Press "Enter" to skip to content

Indonesia Spring: Meniti jalan terjal demonstrasi RI hingga jatuhnya Perdana Menteri Sharma Oli

Penulis: Chalid Syamy Ramadhan

Gelombang demonstrasi Indonesia 2025 gaungkan krisis demokrasi hingga Nepal, memicu lengsernya PM Sharma Oli.


Revolusi dan kompleksitas asia modern

Kisah ini bermula dari puluhan masa yang menyulut api kerusuhan dan aktivitas demonstrasi yang kian mengerumuni setiap sudut-sudut jalan di sekitar kota Jakarta pada pertengahan tahun 2025. Tampaknya negara dengan 286 juta penduduk ini tengah menghadapi dilema serius terkait rentetan dinamika masalah sosial, ekonomi dan politik yang dianggap kian terus mengalami pemerosotan. Ledakan masa aksi di Jakarta kali ini bukanlah sebuah fenomena yang tentative. Sebuah aksi yang muncul sebagai bentuk respon dari tumpukan berlapis-lapis kekecewaan mendalam selama bertahun-tahun terhadap sikap elit dan birokrat negara yang dianggap telah jauh melenceng dari standar etik. Berbagai kasus korupsi terkuat setelah mantan komando pasukan Elit berhasil menduduki kursi kekuasaan melalui proses demokratis. Sang Presiden pun memenangkan pertarungan tersebut akibat kelihaian nya dalam menghimpun kekuatan besar yang terdiri dari setiap kekuatan politik yang berada di sekitar roda kekuasan. Namun, transaksi politik ini tidaklah berjalan di lintasan yang pendek. Presiden juga harus memberikan balas budi terhadap para pendukung setianya selama bulan-bulan pemilu berlangsung. Dari sana muncullah lebih banyak lembaga, lebih banyak kementerian, lebih banyak jabatan yang akan dihadiahkan kepada mereka yang belum kebagian kursi di pemerintahan. Keputusan yang beresiko di tengah projek efisiensi yang digemburkan nya sejak awal memerintah di Istana Negara. Meminjam istilah seorang aktor terkenal AS yaitu Ricky Gervais, Ia berucap “If you try to please everyone, you’ll please no one”. Sebuah kalimat yang cocok untuk menggambarkan bagaimana keadaan Mr Presiden yang kian tersudutkan oleh aksi masa di tahun-tahun awal pemerintahannya akibat keputusan transaksional yang dilakukannya. Lalu yang menjadi persoalan per hari ini adalah bila negara dan semangat konsolidasi kekuasan terus menjadi ajang pertunjukan dalam Trias Politika Indonesia, Maka siapa yang akan beroposisi dan mewakili rakyat-rakyat kecil, nelayan-nelayan kecil, petani-petani kecil dan buruh?” Ujar Romo Franz Magnis Suseno dalam pidato ilmiahnya di hadapan para cendekiawan, ilmuwan, dan jutaan rakyat Indonesia yang menyaksikannya di layar digital. Hilangnya kekuatan kiri yang efektif membela rakyat kecil di dalam parlemen telah mendorong sebuah instrumen kejahatan modern di dalam sistem demokrasi liberal, yaitu munculnya kekuasan elit oligarki. Bila kapitalis mengeksploitasi menusia demi keuntungan pribadi mereka, maka elit oligarki mengeksploitasi negara untuk memperkuat kedudukan dan diri mereka sendiri. Dari sana telah tampak sebuah gelombang besar demonstrasi sedang dalam perjalanan berupaya menghantam kekuasaan.

Apakah anda pernah mendengar sesosok yang fenomenal dari AS, Audre Lorde. Ia merupakan seorang aktivis perempuan kulit hitam yang sangat radikal dalam membela hak-hak masyarakat marginal. Salah satu ucapannya yang populer adalah “For the master’s tool will never dismantle the master’s house”. Melalui pernyataan itu ia mencoba mengatakan bahwa bila jalan kompromi dan alat-alat demokratis tidak lagi bekerja di dalam pemerintahan, maka sudah saatnya untuk mendobrak pintu kekuasaan. Jutaan rakyat Indonesia yang begitu lelah dihadapkan dengan fenomena tidakpeduliaan terhadap nasib mereka, kini memilih untuk turun ke jalan seperti yang diucapkan Audre Lorde puluhan tahun lalu. Tentunya  tidak mungkin bagi setiap warga negara yang masih sehat akalnya untuk menempuh jalan-jalan demokratis menghadapi kekuatan oligarki yang bersembunyi di bawah sayap penguasa tanpa menelan pil pahit penolakan. Dimulai dari masalah UU Perampasan Aset, UU TNI, Kenaikan tunjangan pejabat yang berkinerja buruk, ucapan-ucapan buruk menteri di hadapan wartawan, hingga puncaknya adalah pembunuhan seorang buruh oleh aparat keamanan. Ada hal yang paling memalukan dan tentu saja menciderai khazanah wawasan ilmu sosial dan ilmu politik yang kita miliki, yaitu kursi parlemen kian diberikan kepada artis, komedian, hingga orang-orang yang dianggap tidak berkompeten lainnya. Sekali lagi Ini mengingatkan saya tentang seorang sastrawan Turki yang berkata” Di saat para badut memasuki Istana, maka seluruh kerajaan akan menjadi pertunjukan komedi”.  Maka, pada saat kerusuhan mulai meledak di berbagai kota besar di seluruh Indonesia, rasa kekesalan tersebut diwujudkan dalam bentuk pembakaran gedung parlemen di kota seperti Makassar & Mataram, pengrusakan seluruh pos-pos polisi di kota Surabaya, hingga pengrusakan masif di ibu kota Jakarta. Maka, di saat asap-asap berbumbung tebal di langit Indonesia, Presiden kembali membuat pernyataan agar setiap warga negara untuk percaya terhadap pemerintahan yang dipimpinnya. Tapi apakah sang jenderal tidak belajar bagaimana risiko dari keputusan yang diputuskannya sendiri. Kembali lagi kita berfikir bahwa pernyataan sang Maestro AS, Ricky Gervais, adalah benar. Siapapun yang ingin berupaya memuaskan semua orang, maka dia tidak akan berhasil melakukannya. Dalam hal ini pemerintahan sang Jenderal kian tersudutkan dengan mosi yang buruk, sementara mereka yang dipuaskan tidak menanggung beban yang lebih banyak. kami berharap bahwa negara dan elit kekuasaan akan belajar dari langkah yang ditempuhnya. Gerakan ini cukup mendapatkan respon dari para petinggi elit di Jakarta. Mulai dari penyingkiran beberapa menteri hingga komedian yang dianggap sedikit tidaknya melecehkan kesakralan gedung perwakilan rakyat. Semua itu harus dibayar mahal untuk mengembalikan kepercayaan pemerintahan, sedikit tidaknya untuk menghadapi musim pemilu yang akan mendatang.

Sosial media dan keterhubungan warga negara melampaui lintas batas negara telah membawa pada terciptanya semua tatanan masyarakat global. Kemudahan akses telah membawa dampak besar bagi iklim sosial, politik bahkan laju perekonomian di suatu kawasan. Berbagai gambar dan potongan video demonstrasi di Indonesia telah menyebar dan tentunya menjadi perhatian masyarakat global. Berangkat dari dilema dan rasa keterpurukan yang sama telah membawa pada aksi beberapa solidaritas di negeri jiran Malaysia. Namun bagi masyarakat yang tinggal di seberang lautan Hindia yang telah lama hidup dalam keterpurukan akibat korupsi dan pengekangan kebebasan pers adalah pelajaran berharga. Mengingat kembali Wiliam Clark yang menyalahkan Al Jazeera di dalam tulisan-tulisannya sebagai dalang yang sepenuhnya menyebarkan kampanye revolusi musim semi arab pada tahun 2011 sehingga harus merepotkan negara-negara tetangganya di kawasan. dari sana kita belajar sejenak mengilhami bagaimana sistem informasi lintas global bekerja. Maka tidak heran jika masyarakat Nepal dapat menjalani hidup yang tenang meskipun negaranya selama bertahun-tahun dikuasai oleh koruptor dan kekuasaan oligarki. Ini adalah buntut dari akses terhadap sosial media yang sangat terbatas di negara tersebut. Di dalam konteks kerusuhan di Indonesia, tidak ada media Internasional yang secara spesifik dan intens menyoroti kerusuhan-kerusuhan layaknya Al Jazeera di era Arab Spring, namun seluruh media internasional mengambil bagian untuk mempertontonkan hari-hari penuh kerusuhan di Jakarta kepada dunia sepanjang bulan Agustus.

Generasi muda Nepal dengan kepiawaian teknologi yang dimilikinya tentu tidak akan mampu dihentikan selayaknya generasi-generasi sebelumnya yang dipatahkan oleh sistem-sistem pembatasan informasi oleh negara. Kerusuhan di Nepal yang terjadi pada hari-hari pembuka bulan september memiliki atribut dan pola yang sama dengan yang ada di Indonesia. Terdapat masa aksi yang membawa bendera tengkorak One Piece, terjadi aksi pembakaran dan penjarahan terhadap rumah-rumah pejabat negara, hingga pembakaran terhadap gedung parlemen yang terdapat di kota Kathmandu. Buruknya ekonomi dan tingginya angka pengangguran di antara anak muda Nepal telah mendorong sensitivitas mereka terhadap para oligarki yang berada di dalam pemerintahan yang hidup dalam korupsi. Sebutan paling umum yang sempat populer di antara aksi demonstran adalah Nepo Baby. Sebuah sebutan bagi anak-anak haram yang dilahirkan melalui proses nepotisme dalam pemerintahan. Aksi kerusuhan yang begitu masif telah membawa dampak serius bagi pemerintahan Perdana Menteri Sharma Oli. Tampaknya kerusuhan ini telah diikuti dengan keputusan pemunduran dirinya sebagai perdana menteri pada tanggal 9 September 2025. Keputusan politik ini dianggap sebagai upaya mengkonsolidasi kembali kekuatan politik dengan melibatkan kekuatan rakyat guna memperkuat pemerintahan Nepal. Terlihat bahwa Presiden Prabowo justru lebih beruntung dalam mempertahankan kekuasaannya dibandingkan PM Sharma Oli. Tidak seperti Presiden Prabowo yang merupakan politisi yang cukup kuat dan berangkat dari dukungan kawan-kawannya yang merupakan para jenderal senior di angkatan darat, Sharma Oli hanyalah seorang politisi ulung yang kariernya berangkat dari kalangan sipil terutama buruh. Hal itu tercermin dari partai politik sosialis yang dimilikinya. Di sini lain, Prabowo juga memiliki wakil presiden yang merupakan Nepo Baby yang merupakan politis yang lahir dari skandal besar di MK. Para mahasiswa dan kaum pergerakan sangat berhati-hati agar tidak sampai melengserkan atau mendorong presiden Prabowo lengser dari kursi kekuasaannya yang akan berakibat pada penganugerahan kekuasaan kepada sang wakil. Sementara demonstran di Nepal tidak memiliki intensi yang perlu menjadi perhatian yang besar untuk mengupayakan penggulingan sejak mereka beranggapan bahwa kekuasaan PM Sharma Oli dan para pejabat sekitarnya adalah satu paket dari keresahan yang selama ini terjadi.


Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *