Press "Enter" to skip to content

Energi Alternatif Rakyat vs Korporasi: Mengapa Negara Merasa Terancam?

Opini

Mengapa negara dan perusahaan multinasional justru menghalangi rakyat menciptakan energi alternatif sendiri? Artikel ini mengupas konflik antara penemuan energi terbarukan oleh rakyat dan kepentingan kekuasaan negara serta korporasi global.


Energi Alternatif Milik Rakyat: Ancaman Bagi Negara dan Korporasi?

“Jika Anda ingin menemukan rahasia semesta, berpikirlah dalam hal energi, frekuensi, dan getaran.” – Nikola Tesla

Di tengah gelombang krisis iklim, kelangkaan energi fosil, dan meningkatnya kesadaran akan pentingnya transisi menuju energi bersih, justru terjadi ironi besar: rakyat yang mencoba menciptakan sumber energi alternatif sendiri sering kali menghadapi tekanan, intimidasi, bahkan kriminalisasi. Ketika seseorang dari lapisan masyarakat bawah berhasil menciptakan teknologi energi terbarukan murah dan mandiri — seperti panel surya dari limbah plastik, generator dari air, atau inovasi mikrohidro rumah tangga — yang terjadi bukan apresiasi dari negara atau dukungan korporasi, melainkan hambatan legal-formal yang bersifat represif.

Mengapa hal ini terjadi? Mengapa negara tampak alergi terhadap inisiatif energi alternatif rakyat? Mengapa korporasi multinasional justru melihat inovasi-inovasi ini sebagai ancaman eksistensial? Untuk memahami ini, kita harus menelusuri jejak sejarah, logika kekuasaan dalam sistem kapitalisme global, dan bagaimana energi telah menjadi instrumen dominasi — bukan sekadar kebutuhan hidup.

Energi: Dari Kebutuhan Menjadi Instrumen Kekuasaan

Energi bukan sekadar kebutuhan teknis; ia adalah basis dari seluruh aktivitas sosial, ekonomi, dan politik. Sejak revolusi industri, penguasaan atas sumber energi—batu bara, minyak bumi, hingga nuklir—menjadi kunci kekuatan negara dan kekayaan perusahaan-perusahaan raksasa. Negara-negara maju membangun hegemoninya atas dunia dengan kontrol energi global: perang demi minyak, kudeta demi konsesi tambang, dan penjajahan demi akses terhadap sumber daya.

Dalam konteks ini, energi tak pernah netral. Ia adalah alat pengendalian. Ia adalah komoditas yang sangat strategis dan sensitif. Maka, ketika ada warga biasa yang menemukan cara memproduksi energi sendiri, bahkan secara gratis, itu sama artinya dengan mengguncang struktur kekuasaan yang telah tertata rapi.

Nikola Tesla, penemu brilian yang pernah bermimpi menciptakan energi listrik gratis tanpa kabel untuk seluruh umat manusia, adalah contoh paling terkenal. Mimpi Tesla dianggap ancaman oleh elit industri listrik saat itu, termasuk J.P. Morgan, yang menarik seluruh pendanaannya. Kenapa? Karena jika energi bisa diperoleh gratis dan bebas, siapa yang akan membayar tagihan listrik? Siapa yang akan membeli generator? Siapa yang akan membeli bensin, solar, dan gas?

Negara dan Korporasi: Ikatan Tak Terpisahkan

Dalam sistem kapitalisme lanjut, relasi antara negara dan korporasi multinasional bukan lagi sekadar simbiosis, tetapi fusi yang saling mengamankan satu sama lain. Negara butuh pajak dari korporasi energi, butuh stabilitas makro ekonomi dari investasi migas, dan dalam banyak kasus, para elit negara juga merupakan pemegang saham utama dalam industri energi.

Sebaliknya, korporasi butuh negara sebagai penjamin legalitas monopoli mereka: lewat regulasi, lisensi, pembatasan, dan represi terhadap alternatif. Inilah sebabnya mengapa munculnya energi alternatif rakyat sering dianggap subversif.

Banyak contoh menunjukkan bagaimana negara bertindak sebagai pelindung kepentingan energi besar: mulai dari pembatasan instalasi panel surya rumahan dengan aturan teknis yang rumit, kriminalisasi terhadap pemanfaatan biodiesel skala kecil, hingga pembakaran alat-alat eksperimen dari para penemu lokal dengan alasan “tidak bersertifikat”.

Di India, sebuah komunitas petani mencoba membuat biogas dari kotoran sapi untuk kebutuhan rumah tangga. Namun mereka diancam karena tidak punya izin distribusi energi. Di Filipina, seorang nelayan yang membuat motor air dari tenaga surya dilaporkan oleh distributor BBM lokal karena dianggap “membahayakan pasar”. Di Indonesia, kasus serupa terjadi berulang kali dalam senyap: penemuan dari limbah plastik menjadi bahan bakar, sistem mikrohidro mandiri, hingga konversi sepeda motor listrik ditahan oleh birokrasi atau “diakuisisi” lalu dihentikan.

Teror Legal Formal dan Represi Intelektual

Represi terhadap penemuan energi rakyat tidak selalu bersifat fisik. Justru senjata paling efektif adalah aturan hukum. Lewat mekanisme perizinan, sertifikasi, dan standar industri yang sangat mahal dan teknis, negara menciptakan tembok legal yang sangat sulit ditembus oleh individu atau komunitas kecil.

