Press "Enter" to skip to content

Helm Tempur: Cerpen Sarkastik Viper Dilepas di Tengah Hip-Hop, Mural, dan Stand-Up Urban Surabaya

Citizen | fotografer: Aldy M. Fitrah

Peluncuran buku cerpen Helm Tempur karya rapper Viper berlangsung di Kedai Smeleh Surabaya, dimeriahkan mural live, musik hip-hop, stand-up comedy, hingga diskusi karya. Cerpen sarkastik ini jadi ekspresi keras dari keresahan urban.


“Helm Tempur” dan Parade Urban Surabaya: Ketika Cerpen, Hip-Hop, Mural, dan Tawa Berpadu di Kedai Smeleh

Surabaya tak pernah benar-benar diam. Di lorong-lorong kotanya, di sela deru motor dan suara pengamen trotoar, ada denyut kreatif yang terus bergerak. Minggu, 27 Juli 2025, Kedai Smeleh di Jl. Gubeng Kertajaya 8C No. 59b menjadi saksi dari semacam perayaan alternatif: peluncuran buku cerpen Helm Tempur karya Viper, rapper yang lebih dikenal karena lirik-lirik nakal dan flow jalanannya, kini menyulap keresahan menjadi prosa sarkastik.

Buku yang diterbitkan oleh Penerbit Lumpur ini berisi tiga cerita pendek yang ditulis sendiri oleh Viper. Setiap cerpen menyimpan nada liar, sinis, sekaligus reflektif. Ia bicara tentang absurditas hidup sehari-hari, tentang betapa lemahnya sistem, dan bagaimana rakyat kecil terus dipermainkan narasi besar yang mereka sendiri tak pernah turut menciptakan. Membaca Helm Tempur seperti menyusuri jalan-jalan sempit Surabaya dengan helm retak dan pandangan yang tetap siaga.

Peluncuran buku ini jauh dari nuansa formal dan sunyi. Di Kedai Smeleh, seni hadir dalam bentuk yang cair dan kolektif. Tsunami031, muralis jalanan yang namanya mulai melegenda di dinding-dinding kota, melukis secara langsung di tengah acara. Warna-warna liar menabrak teks cerpen Viper yang terpajang. Dinding bukan lagi pembatas, tapi kanvas. Bahkan aroma cat menyatu mesra dengan kopi dan asap rokok, menciptakan nuansa yang sukar diciptakan di tempat lain.

Musik pun jadi elemen penting malam itu. LTK dan DJ Turbo melempar beat yang membakar atmosfer. Hip-hop tak lagi sekadar musik, tapi jadi medium pembacaan ulang kota. Suara mereka menghantam stagnasi, memprovokasi penonton untuk tetap gelisah, untuk tetap bertanya.

Lalu hadir pula dua seniman performatif: Adnan Guntur dan Gatra Nugraha. Mereka menggoyangkan batas antara seni pertunjukan dan ritual urban. Gerakan tubuh mereka tak melulu koreografi, tapi semacam doa yang ditujukan bagi mereka yang kehilangan suara di tengah kota yang makin bising.

Yang tak kalah menarik adalah sesi stand-up comedy. Seorang komika  tampil dengan gaya khasnya —nakal, ceplas-ceplos, tapi menggigit. Ia membedah absurditas sosial dengan cara yang ringan tapi menohok, menggarisbawahi bahwa kritik sosial tak melulu harus marah; kadang cukup dengan tertawa pahit.

Di antara penampilan dan mural yang mulai selesai di satu sisi tembok, diskusi buku berlangsung hangat. Viper tidak berbicara dari atas podium. Ia duduk santai di kursi kayu, bertukar obrolan dengan moderator dan audiens layaknya sesi ngopi larut malam. Ia mengungkapkan bagaimana proses menulis Helm Tempur lahir dari kemacetan pikiran setelah menulis lirik. “Kadang ada keresahan yang terlalu panjang untuk dirap, terlalu gelap untuk dinyanyikan, tapi terlalu penting untuk dibungkam,” katanya.

Diskusi itu melibatkan banyak suara: dari pembaca muda, musisi, sampai artis visual. Mereka bicara tentang bagaimana sastra bisa menjadi peluru yang lebih pelan dari hip-hop, tapi kadang justru lebih tajam. Helm Tempur menjadi simbol—tentang perlindungan yang rapuh, tentang kepala-kepala yang tetap ingin berpikir meski dihantam kerasnya dunia.

Malam itu, Kedai Smeleh menjelma menjadi lanskap urban yang utuh: ada tawa, ada amarah, ada seni yang tak bisa dikurung di galeri. Semuanya hadir dalam bentuk paling jujur—berantakan tapi otentik. Inilah wajah Surabaya yang sesungguhnya: penuh celoteh dan celah, tapi selalu punya cara untuk merayakan luka-luka kecilnya dengan gaya.

Helm Tempur bukan sekadar buku. Ia adalah napas. Ia adalah bagian dari gelombang ekspresi kota yang tak mau tunduk. Dan malam itu, Surabaya sekali lagi membuktikan: seni tak harus menunggu izin, ia cukup menemukan celah dan meledak.

viper dan karya bukunya “Helm Tempur”

Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *