Feature
Garden Books Society adalah komunitas literasi lintas disiplin yang membangun ruang jeda dan kebersamaan melalui kegiatan membaca bersama. Di tengah arus modernitas dan individualisme, mereka menghadirkan perlawanan kultural: memperlambat, berkontemplasi, dan menemukan kembali makna manusia.
Garden Books Society: Membaca Sebagai Tindakan Kolektif di Tengah Dunia yang Sibuk
Di antara deru kendaraan yang terus bergulir, notifikasi yang tak henti berdentang, dan tuntutan produktivitas yang menjadi mantra zaman, manusia modern semakin kehilangan ruang untuk berdiam. Kita hidup di masa ketika keheningan menjadi barang mewah, dan pertemuan tanpa tujuan utilitarian tampak seperti pemborosan waktu. Namun, di tengah ritme yang kian menekan itu, sekelompok orang mencoba menanam jeda, sebuah taman kecil di tengah kota bernama Garden Books Society. Di sana, membaca bukan sekadar kegiatan intelektual, melainkan upaya membangun kembali makna kebersamaan, menghadirkan ruang untuk berpikir, dan menegosiasikan kembali posisi manusia di hadapan dunia yang serba cepat.
Komunitas ini lahir dari kegelisahan sederhana namun mendalam: mengapa membaca, sesuatu yang seharusnya menjadi pengalaman personal yang menenangkan, kini justru terasa sunyi dan terpinggirkan? Ketika setiap aktivitas harus diukur dengan hasil, ketika setiap waktu luang harus disulap menjadi produktivitas baru, membaca bersama menjadi bentuk kecil dari perlawanan. Ia tidak menjanjikan efisiensi atau profit, melainkan ketenangan, percakapan, dan koneksi antar manusia. Dalam ruang seperti inilah Garden Books Society menemukan relevansinya, sebagai oase sosial di tengah padang gersang modernitas.

Mereka yang datang ke pertemuan Garden Books Society tidak selalu berasal dari dunia literasi. Ada Buruh yang terbiasa dengan bising mesin produksi, pekerja sosial yang lebih fasih berhadapan dengan realitas jalanan ketimbang halaman buku, dan mahasiswa teknik yang mencari jeda dari rumus. Mereka datang dari lintas disiplin, membawa cara pandang masing-masing terhadap teks dan kehidupan. Dalam keberagaman itulah, buku menjadi semacam bahasa bersama. Ia bukan lagi milik satu golongan intelektual, melainkan medan terbuka di mana setiap orang bisa menafsirkan, menyoal, dan berbagi pengalaman.
Kegiatan mereka tidak selalu formal. Kadang hanya duduk di bawah pepohonan dengan beberapa eksemplar buku yang beredar dari tangan ke tangan. Kadang pula di kedai kecil, ditemani secangkir kopi dan percakapan yang mengalir pelan. Namun di setiap pertemuan, selalu ada satu benang merah: keinginan untuk rehat dari laju zaman. Bukan sekadar rehat tubuh, tapi juga rehat pikiran, sebuah kontemplasi kolektif. Membaca bersama menjadi semacam ritual sunyi yang menyatukan, sebuah bentuk slow culture di tengah dunia yang tergesa-gesa.
Fenomena ini menarik untuk dilihat bukan hanya sebagai kegiatan komunitas, tetapi sebagai gejala kultural yang lebih luas. Di tengah krisis keterhubungan sosial dan meningkatnya isolasi digital, komunitas seperti Garden Books Society hadir sebagai bentuk resistance culture, upaya mempertahankan hak manusia untuk merasa, mendengar, dan berpikir bersama. Membaca dalam kesunyian bersama orang lain menjadi bentuk komunikasi yang lebih intim dibandingkan sekadar interaksi daring yang serba cepat dan dangkal. Di sinilah letak paradoks yang indah: dalam keheningan membaca, kita justru menemukan kehadiran yang paling utuh dari sesama.
Jika kita menengok sedikit ke belakang, sejarah literasi selalu memiliki dimensi kolektif. Di era awal modern, salon-salon sastra di Paris, warung kopi di Wina, hingga diskusi pinggiran kampus di Yogyakarta, semua berfungsi sebagai ruang bertukar gagasan. Buku tidak berhenti pada halaman, melainkan membuka ruang percakapan sosial. Namun seiring waktu, modernitas dengan segala infrastrukturnya justru mengasingkan manusia dari pengalaman itu. Membaca menjadi kegiatan soliter, bahkan elitis. Kita membaca sendirian, menafsirkan sendirian, lalu menyimpannya sebagai konsumsi pribadi. Literasi yang semula kolektif berubah menjadi individualistik.
Garden Books Society seolah ingin mengembalikan pengalaman awal literasi itu, membaca sebagai peristiwa sosial. Ia tidak hanya menyoal apa yang dibaca, tapi bagaimana membaca bersama bisa membentuk ekosistem makna baru. Ketika satu teks dibaca oleh banyak orang dari latar yang berbeda, ia berubah menjadi mosaik tafsir yang hidup. Buku yang sama bisa menimbulkan resonansi yang berbeda-beda, dan justru di situlah nilai kebersamaannya. Membaca bersama mengajarkan kita satu hal yang jarang diajarkan oleh modernitas: bahwa pemahaman tidak pernah tunggal, dan kebenaran tidak selalu final.
Dalam konteks yang lebih luas, Garden Books Society juga menandai kebangkitan bentuk-bentuk komunitas kultural baru di tengah keterasingan urban. Fenomena book club modern bukan hanya soal minat baca, melainkan kebutuhan sosial akan ruang interaksi yang lebih bermakna. Ketika media sosial menjanjikan koneksi instan namun dangkal, komunitas literasi menawarkan kedalaman yang lambat. Ketika algoritma menentukan apa yang harus kita lihat, dengar, dan baca, klub baca memberi ruang untuk memilih, meragukan, bahkan menentang arus dominan. Ini bukan sekadar nostalgia terhadap masa lalu yang lebih tenang, tetapi strategi kultural untuk bertahan di tengah arus kapitalisme digital yang menelan kesadaran kita sedikit demi sedikit.

Ada yang menarik dari cara mereka menyebut diri: “society.” Sebuah istilah yang terkesan besar, namun justru lahir dari kesadaran kecil tentang pentingnya pertemuan. Dalam dunia yang terfragmentasi, menyebut diri sebagai society adalah bentuk pengakuan bahwa kebersamaan masih mungkin. Mereka tidak sedang membangun institusi formal, melainkan jaringan afektif yang longgar. Tidak ada hierarki ketat, tidak ada kurator tunggal. Semua anggota bisa menyarankan buku, membuka percakapan, atau sekadar hadir untuk mendengarkan. Justru dalam ketiadaan struktur itu, muncul semacam keintiman egaliter yang langka di zaman ini.
Dari luar, mungkin sulit memahami mengapa sekelompok orang rela menghabiskan waktu untuk membaca bersama ketika mereka bisa melakukannya sendiri di rumah. Namun bagi mereka, yang dikejar bukan sekadar isi buku, melainkan pengalaman bersama dalam menafsirkan kehidupan. Buku hanyalah medium, sementara yang dicari adalah resonansi, antara teks dan realitas, antara kata dan pengalaman hidup. Di sinilah membaca berubah menjadi praktik sosial yang penuh empati. Kita belajar mendengar bukan hanya kata-kata penulis, tetapi juga suara teman yang duduk di sebelah kita, yang menafsirkan kalimat dengan nada yang berbeda.
Dan mungkin, justru dari sana lahir makna baru tentang literasi. Bahwa membaca bukan hanya soal menguasai teks, melainkan mengasah kepekaan terhadap keberagaman cara pandang. Bahwa setiap perbedaan tafsir bukan ancaman, melainkan ruang dialog. Dalam masyarakat yang terpolarisasi oleh opini dan ideologi, komunitas seperti Garden Books Society menjadi semacam laboratorium sosial tempat perbedaan bisa hidup berdampingan tanpa harus dipertentangkan. Membaca bersama adalah latihan kecil untuk memahami dunia yang lebih luas dari diri sendiri.
Kita tidak bisa memisahkan tumbuhnya komunitas literasi dengan krisis eksistensial yang melanda generasi urban saat ini. Di balik gedung tinggi dan koneksi internet berkecepatan tinggi, banyak orang merasa terputus dari makna. Hidup berjalan dalam algoritma yang tak memberi ruang bagi kebetulan dan pertemuan spontan. Bahkan membaca pun sering dikomodifikasi: menjadi konten, menjadi “rekomendasi mingguan,” menjadi bagian dari branding personal. Dalam situasi seperti itu, membaca kehilangan sifatnya yang paling manusiawi: kemampuan untuk memperlambat.
Di sinilah Garden Books Society menjadi semacam bentuk perlawanan simbolik terhadap logika percepatan itu. Setiap minggu, mereka berkumpul tanpa tujuan ekonomi. Tidak ada konten yang harus diunggah, tidak ada target pembaca atau statistik yang harus dicapai. Mereka hanya membaca dan berbicara. Tindakan yang tampak sederhana ini justru radikal, karena ia menolak untuk tunduk pada logika produktivitas. Dalam kesunyian yang mereka ciptakan, ada bentuk baru dari kebebasan, kebebasan untuk tidak selalu harus berguna, kebebasan untuk sekadar menjadi manusia.
Tentu, komunitas semacam ini tidak akan mengubah dunia secara langsung. Mereka bukan gerakan politik atau organisasi sosial besar. Namun, justru di tingkat mikro inilah perubahan kultural sering dimulai. Ketika orang-orang mulai menemukan kembali kenikmatan dalam hal-hal sederhana “bertemu, berbicara, membaca” mereka sedang membangun fondasi baru bagi kebudayaan yang lebih sehat. Dalam konteks masyarakat modern yang terfragmentasi, setiap upaya untuk menciptakan koneksi autentik memiliki nilai politis tersendiri.
Menarik pula melihat bagaimana Garden Books Society menempatkan dirinya di antara dua kutub ekstrem: antara kesunyian dan kebersamaan, antara kontemplasi dan dialog. Mereka tidak menolak modernitas, tetapi berusaha menemukan ritme yang lebih manusiawi di dalamnya. Mereka menggunakan media sosial untuk mengumumkan kegiatan, namun tetap menjaga inti kegiatan mereka tetap intim dan tidak terjebak pada performativitas digital. Dalam cara itu, mereka menunjukkan bahwa modernitas tidak harus ditolak, melainkan dinegosiasikan.

Sebagian besar anggota komunitas ini menyadari bahwa mereka hidup di dunia yang tak bisa sepenuhnya dihindari. Mereka bekerja di kantor modern, menggunakan gawai setiap hari, terhubung dengan algoritma yang sama dengan kita semua. Tapi melalui kegiatan sederhana seperti membaca bersama, mereka mencoba menanam benih resistensi kecil: bahwa ada bagian dari diri manusia yang tak bisa diotomatisasi. Bahwa kesadaran, empati, dan pertemuan tatap muka masih memiliki nilai yang tak tergantikan.
Dalam percakapan mereka, topik bisa meluas dari sastra hingga politik, dari filsafat hingga isu keseharian. Buku menjadi pintu masuk untuk memahami dunia, bukan sekadar objek pengetahuan. Kadang, satu kalimat dari novel bisa memicu diskusi panjang tentang makna kerja, tentang kesepian, atau tentang harapan. Semua terjadi dengan ritme yang pelan, tanpa interupsi notifikasi. Dalam suasana seperti itu, waktu seolah melambat. Setiap kata menemukan ruangnya, setiap orang mendapat giliran untuk didengar. Dan di sanalah letak keindahan yang tak bisa disalin oleh dunia digital.
Di masa depan, mungkin akan semakin banyak komunitas seperti Garden Books Society tumbuh di berbagai kota. Mereka akan muncul dari kebutuhan yang sama: mencari jeda, mencari ruang pertemuan yang bermakna. Namun pertanyaan yang lebih penting bukanlah seberapa banyak komunitas semacam ini lahir, melainkan seberapa lama mereka bisa bertahan di tengah dunia yang kian menyerap segalanya menjadi komoditas. Tantangan terbesar mereka bukan pada minat baca, melainkan pada kemampuan mempertahankan keotentikan. Sebab setiap hal yang tulus akan cepat berubah menjadi trend begitu disentuh oleh arus media sosial.
Untuk itu, komunitas seperti ini perlu terus meneguhkan akar filosofisnya: bahwa membaca bersama bukan sekadar aktivitas budaya, tetapi praktik hidup. Bahwa literasi tidak berhenti di buku, melainkan meluas ke cara kita berelasi dengan sesama dan dunia. Di tengah krisis makna yang melanda masyarakat modern, membaca bersama adalah cara sederhana untuk menjaga kemanusiaan tetap utuh. Ia mengingatkan kita bahwa berpikir tidak harus terburu-buru, bahwa berbagi tidak harus disiarkan, dan bahwa kebahagiaan kadang lahir dari percakapan yang tak punya kesimpulan.
Pada akhirnya, Garden Books Society bukan sekadar klub baca, melainkan sebuah pernyataan eksistensial: bahwa manusia masih membutuhkan manusia lain untuk memahami dunia. Dalam setiap lembar buku yang mereka baca bersama, terselip keyakinan bahwa kata-kata hanya hidup ketika dibagikan, bahwa makna sejati lahir dari pertemuan. Di tengah dunia yang menuntut kita untuk selalu bergerak cepat, mereka memilih untuk diam sejenak. Tidak untuk mundur dari kehidupan, tetapi untuk memahaminya lebih dalam.
Dan mungkin, di sanalah letak kebijaksanaan baru yang kita butuhkan. Bahwa di tengah modernitas yang bising, tindakan paling radikal bukanlah berteriak, melainkan mendengarkan. Bahwa di tengah individualisme yang menyesakkan, bentuk perlawanan paling lembut adalah membangun komunitas. Membaca bersama adalah cara mereka menanam kembali kepercayaan pada manusia—bahwa di balik segala perbedaan, kita masih bisa duduk di lingkaran yang sama, berbagi halaman, dan menumbuhkan taman kecil di dalam kesadaran.
Be First to Comment