Dalam dunia hukum energi, ada pernyataan yang secara tidak langsung menyatakan bahwa “siapa pun yang ingin memproduksi dan mendistribusikan energi harus memiliki otorisasi negara”. Di satu sisi ini tampak masuk akal — demi keselamatan, standarisasi, dan keadilan. Namun, dalam praktiknya, ini menjadi instrumen penindasan terhadap kreativitas dan kemandirian rakyat.

Ada sebuah ironi besar ketika inovasi energi dari rakyat ditolak karena “tidak sesuai standar”, sementara standar tersebut hanya bisa dipenuhi oleh perusahaan besar dengan modal raksasa. Maka yang terjadi bukan peningkatan kualitas hidup rakyat, melainkan pelanggengan dominasi energi oleh segelintir elite.

Represi intelektual juga terjadi dalam bentuk akuisisi paksa. Banyak penemu lokal yang ditekan untuk menjual patennya ke perusahaan besar atau bahkan dipaksa menandatangani perjanjian kerahasiaan agar tidak melanjutkan proyeknya. Jika menolak, mereka akan dilaporkan karena “menciptakan potensi bahaya lingkungan” atau “tidak sesuai regulasi industri”.

Energi Alternatif dan Ancaman terhadap Model Bisnis Lama

Perusahaan multinasional energi seperti Shell, ExxonMobil, Chevron, atau TotalEnergies tidak hanya menjual energi, mereka menjual ketergantungan. Model bisnis mereka dibangun atas logika konsumsi berkelanjutan: pengguna terus-menerus membeli BBM, memperpanjang langganan listrik, membayar tarif distribusi, dan tunduk pada sistem tarif yang ditentukan oleh pasar global.

Energi alternatif rakyat memutus logika ini. Jika seseorang bisa menghasilkan listrik dari panel surya buatan sendiri, atau bahan bakar dari sampah rumah tangga, maka tidak ada transaksi, tidak ada profit bagi korporasi. Dan yang lebih berbahaya: ini menyebarkan inspirasi bagi orang lain untuk mandiri secara energi.

Sifat desentralistik dari energi terbarukan adalah ancaman terbesar bagi sistem kapitalisme energi yang bersifat sentralistik dan hierarkis. Ketika banyak rumah, komunitas, atau desa mampu menghasilkan energinya sendiri, maka monopoli terancam runtuh. Dan ketika monopoli runtuh, struktur kekuasaan juga goyah.

Kenapa Negara Tidak Mendukung Energi Rakyat?

Pertanyaan kritisnya: jika energi alternatif bermanfaat, ramah lingkungan, murah, dan bisa membebaskan rakyat dari kemiskinan energi, mengapa negara tidak mendukung?

Jawabannya bisa dilihat dari tiga sisi:

  1. Ekonomi Politik: Negara butuh stabilitas fiskal yang disokong oleh industri energi besar. Pajak, royalti, hingga dividen dari BUMN energi sangat vital. Jika energi rakyat berkembang luas, maka penerimaan negara dari sektor ini bisa menurun.
  2. Kontrol Sosial: Energi adalah sarana kontrol. Jika negara tidak lagi bisa mengendalikan distribusi energi, maka potensi resistensi sosial makin besar. Energi mandiri bisa berarti desa mandiri, komunitas otonom, dan bahkan potensi disintegrasi jika tidak dikendalikan.
  3. Tekanan Korporasi: Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, sering kali berada di bawah tekanan lembaga-lembaga global seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO untuk membuka akses investasi sektor energi bagi swasta asing. Maka dukungan terhadap energi rakyat dianggap tidak “investor friendly”.

Menuju Energi yang Merdeka dan Kolektif

Energi adalah hak dasar, bukan komoditas semata. Seperti halnya air dan udara, energi harusnya bisa diakses dengan mudah dan murah oleh siapa pun. Untuk itu, dibutuhkan perubahan paradigma: dari energi sebagai alat kontrol menjadi energi sebagai sarana pembebasan.

Perlawanan terhadap dominasi negara-korporasi dalam sektor energi tidak bisa dilakukan secara individual. Dibutuhkan gerakan kolektif, jaringan komunitas, dan dukungan hukum alternatif untuk melindungi para penemu, inovator, dan rakyat yang ingin mandiri secara energi.

Di banyak belahan dunia, komunitas-komunitas energi rakyat mulai bangkit. Di Jerman, muncul konsep “Energy Cooperatives” yang memungkinkan warga membeli panel surya kolektif. Di Brazil, komunitas suku asli membuat sistem mikrohidro untuk desa mereka. Di Indonesia, inisiatif seperti Kampung Energi Surya mulai menunjukkan bahwa rakyat bisa menjadi produsen energi.


Penutup: Mimpi Tesla adalah Mimpi Kita Semua

Nikola Tesla pernah dianggap gila karena ingin memberikan listrik gratis ke seluruh dunia. Ia dihentikan oleh kekuatan modal dan kekuasaan. Namun semangatnya tak pernah mati. Di setiap garasi penemu lokal, di setiap bengkel kecil yang merakit generator alternatif, di setiap komunitas yang mencoba mandiri energi — semangat Tesla hidup kembali.

Jika energi alternatif milik rakyat dianggap sebagai ancaman oleh negara dan perusahaan, maka itu pertanda bahwa kita sedang bergerak ke arah yang benar: arah pembebasan.

Energi tidak boleh menjadi monopoli. Ia harus menjadi hak bersama. Dan ketika rakyat mulai mampu memproduksi energinya sendiri, maka saat itulah revolusi sejati dimulai — revolusi yang membebaskan manusia dari ketergantungan, dari penindasan, dan dari kemiskinan struktural yang selama ini disangga oleh sistem energi kapitalistik.


Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *