Press "Enter" to skip to content

GELANDANGAN DI KOTA SENDIRI, Ketika Tanah Kelahiran Menjadi Tanah Asing

Generasi muda di Surabaya kian sulit memiliki rumah sendiri. Harga tanah tinggi, upah rendah, dan kebijakan tak berpihak mendorong mereka jadi gelandangan sosial.


Gelandangan di Kota Sendiri: Krisis Hunian Anak Muda Surabaya


Bayangkan lahir, tumbuh, dan hidup puluhan tahun di sebuah kota—lalu suatu hari menyadari bahwa kota itu menolak keberadaanmu. Bukan karena kau asing, tapi karena kau miskin.

Surabaya—Di sela deru motor dan dentuman pembangunan yang menggali fondasi gedung pencakar langit baru, ada sekelompok generasi yang hidup tanpa fondasi: para pemuda kota yang tumbuh di gang-gang padat, sekolah di lorong-lorong sempit, dan kini terancam tidak memiliki sepetak ruang pun di kota yang mereka anggap rumah.

Mereka tidak terusir oleh perang, tidak disapu bencana. Mereka tersingkir secara perlahan dan sistematis oleh harga tanah yang melonjak, oleh upah kerja yang stagnan, oleh sistem kota yang memperlakukan tempat tinggal sebagai komoditas, bukan kebutuhan.

Di sudut-sudut kota tua yang mulai digusur, suara orang muda yang tertawa kecil sambil menyeruput kopi sachet di teras rumah kontrakan adalah sisa dari kenyamanan yang pernah ada. Sebentar lagi pun akan lenyap.

Bayang-Bayang Tak Terjangkau

Harga properti di Surabaya melonjak tanpa jeda. Di pusat kota, harga rumah tipe kecil kini mencapai Rp800 juta hingga lebih dari Rp1,2 miliar. Bahkan di pinggiran, hunian sederhana pun menyentuh angka Rp500 juta. Sementara upah minimum kota hanya Rp4.725.479 per bulan (UMK Surabaya 2024), sebagian besar lulusan perguruan tinggi pun hanya menerima gaji di kisaran Rp5–6 juta—tanpa tunjangan, tanpa kepastian kerja jangka panjang.

Skema KPR? Sekadar ilusi. DP 20 persen berarti harus menabung lebih dari Rp100 juta, sementara cicilan bulanan bisa mencapai separuh gaji. Itu pun dengan catatan tidak ada tanggungan lain. Kenyataannya, banyak anak muda yang bekerja dua atau tiga pekerjaan hanya untuk bertahan hidup dan membayar sewa.

Kota yang Tumbuh Tapi Membusuk

Kota ini tumbuh, tapi hanya ke atas—secara vertikal dan kosmetik. Gedung-gedung kaca, apartemen mewah, dan pusat perbelanjaan tumbuh bagai jamur setelah hujan. Namun, ruang hidup yang manusiawi bagi kelas menengah ke bawah justru menyusut. Rumah-rumah dijadikan instrumen investasi, bukan tempat tinggal. Hunian-hunian baru dibeli bukan oleh warga kota, melainkan investor dari luar yang menjadikannya aset mati.

Sementara itu, kampung-kampung tua dipreteli, satu per satu. Kawasan yang dulunya menjadi tempat tumbuh generasi muda Surabaya, kini berubah menjadi lahan parkir proyek properti, kompleks elite berpagar tinggi, atau sekadar tanah kosong menunggu izin bangun. Anak-anak mudanya perlahan terusir, bukan oleh kekerasan, tetapi oleh diamnya negara dan derasnya kekuatan pasar.

Bekerja untuk Bertahan, Bukan untuk Hidup

Pekerjaan memang ada, tapi mayoritas bersifat kontrak jangka pendek, tanpa jaminan sosial, dan upah minim. Di sektor informal, lebih parah: upah dihitung harian, tanpa kepastian kerja esok hari. Jam kerja bisa 12 jam, tapi penghasilan hanya cukup untuk makan, transportasi, dan sedikit sisa untuk sewa kamar 3×3 meter di gang sempit.

Beberapa mencoba wirausaha—jualan makanan daring, konten digital, desain grafis—tapi persaingan ketat dan algoritma platform membuat penghasilan tak menentu. Di sisi lain, tekanan hidup terus meningkat: harga makanan naik, biaya kesehatan tidak terjangkau, dan pendidikan semakin mahal.

Kehidupan urban bagi sebagian besar pemuda kini terasa seperti lomba lari di atas treadmill. Berlari sekencang apa pun, mereka tetap berada di tempat. Tak maju. Tak punya pegangan.

Ketika Rumah Tak Lagi Pulang

Rumah bukan sekadar struktur. Ia adalah simbol stabilitas, martabat, dan masa depan. Tapi kini rumah berubah jadi entitas yang jauh, dingin, dan tak tersentuh. Mereka yang tidak memiliki rumah hidup dengan kecemasan kronis. Satu surat penggusuran, satu keputusan kenaikan sewa, satu krisis keuangan, cukup untuk membuat seseorang kembali menggelandang—bukan di jalan, tapi dalam ketidakpastian sosial.

Banyak pasangan muda yang menunda menikah karena tidak punya tempat tinggal layak. Banyak orang tua lanjut usia yang harus terus bekerja karena anak-anaknya belum bisa menanggung. Anak-anak tumbuh tanpa ruang belajar, tanpa taman bermain, tanpa jendela untuk melihat dunia luar selain layar ponsel.

Retakan yang Melebar

Retaknya bukan hanya ekonomi, tapi juga sosial dan psikologis. Jurang antar generasi melebar. Orang tua merasa anak-anak mereka malas dan boros, tanpa memahami bahwa kondisi ekonomi sudah berubah drastis. Sementara generasi muda merasa sistem ini tidak memberi mereka kesempatan yang adil.

Kekecewaan berubah jadi ketidakpercayaan. Ketidakpercayaan berubah jadi apatisme. Ketika seseorang merasa tidak punya tempat di kota tempat ia dilahirkan dan dibesarkan, maka apa makna identitas lokal itu sendiri?

Sebagian memilih pindah ke kota satelit, tinggal di kontrakan jauh di luar kota, mengorbankan waktu dan biaya transportasi. Sebagian lagi memutuskan merantau ke kota lain, meskipun tahu problemnya akan sama. Sisanya bertahan, dengan diam dan putus asa, berharap ada celah yang muncul.

Kota Tanpa Tempat untuk Masa Depan

Surabaya tidak sendiri. Fenomena ini terjadi di banyak kota besar Indonesia: Jakarta, Bandung, Semarang, Makassar. Polanya serupa: spekulasi properti, investasi besar, absennya regulasi perlindungan hak atas tanah, dan negara yang terlalu diam atau malah bersekongkol.

Generasi muda, yang mestinya menjadi tulang punggung masa depan kota, justru tercerabut dari akarnya. Mereka menjadi “gelandangan sosial”—memiliki identitas kota tapi tak punya ruang untuk menetap dan tumbuh di dalamnya.

Jika sebuah kota tidak memberi tempat untuk hidup bagi warganya sendiri, maka kota itu telah gagal dalam fungsi dasarnya.

Kota yang baik bukan yang tinggi gedungnya, bukan yang ramai investornya, tapi yang mampu memberi ruang layak bagi semua warganya, tanpa terkecuali. Bukan hanya bagi yang mampu membeli, tapi juga bagi yang bekerja, belajar, tumbuh, dan berharap di dalamnya.

Surabaya mungkin sedang membangun banyak hal. Tapi jika ia tak segera membangun keadilan ruang, maka ia sedang menciptakan generasi gelandangan di tanah sendiri—dan itu akan menjadi tragedi urban yang sulit ditebus.


Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *