Opini
Negara menyebut bendera One Piece sebagai makar. Apakah ini bentuk represi atau ketakutan terhadap imajinasi rakyat? Baca analisis lengkapnya di sini.
Negara Ketakutan Sama Bendera Kartun? Sebuah Polemik tentang Simbol, Imajinasi, dan Ketidakpercayaan Rakyat
Pengantar: Ketika Imajinasi Ditafsirkan Sebagai Makar
Menjelang peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia, suasana yang seharusnya dirayakan dengan refleksi dan harapan malah tercoreng oleh sebuah polemik yang ganjil. Pengibaran bendera One Piece—ikon bajak laut dari dunia fiksi—oleh sebagian warga menuai respons keras dari MPR. Simbol yang dalam budaya populer dianggap sebagai lambang perlawanan terhadap ketidakadilan, oleh wakil rakyat justru dilabeli sebagai “provokasi” yang berpotensi menjatuhkan pemerintah.
Dalam lanskap demokrasi yang sehat, ekspresi kultural seharusnya tidak serta-merta dibingkai dalam narasi ancaman. Tapi dalam konteks Indonesia hari ini, di mana ruang kritik semakin menyempit dan simbol-simbol alternatif ditafsirkan sebagai bentuk pembangkangan, pertanyaan yang muncul adalah: mengapa negara begitu defensif terhadap imajinasi rakyat?
Politik Simbol di Tengah Ketegangan Demokrasi
Simbol bukan sekadar gambar. Ia adalah bahasa kolektif yang merepresentasikan perasaan, identitas, dan harapan suatu kelompok. Dalam ranah politik, simbol bisa menjadi penanda solidaritas maupun bentuk perlawanan. Oleh karena itu, respons keras dari MPR atas pengibaran bendera One Piece bisa dilihat sebagai upaya negara untuk memonopoli makna kebangsaan.
Namun ketika simbol fiksi dianggap lebih berbahaya dibanding ketimpangan nyata dalam sistem birokrasi, kita patut mempertanyakan arah kebijakan komunikasi negara. Sebab, dalam masyarakat yang terbuka, negara seharusnya mendengar terlebih dahulu pesan yang ingin disampaikan, alih-alih langsung menstigmatisasi.
Dari sudut pandang kritis, negara hari ini makin menunjukkan kecenderungan otoriter yang dibungkus dalam narasi hukum dan nasionalisme. Setiap bentuk kritik dibaca sebagai upaya menggoyang kekuasaan. Setiap simbol yang tidak sesuai protokol dibaca sebagai gerakan makar.
Ketika Kartun Lebih Menginspirasi daripada Pidato Resmi
Luffy dan para kru Topi Jerami bukan hanya karakter dari anime. Mereka adalah simbol naratif yang merepresentasikan keadilan, keberanian, dan solidaritas. Nilai-nilai ini, bagi sebagian besar generasi muda, terasa lebih relevan daripada jargon nasionalisme yang kerap keluar dari mulut para pejabat.
One Piece mengajarkan bahwa yang melawan sistem tidak selalu salah. Justru mereka yang mempertanyakan, yang menolak tunduk pada rezim korup, adalah agen perubahan. Maka ketika rakyat mengibarkan bendera One Piece, itu bukan sekadar gaya-gayaan. Itu ekspresi ketidakpuasan. Itu bentuk kritik. Dan dalam demokrasi, kritik bukan kejahatan.
Ini bukan hanya soal fandom. Ini adalah reaksi terhadap situasi sosial-politik yang membuat warga merasa tak punya ruang untuk didengar. Ketika negara gagal menjadi pelindung, rakyat menciptakan simbolnya sendiri. Dan kadang, simbol itu datang dari dunia fiksi, karena dunia nyata terlalu menyakitkan.
Pop Culture sebagai Bahasa Politik Baru
Kita hidup di era ketika kesadaran politik tidak lagi lahir dari buku teks, tapi dari meme, serial TV, musik, dan anime. Pop culture telah menjadi ruang pendidikan politik alternatif bagi generasi muda. Dan ini bukan fenomena lokal. Di seluruh dunia, budaya populer telah menjadi alat komunikasi politik yang efektif.
Bendera One Piece adalah bagian dari narasi itu. Ia adalah bahasa alternatif yang dipakai oleh rakyat untuk menyampaikan perasaan kecewa, frustasi, dan harapan. Sayangnya, negara memilih meresponsnya dengan pendekatan kekuasaan, bukan pendekatan dialog.
Dalam tradisi demokrasi, simbol adalah jembatan, bukan tembok. Tapi ketika negara mulai panik terhadap simbol, maka yang kita hadapi bukan lagi negara demokratis, melainkan negara yang fobia terhadap rakyatnya sendiri.
Nasionalisme Bukan Sekadar Bendera
Nasionalisme sejati tidak dibuktikan dengan pengibaran bendera Merah Putih setiap Agustus. Nasionalisme lahir ketika rakyat merasa negara hadir di saat mereka butuh. Ketika keadilan ditegakkan. Ketika hidup menjadi lebih layak. Dan ketika suara-suara kecil pun didengar.
Mengibarkan bendera One Piece bukan berarti mengkhianati Merah Putih. Sebaliknya, itu bisa jadi bentuk cinta yang frustrasi. Sejenis cinta yang merasa dikhianati oleh negara sendiri. Dan jika cinta itu tidak lagi bisa disalurkan melalui jalur formal, maka ia akan mencari medium lain—meski harus lewat dunia fiksi.
Negara Harus Belajar Mendengarkan, Bukan Menuding
Pernyataan MPR yang menyamakan simbol kartun dengan gerakan makar adalah potret dari negara yang enggan mendengarkan. Ini menandakan kegagalan dalam membangun dialog antara rakyat dan kekuasaan. Dalam sistem demokrasi, kesalahpahaman semacam ini tidak seharusnya terjadi.
Negara harus mampu membedakan mana ekspresi budaya, mana provokasi politik. Tidak semua yang berbeda dengan narasi resmi adalah ancaman. Sebaliknya, justru keberagaman ekspresi itu yang membuat demokrasi tumbuh sehat.
Sikap cepat menuduh rakyat makar setiap kali muncul simbol yang tak lazim justru berbahaya. Ia menciptakan ketakutan, bukan kepercayaan. Ia menumbuhkan jarak, bukan kedekatan. Dan perlahan, ia bisa membunuh esensi kebebasan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi.
Penutup: Imajinasi Rakyat Tidak Bisa Dipenjara
Pengibaran bendera One Piece bukan ancaman. Ia adalah refleksi kekecewaan yang belum menemukan saluran politik formal. Ia adalah ekspresi kreatif yang menuntut negara untuk lebih peka, lebih mendengar, dan lebih memahami bahasa rakyat.
Kekuasaan yang bijak tidak akan takut pada simbol. Ia akan menafsirkannya, lalu mengajak dialog. Sebab dalam dunia yang makin kompleks ini, kadang rakyat tidak lagi bicara dengan spanduk atau orasi. Mereka bicara dengan meme, bendera anime, dan narasi fiksi.
Dan negara, jika tidak ingin makin kehilangan relevansi, harus belajar membaca semua itu. Sebab yang lebih berbahaya dari makar adalah negara yang menutup telinga terhadap imajinasi rakyatnya sendiri.
Be First to Comment