Press "Enter" to skip to content

Indonesia Emas Karya Eko Nugroho: Kritik Sosial, Politik, dan Lingkungan di Galeri Artsubs Surabaya

Citizen

Karya Indonesia Emas Eko Nugroho di Artsubs Surabaya menghadirkan kritik tajam soal politik, korupsi, krisis lingkungan, dan harapan global


Indonesia Emas: Kilau yang Membakar, Cermin dari Surabaya ke Dunia

Ada sesuatu yang mengguncang ketika saya pertama kali melangkah ke ruang pamer Galeri Artsubs Surabaya dan berdiri di hadapan karya Eko Nugroho berjudul Indonesia Emas. Saya tidak tahu persis apa yang saya harapkan sebelumnya. Mungkin sekadar melihat patung dengan warna-warna khas Eko yang selama ini dikenal berani, pop, dan penuh humor satir. Tapi ternyata yang saya dapat bukan sekadar visual yang menarik, melainkan semacam tamparan yang pelan tapi pasti meninggalkan bekas. Karya ini tidak hanya bercerita tentang Indonesia, tapi juga tentang dunia yang saya tempati.

Dari kejauhan, patung itu seperti pesta kembang api. Warna-warna mencolok, komposisi yang hidup, dan aura keceriaan yang seakan menyambut siapa pun yang memandangnya. Namun semakin dekat, perasaan itu berubah. Saya sadar tubuh patung ini terbuat dari plastik daur ulang, limbah rumah tangga yang disusun rapi menjadi figur manusia modern. Limbah—sesuatu yang biasanya kita anggap kotor, tidak bernilai, bahkan ingin segera kita singkirkan—di sini berubah jadi tubuh yang tegak berdiri. Ada paradoks yang menusuk: keindahan yang lahir dari sampah, kehidupan yang dibangun dari sisa-sisa keterbuangan. Saya teringat betapa dunia saat ini, dengan segala klaim kemajuan teknologinya, masih bergulat dengan krisis sampah plastik yang seolah tak ada habisnya. Indonesia hanya satu titik di peta, tapi masalah yang dipresentasikan patung ini sesungguhnya universal. Dari laut Pasifik yang dipenuhi plastik sekali pakai hingga kota-kota besar dunia yang kewalahan mengelola limbahnya, tubuh patung ini berdiri sebagai metafora manusia global yang hidup di atas tumpukan sampah ciptaannya sendiri.

tubuh patung dari sampah plastik

Lalu mata saya tertumbuk pada sebuah kalimat yang terpampang jelas di kostum patung itu: “Tugas Rakyat adalah Mensejahterakan Wakil Rakyat.” Saya terpaku cukup lama. Kalimat ini terasa seperti candaan sarkastik, tapi sekaligus begitu nyata hingga sulit untuk tertawa. Di ruang yang hening itu, saya merasa sedang ditatap oleh seluruh sejarah politik bangsa ini, lengkap dengan janji-janji palsu, skandal korupsi, dan drama kepemimpinan yang silih berganti tapi sering meninggalkan rasa getir yang sama. Kalimat itu menyingkap kenyataan pahit bahwa demokrasi kita sering hanya berhenti di bilik suara, sementara setelahnya rakyat dipaksa bekerja keras demi menopang elite yang seharusnya bekerja untuk mereka.

Namun ironinya tidak berhenti pada batas Indonesia. Dalam benak saya terlintas citra global: para pemimpin dunia yang duduk di konferensi iklim dengan wajah serius, menandatangani komitmen pengurangan emisi, namun di belakang layar tetap menyetujui eksploitasi tambang, penebangan hutan, dan proyek-proyek energi kotor yang menghancurkan alam. Rakyat di berbagai negara bekerja, membayar pajak, menyerahkan energi, demi pembangunan yang katanya untuk masa depan bersama, tetapi realitasnya sering hanya memperkaya segelintir orang. Kalimat di dada patung itu, meski lahir dari konteks Indonesia, berbunyi seperti gema universal: tugas rakyat adalah menopang elite, di mana pun mereka berada.

Kepala patung yang dihiasi gambaran lanskap rusak menambah perasaan getir itu. Saya melihatnya seperti dunia yang semakin kehabisan nafas. Pepohonan digantikan oleh tambang, lautan kehilangan ikan karena plastik dan limbah industri, udara di kota besar semakin tak layak dihirup. Kepala adalah pusat kesadaran, tapi kepala patung ini justru dihuni oleh simbol kehancuran. Saya teringat laporan IPCC terakhir yang menyebut kita hanya punya waktu sempit untuk menahan kenaikan suhu global. Ironisnya, negara-negara yang paling banyak bicara soal keberlanjutan seringkali juga yang paling rakus mengonsumsi energi fosil. Figur ini tidak hanya menggambarkan Indonesia yang terluka, tapi dunia yang kolektif sedang kehilangan daya tahannya.

Dan lalu emas itu—bongkahan emas yang dipeluk dan dipersembahkan figur ini. Emas yang seolah hasil jerih payah rakyat, dikumpulkan dan diserahkan demi mimpi besar bernama pembangunan. Dari perspektif nasional, ia mengingatkan saya pada jargon Indonesia Emas 2045, sebuah visi tentang negara maju tepat seratus tahun setelah kemerdekaan. Namun ketika saya melihatnya lebih dekat, kilau emas itu terasa menyilaukan, bukan menerangi. Ia seperti api yang panasnya membakar tangan rakyat yang menggenggamnya. Dalam konteks global, emas ini bisa menjadi metafora kapitalisme ekstraktif yang terus menuntut hasil bumi: emas sungguhan, batu bara, minyak, nikel, apa saja yang bisa ditukar dengan keuntungan jangka pendek, meski meninggalkan kerusakan panjang. Emas ini tidak netral; ia adalah simbol kekayaan yang sering lahir dari perampasan, baik di Papua, di Afrika, maupun di Amerika Latin.

Ada detail lain yang memikat saya: representasi matahari yang berbeda tapi sama-sama membakar. Dari kejauhan, ia tampak memberi cahaya, memberi harapan. Tapi semakin saya perhatikan, matahari itu juga menyiksa, menindas. Saya teringat bagaimana pemimpin negara sering memosisikan diri sebagai “matahari”—pemberi cahaya bagi rakyat. Namun dalam praktiknya, cahaya itu kadang terlalu panas, menyilaukan, bahkan membakar. Dan rakyat, seperti tangan-tangan di bawahnya, hanya bisa menengadah, berharap cahaya itu membawa berkah, meski sebenarnya menyakiti. Di titik ini, saya merasa karya Eko berbicara bukan hanya tentang Indonesia, tapi tentang struktur kuasa global: tentang negara adidaya yang tampil memberi “bantuan” ke negara-negara kecil, padahal sesungguhnya sedang menanamkan pengaruh dan kepentingan. Tentang matahari politik yang terang di permukaan tapi menyengat di baliknya.

Tangan-tangan yang membentuk bunga di sisi patung itu memberi sedikit jeda dari perasaan muram. Ada sesuatu yang lembut, rapuh, tapi juga penuh potensi di sana. Bunga selalu menjadi simbol harapan, dan di tengah semua satir yang getir, Eko Nugroho masih menyisakan ruang untuk optimisme. Saya membacanya sebagai pengingat bahwa di balik segala krisis, masih ada ruang bagi solidaritas, kepedulian, dan keinginan untuk tumbuh bersama. Di dunia yang saat ini dilanda perang, konflik ideologi, dan ketidakadilan distribusi vaksin atau sumber daya, tangan-tangan bunga itu terasa seperti doa kecil: bahwa manusia, di mana pun berada, masih bisa memilih untuk saling mengulurkan tangan, bukan saling memangsa.

Saya berdiri cukup lama di depan patung itu, dan semakin lama, saya merasa tubuh saya sendiri mulai ikut menjadi bagian dari karyanya. Saya teringat masa pandemi, saat semua orang merasa terisolasi, tak berdaya, menatap dunia dengan kosong, berharap ada tangan yang terulur. Saat itu, kita sadar bahwa secanggih apa pun teknologi, secanggih apa pun sistem ekonomi global, manusia tetap rapuh di hadapan virus yang tak kasat mata. Figur tanpa tangan ini persis menggambarkan kondisi itu: tubuh yang berwarna-warni, seolah hidup, tapi kehilangan kemampuan untuk bertindak. Dan entah kenapa, saya merasa pengalaman itu tidak hanya milik Indonesia, melainkan seluruh dunia. Dari New York ke Jakarta, dari Milan ke Mumbai, semua orang merasakan keterasingan yang sama.

Ketika saya akhirnya melangkah keluar dari ruang pamer, perasaan saya bercampur. Ada kemarahan yang mengendap, ada keputusasaan yang samar, tapi juga ada sebersit harapan. Saya menyadari bahwa Indonesia Emas bukan sekadar karya seni rupa, tapi sebuah cermin besar. Cermin yang tidak selalu menyenangkan untuk ditatap, tapi justru karena itu penting. Cermin yang mengingatkan bahwa janji emas tidak selalu berarti kesejahteraan, bahwa cahaya bisa sekaligus membakar, bahwa keindahan bisa lahir dari sampah, dan bahwa kita, manusia modern, sering kali hidup lebih banyak dalam citra daripada realitas.

Dan mungkin di situlah kekuatan terbesar karya Eko Nugroho ini. Ia tidak memberi jawaban, tapi memaksa kita untuk bertanya ulang. Tentang Indonesia, tentu saja. Tapi juga tentang dunia yang kita tempati bersama. Tentang apa arti emas yang kita kejar mati-matian. Tentang siapa yang sebenarnya kita sejahterakan. Tentang apa yang akan tersisa ketika bunga-bunga harapan itu gagal tumbuh.

Saya pulang dengan sebuah kesadaran: bahwa emas sejati bukanlah bongkahan yang kita persembahkan kepada penguasa, melainkan kesediaan untuk melihat realitas apa adanya dan berani mengubahnya. Indonesia Emas, dalam pengertian Eko Nugroho, bukanlah tentang kilau yang menyilaukan, melainkan tentang keberanian menatap cahaya yang membakar, dan tetap memilih untuk menumbuhkan bunga di tengah bara.


Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *