Press "Enter" to skip to content

IDEALISME DI TENGAH BELANTARA FEODALISME KAUM NUSANTARIA

Repetoar Mahasiswa

Selama berabad-abad, masyarakat Nusantara dibentuk oleh tatanan feodalisme yang menindas idealisme. Artikel ini mengulas sejarah kelam, warisan kekuasaan kolonial, dan tantangan kaum muda dalam membangun perlawanan intelektual di tengah belantara feodalisme modern.


Idealisme di Tengah Belantara Feodalisme Kaum Nusantaria

penulis: SYAMEE

Kaum nusantara telah lama di didik dalam sebuah tatanan masyarakat feodalisme yang memakan waktu selama berabad-abad lamanya. Perjalanan kebangsaan ini telah mendorong terciptanya seuatu tatanan masyarakat yang dihegemoni oleh elit kekuasaan yang memiliki status sosial dan jabatan. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh ini tidak serta merta merupakan warisan kaum nusantara itu sendiri, melainkan adakalanya kita dapat menerka-menerka peran dan eksistensi kebudayaan India yang datang bersama dengan ajaran Hindu dan Budha pada abad ke-4 SM. Ajaran-ajaran ini kemudian mendidik bangsa nusantara agar dapat mengenal kasta-kasta yang ada di dalam struktur sosial masyarakatnya. Berangkat dari pengelompokan suatu masyarakat dengan status sosial sebagai sudra hingga kaum Brahmana. Mereka yang terlahir sebagai kaum Brahmana memiliki kedudukan sebagai pemuka agama dan menjadi puncak tertinggi dari tatanan sosial dan budaya masyarakat, sementara mereka yang terlahir dari kaum sudra kemudian tidak memiliki kedudukan yang dapat diakui dan dibanggakan dalam realitas sosial dan kebudayaannya.

Pandangan-pandangan ini kemudian terus tumbuh dan sewaktu-waktu menjadi darah daging bagi bangsa nusantara. Bangsa yang di kemudian hari menentukan kebenaran berdasarkan kepada status sosial yang dimilikinya. Maka tentu saja, kebenaran bukan lagi milik si miskin atau orang-orang marginal, kebenaran berada di tangan mereka yang kaya, pemuka agama, pemimpin politik, bangsawan dan anak raja yang kelak dengannya pribumi nusantara akan menyebutkan nilai-nilai simbolisme kebenaran mutlak. Semua itu bukanlah hadir hanya sekejap dalam pintasan sejarah kebangsaan kita, melainkan hasil dari monopoli budaya dan gemblengan sejarah peradaban orang-orang nusantara selama bertahun-tahun. Maka, di saat itulah  nusantara menjadi belantara politik feodal dan fanatik buta yang berlahan menghabisi idealisme kaum mudanya. Mereka yang pandai akalnya, suci jiwanya, luhur pekertinya akan tergeser dengan mereka yang hidup di dalam gejolak fanatisme dengan kuasa-kuasa yang dimilikinya. 

Seorang peneliti berdarah Prancis bernama Bernard Dorléans, ia menyingkap tabir bagaimana leluhur-leluhur kaum nusantara menjalankan titah kekuasannya. Dorléans menuturkan, dahulu di kepulauan Sumatera, bila ada seorang raja melakukan sabung ayam dan jikalau ayam sang raja kalah, maka ayam lawannya akan dipotong dan pemiliknya akan dieksekusi saat itu juga. Bila iring-iringan sang raja bersama permaisuri-permaisurinya berjalan melewati suatu perkampungan, maka semua orang akan menundukkan kepala,  bila terdapat seorang laki-laki yang tidak sengaja memandang salah seorang permaisuri, maka kemaluan dan telinga nya akan dipotong seketika oleh pengawal raja. Bahkan rombongan Prancis pertama yang menginjakkan kaki di kepulauan Sumatra pada abad ke-15, dapat sangat merasakan penderitaan yang dialami kaum-kaum pribumi nusantara. Mereka tidak bisa membelanya ataupun mengucapkan kebenaran yang diyakininya sementara  pribumi sendiri masih bersiteguh memegang fanatisme kekuasaan tuan-tuan mereka walau  harus hidup di bawah garis kemiskinan dan diperlakukan dengan kejam. Lebih jauh lagi dari catatan-catatan pengembara orang-orang Prancis itu terdapat cerita pilu seputar kehidupan rakyat jelata di kala itu, bagaimana seorang anak muda dari golongan rakyat kecil yang hendak dieksekusi justru memberikan sedikit harta miliknya kepada sang algojo agar mereka mempercepat proses eksekusi. Hingga terdapat pula cerita seorang perempuan yang merupakan pembantu raja yang memohon agar dieksekusi setelah puluhan kali disiksa oleh pengawal kerajaan, ia berterimakasih, memuji, dan mendoakan kebaikan bagi sang raja di saat raja memerintahkan para pengawalnya untuk mengeksekusi perempuan tersebut. 

Di saat kapal-kapal dagang eropa mulai meramaikan pelabuhan-pelabuhan di utara Jawa, Sumatra, hingga Makassar di kepulauan timur, kaum nusantara mulai diterpa angin sejuk dari nilai-nilai kesetaraan yang dihembus oleh revolusi Prancis. Setelah bertahun-tahun mereka ditindas oleh elitisme kekuasaan dan sikap feodalisme, kini mereka merasakan semangat revolusi Eropa yang dibawa Herman Willem Daendels yang berkuasa di koloni Hindia pada tahun 1808. Namun orang-orang Eropa ini tetap mengandalkan para bupati-bupati dan bangsawan untuk menjalankan koloni-koloninya di wilayah Nusantara. Maka, semangat revolusi ini tidaklah begitu berarti bagi kaum pribumi nusantara yang kian kembali dihadapkan dengan pemangku-pemangku feodal yang merupakan rekan sebangsanya. Demikianlah 350 tahun kemudian kaum nusantara harus digembleng kembali oleh sikap feodalisme elit bangsawan dan orang eropa. Nilai-nilai kebenaran dan idealisme luhur bukan saja dikerangkeng oleh budaya feodal, melainkan kian dimusnahkan hingga pada tahun-tahun berikutnya. 

Kesempatan kedua mulai lahir, kini Republik lahir dengan janji dan semangat kebangsaan. Orang-orang nusantara dari kalangan bangsawan yang terdidik fikiran-fikiran Eropa kini lahir dengan semangat baru. Sekali lagi, ingin kukatakan bahwa semangat ini muncul dan mendapatkan dukungan di kalangan kaum pribumi bukan karena kemegahan wawasan yang mereka miliki, melainkan karena kaum-kaum pribumi tentu saja mengenali mereka dengan baik sebagai orang-orang para keturunan para bangsawan. Sangat jelas kala itu di Hindia hanya keturunan Priayi dan bupati yang mampu menempuh pendidikan Eropa di koloni Hindia di abad tersebut. Maka bisa dikataka bahwa mereka adalah kaum-kaum idealis yang dipersenjatai oleh pemikiran-pemikiran dan pendidikan modern hingga posisi yang cukup terhormat di kalangan penduduk Hindia. 

Berlahan perjalanan kebangsaan kini mengantarkan kita kepada sebuah negara yang berdaulat, adil dan makmur. Mereka yang dahulu ditindas selama bertahun-tahun oleh bangsa Eropa dan kawan-kawan feodalismenya dari kalangan para bangsawan kini berlahan sirna dari catatan sejarah perjalanan kebangsaan. Namun sekali lagi, trauma-trauma itu masih hadir menghiasi benak para pejabat-pejabat dan setiap rakyat jelata yang dinaungi oleh Republik ini. Mirisnya lagi nilai-nilai feodalisme ini muncul dan menghiasi para pejabat-pejabat yang dilahirkan melalui proses panjang demokrasi yang merupakan sistem kerakyatan. Mereka seharusnya menjadi pelayan masyarakat (Civil Servant), Namun kian bertindak sebagai pemegang kasta tertinggi dari kelas sosial tatanan masyarakat. Melalui nilai-nilai politik modern yang dihasilkan oleh peradaban manusia, kini justru sudah seharusnya kita sadar bahwa nilai-nilai etik dan kesetaraan menjadi panduan dasar dalam membangun sebuah bangsa di era global. Para pejabat yang berangkat dari kalangan pribumi ini kemudian bertindak sebagai raja-raja kecil di era modern. Maka, tidak heran di saat orang-orang pinggiran pun tidak menemui titik perubahan hingga detik-detik awal peradaban manusia mencapai era modern. Tampaknya bahwa nusantara akan selama-lamanya menjadi sebuah belantara dogma feodalisme bagi mereka yang memiliki harapan dan idealisme kaum muda. Sudah tidak terhitung jumlah demonstrasi, protes, unjukrasa, kritik, hingga dorongan politik dilakukan, namun sekali lagi rakyat kecil bukanlah suara Tuhan dan idealisme kaum muda tidak lebih hanya sayup-sayup kecil kaum marginal di koran-koran yang akan berakhir pada pembredelan. Bila dahulu mereka kaum feodal ini diselamatkan oleh bangsa Eropa melalui tangan-tangan pejabat koloninya di Hindia, kini mereka kembali terselamatkan dengan kapitalisme di abad modern. Bahkan kini tidak harus terlahir berdarah biru sebagai seorang keturunan raja atau bangsawan untuk menjadi manusia feodal sebagai produk era modern.  

Mari kutunjukkan sedikit bagaimana para feodal era modern bekerja di bumi Indonesia ini. Para pemuka agama berlahan mulai mengeksploitasi para pengikutnya melalui fanatisme buta yang mereka ciptakan, para pejabat mulai mengeksploitasi hutan-hutan dan berbagai kekayaan alam yang  terkandung di perut bumi Indonesia dan mulai mengirimkan sedikit demi sedikit aparat untuk memuluskan pekerjaan mereka, para pengusaha-pengusaha tambang mulai menjilati tangan kawan-kawan mereka di pemerintahan dan menjanjikan sedikit insentif dengan konsekuensi yang akan ditanggung selama bertahun-tahun oleh rakyat kecil yang tinggal di sekitar tempat mereka akan beroperasi. Feodalisme tidaklah pernah mati seutuhnya dari jati diri bangsa Indonesia. Dengan meminjam istilah Thomas Hobbes dalam karyanya the Leviathan, ia menyatakan bahwa dunia manusia akan selamanya menjadi kesunyian, miskin, jahat, biadab, dan pendek,” yang diakhiri dengan sebuah perang dan perlawanan abadi tanpa mengenal henti.  Maka, sampailah kita kepada se-untaian kesimpulan pendek yang berbunyi “Berabad-abad kita masih sama hingga aku pun ragu untuk menyingsing tahun-tahun berikutnya”.  


Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *