Opini
Kasus guru Madin di Demak yang didenda Rp 25 juta karena menampar murid yang melempar sandal membuka borok moral orang tua masa kini. Artikel ini menggugat kebobrokan etika, lemahnya perlindungan guru, dan kehancuran akal sehat dalam pendidikan Indonesia.
TAMPAKAN WAJAH MORAL YANG BUSUK: POLEMIK ORANG TUA PELAPOR DALAM KASUS GURU NGAJI DIDENDA 25 JUTA
Apakah peradaban ini sudah sampai di titik di mana tamparan seorang guru yang ditujukan untuk mendidik—bukan menyiksa—justru dianggap lebih kejam daripada tindakan seorang anak yang dengan pongah melempar sandal ke arah wajah gurunya? Barangkali, jawaban paling tepat bukan lagi “ya” atau “tidak”, tapi “sialan, kita hidup di zaman yang menjijikkan”.
Di Demak, seorang guru Madrasah Diniyah bernama Ahmad Zuhdi (63 tahun) dihantam kenyataan pahit: setelah berpuluh tahun mengajar dengan gaji tidak seberapa, hanya karena satu tamparan atas kelakuan murid yang tidak tahu sopan santun, ia didenda Rp 25 juta oleh orang tua si murid. Dunia ini memang sedang tidak sehat, tetapi tidak ada yang lebih menyesakkan dada selain melihat betapa bejatnya mental orang tua yang menuntut guru seperti itu. Ini bukan sekadar perkara hukum. Ini soal moral. Ini soal etika. Ini soal betapa bobroknya cara berpikir orang tua zaman sekarang yang menjadikan anak mereka sebagai raja kecil, dan memperlakukan guru seperti pelayan yang harus tunduk dan membungkuk.
Seorang anak melempar sandal ke arah guru saat pelajaran berlangsung. Tindakan itu adalah cermin dari akhlak yang hancur, buah dari pola asuh yang amburadul. Tapi yang lebih memuakkan adalah bagaimana orang tua anak itu—dengan wajah tak tahu malu—bukan datang meminta maaf atas perilaku anaknya, melainkan menggugat guru tersebut seolah-olah guru itu telah melakukan kejahatan luar biasa. Ini adalah bentuk kemunduran etika dan kebodohan sosial yang tidak bisa dibiarkan. Orang tua seperti ini bukan hanya merusak citra pendidikan, tapi juga menjadi racun dalam masyarakat. Mereka menanamkan dalam benak anak-anaknya bahwa otoritas guru bisa diinjak-injak, bahwa guru tidak pantas dihormati, dan bahwa uang bisa menyelesaikan segalanya. Orang tua seperti ini seharusnya malu hidup di tengah masyarakat. Jika ada yang layak disidang secara moral, mereka lah pelakunya.
Ahmad Zuhdi bukan orang kaya. Ia bukan pengacara, bukan politikus, bukan selebriti. Ia hanya guru ngaji, yang selama puluhan tahun mengabdi dalam sunyi. Saat mediasi dilakukan, ia tidak punya pilihan selain menerima “kesepakatan” untuk membayar separuh dari tuntutan: Rp 12,5 juta. Demi membayar “perdamaian” itu, ia menjual motor, meminjam ke sana-sini. Ini adalah bentuk kekerasan simbolik yang menjijikkan. Ingat, ini bukan vonis pengadilan. Ini bukan sanksi dari lembaga pendidikan. Ini adalah hasil dari sebuah tekanan sosial yang diselimuti topeng hukum: seolah-olah mediasi, padahal pemerasan. Ini bukan keadilan. Ini penjajahan gaya baru. Dan orang tua murid itu adalah algojonya.
Kita sedang menghadapi krisis orang tua. Krisis nalar. Krisis moral. Mereka yang seharusnya menjadi jembatan antara rumah dan sekolah malah menjadi penyulut konflik. Mereka memperlakukan guru seperti musuh. Mereka ingin anak mereka mendapatkan pendidikan, tapi menolak disiplin. Mereka ingin anaknya cerdas, tapi alergi terhadap koreksi. Inilah wujud nyata dari generasi orang tua gagal. Jangan heran jika kelak anak-anak mereka tumbuh menjadi bajingan dengan gelar. Mental mereka sudah dididik untuk merasa paling benar, paling suci, dan paling pantas dilindungi. Mereka akan tumbuh tanpa rasa hormat kepada siapa pun, dan akan terus menyandarkan hidupnya pada kuasa orang tua mereka. Mereka tidak akan pernah belajar tentang tanggung jawab, karena dari kecil telah diajarkan bahwa kesalahan bisa ditutup dengan uang.
Ketika guru ditampar oleh sistem dan oleh masyarakat yang ia layani, maka kita harus siap menyambut kematian sosial dari profesi guru itu sendiri. Siapa yang mau jadi guru kalau nasibnya seperti Ahmad Zuhdi? Siapa yang mau mengajar jika setiap koreksi bisa berujung laporan polisi dan tuntutan finansial? Apa yang tersisa dari martabat pendidik jika anak-anak kebal kritik dan orang tua jadi teroris etika? Guru seperti Zuhdi adalah korban dari sistem pendidikan yang tidak melindungi pendidik non-formal. Mereka tidak punya payung hukum. Mereka hanya punya niat baik. Tapi niat baik, di dunia yang membusuk seperti ini, tampaknya lebih berbahaya daripada niat jahat. Karena niat baik bisa jadi alat pembantaian moral oleh orang-orang yang tidak tahu diri.
Bagaimana bisa guru yang bergaji ratusan ribu rupiah dituntut membayar denda puluhan juta rupiah? Ini bukan hukum. Ini adalah ketidakadilan yang dibungkus rapi dengan prosedur. Kita hidup di negeri di mana aparat penegak hukum lebih mudah menggertak yang lemah daripada menindak yang kuat. Ahmad Zuhdi bukan satu-satunya. Ia hanya simbol dari puluhan ribu guru ngaji, guru madin, guru honorer yang setiap hari hidup dalam ancaman sosial dan hukum dari para orang tua yang tak tahu etika.
Sudah saatnya kita bersuara lantang dan menggugat model orang tua macam ini. Orang tua yang gagal menjadi panutan, tapi ingin jadi penguasa moral. Orang tua yang merasa paling benar, tapi justru menjadikan anaknya sampah masyarakat. Orang tua seperti ini adalah virus. Mereka harus dilawan. Mereka harus ditelanjangi secara moral di hadapan publik agar tidak semakin banyak yang meniru. Anak mereka boleh melempar sandal, dan guru yang menampar akan dituntut. Tapi masyarakat tidak boleh tinggal diam. Kita harus melawan dengan suara, dengan tulisan, dengan aksi. Karena jika tidak, kita akan hidup dalam zaman di mana anak durhaka dianggap pemberani dan guru dianggap kriminal.
Untungnya, tidak semua nurani mati. Banyak warga yang membantu Ahmad Zuhdi, dari donasi, perhatian pejabat, hingga tawaran umrah. Tapi ini bukan soal kompensasi. Ini soal pertarungan etika. Setiap kita yang peduli pada nasib pendidikan harus berdiri di barisan guru. Karena guru bukan musuh. Guru adalah benteng terakhir akhlak bangsa ini. Jangan sampai guru menjadi profesi yang penuh ketakutan. Jangan sampai ruang kelas jadi arena kriminalisasi. Jangan sampai guru hanya bisa mengajar dengan lidah yang terkatup dan tangan yang terikat. Karena jika itu terjadi, maka tamatlah sudah masa depan bangsa.
Kasus ini adalah cermin besar. Ia memperlihatkan wajah busuk masyarakat kita. Ia menunjukkan bahwa bukan hanya anak-anak yang durhaka, tapi juga para orang tua yang durhaka kepada akal sehat dan etika. Jika bangsa ini ingin selamat, maka mulailah dari membenahi moral orang tua. Karena dari sanalah semua busuk ini bermula. Ahmad Zuhdi hanya tampar sekali. Tapi orang tua murid itu menampar akal sehat jutaan kali. Kita tidak boleh diam. Kita tidak boleh takut. Kita harus lawan. Dengan kata, dengan tindakan, dengan ketegasan. Karena jika tidak, maka pendidikan akan tinggal nama, dan guru hanya akan dikenang sebagai korban dari masyarakat yang kehilangan nurani.
Be First to Comment