kolom opini

Fragmentasi Identitas: Metode Penguasa Untuk Mengadudomba Rakyat
Dunia yang kita tinggali hari ini dipenuhi oleh fragmentasi identitas yang semakin tajam. Perbedaan suku, agama, ras, ideologi, hingga preferensi budaya kerap kali dijadikan alasan untuk menumbuhkan permusuhan antar sesama rakyat. Namun, apakah ini terjadi secara alami? Atau ada kepentingan yang bermain di balik perpecahan ini?
Para penguasa, baik dalam bentuk negara maupun korporasi kapitalis, telah lama memahami bahwa masyarakat yang terpecah belah lebih mudah dikendalikan. Mereka menciptakan dan mengeksploitasi perbedaan untuk mengalihkan perhatian rakyat dari ketidakadilan sistemik yang mereka ciptakan. Seperti yang dikatakan Emma Goldman, seorang anarkis feminis, “Pemerintah yang paling sukses adalah yang membuat rakyatnya sibuk bertikai satu sama lain, sehingga mereka tidak sempat mempertanyakan otoritas yang menindas mereka.”
Fragmentasi Sebagai Alat Kekuasaan
Fragmentasi identitas merupakan taktik politik yang telah digunakan sejak lama. Sejarah mencatat bahwa kolonialisme adalah salah satu bentuk eksploitasi identitas yang paling nyata. Para penjajah menerapkan politik “divide et impera” (pecah belah dan kuasai) untuk mencegah rakyat yang dijajah bersatu melawan mereka. Taktik ini tetap lestari hingga era modern, di mana penguasa menggunakan perbedaan sosial sebagai alat kontrol.
Noam Chomsky pernah mengungkapkan bahwa “Salah satu cara terbaik untuk mengendalikan masyarakat adalah dengan membatasi ruang lingkup opini yang diperbolehkan, sambil tetap mendorong perdebatan sengit di dalam batasan tersebut.” Dalam konteks fragmentasi identitas, batasan ini ditentukan oleh wacana politik, media, dan sistem pendidikan yang dirancang untuk mempertajam perbedaan dan menutupi kesamaan.
Saat rakyat sibuk mempertentangkan isu identitas, dari konflik agama hingga perdebatan ideologi politik yang superfisial, mereka cenderung melupakan akar masalah: struktur ekonomi-politik yang menindas mereka semua tanpa pandang bulu.
Kapitalisme dan Eksploitasi Identitas
Kapitalisme adalah sistem yang tidak bisa bertahan tanpa eksploitasi, dan salah satu cara terbaik untuk mempertahankan eksploitasi adalah dengan mencegah solidaritas kelas pekerja. Kapitalisme membutuhkan persaingan antar individu dan kelompok untuk memastikan bahwa rakyat tidak pernah bersatu melawan eksploitasi yang terjadi.
Karl Marx dalam Manifesto Komunis menulis, “Sejarah semua masyarakat yang ada hingga kini adalah sejarah perjuangan kelas.” Namun, perjuangan kelas sering kali diredam dengan cara menggeser fokus rakyat ke konflik berbasis identitas. Alih-alih bersatu melawan eksploitasi ekonomi, rakyat diarahkan untuk bertikai mengenai perbedaan etnis, agama, atau budaya yang sebenarnya tidak berkaitan dengan struktur ekonomi yang menindas mereka.
Selain itu, korporasi juga menggunakan fragmentasi identitas sebagai strategi pemasaran. Kapitalisme menciptakan dan mengeksploitasi identitas sosial untuk menjual produk. Dari tren fashion berbasis budaya tertentu hingga korporasi yang “mendukung” hak-hak minoritas hanya sebagai strategi bisnis, semua ini hanyalah alat untuk mendivert perhatian dari eksploitasi ekonomi yang lebih besar.
Perlawanan terhadap Fragmentasi Identitas
Bagaimana cara keluar dari jebakan ini? Jawabannya adalah dengan membangun kesadaran kelas dan solidaritas yang melampaui batasan identitas sempit. Seperti yang dikatakan oleh Mikhail Bakunin, “Kebebasan sejati hanya bisa dicapai melalui solidaritas kolektif. Rakyat harus bersatu tidak berdasarkan etnis atau agama, tetapi atas dasar kebebasan dari eksploitasi dan ketidakadilan.”
Kesadaran bahwa musuh bersama adalah sistem yang menciptakan ketidakadilan—bukan perbedaan di antara kita—adalah langkah pertama menuju pembebasan. Gerakan sosial yang berfokus pada keadilan ekonomi dan politik harus lebih diutamakan dibanding sekadar politik identitas yang sering kali digunakan sebagai alat pengalihan isu.
Selain itu, literasi kritis terhadap media dan politik sangat penting. Rakyat harus mampu mengenali bagaimana media dikontrol oleh elite untuk membentuk wacana yang membelah masyarakat. Kita harus berhenti terjebak dalam permainan retorika yang hanya memperkuat dominasi mereka yang berkuasa.
Kesimpulan
Fragmentasi identitas bukanlah fenomena alami, melainkan strategi yang sengaja diciptakan dan dipertahankan oleh penguasa untuk mengontrol rakyat. Kapitalisme dan negara bekerja sama untuk memastikan bahwa rakyat tetap terpecah belah, agar mereka tidak pernah bersatu melawan sistem yang menindas mereka.
Hanya dengan membangun solidaritas berbasis kesadaran kelas dan melawan narasi palsu yang dibuat oleh elite, rakyat dapat membebaskan diri dari jerat perpecahan ini. Seperti yang dikatakan Rosa Luxemburg, “Masa depan sosialisme dan kebebasan bergantung pada sejauh mana rakyat mampu memahami dan melawan mereka yang menciptakan perpecahan.”
Sudah waktunya bagi kita untuk berhenti bertikai demi kepentingan penguasa. Perjuangan sejati bukan tentang perbedaan, tetapi tentang melawan eksploitasi bersama.
Be First to Comment