkan dunia terbakar dalam diam.
“Kamu tidak bisa menyelesaikan masalah jika kamu tidak tahu masalah itu ada.” — Edward Snowden
Be First to Comment