Kataruang
Kajian mendalam lagu Donna Donna yang dipopulerkan Joan Baez sebagai alegori perjuangan kelas dan kebebasan eksistensial. Menggali makna lirik dalam konteks Holocaust, kapitalisme, dan pilihan manusia untuk tidak tunduk pada sistem.
DONNA DONNA: LAGU TENTANG SAPI, LANGIT, DAN MANUSIA YANG HARUS MEMILIH MENJADI MERDEKA
Di atas gerobak kayu yang berguncang menuju pasar, seekor anak sapi dengan tatapan pilu digambarkan dalam lagu Donna Donna. Lagu ini tampak sederhana di permukaan, tapi mengandung pesan yang dalam dan penuh luka. Joan Baez menyanyikannya bukan semata-mata sebagai lagu rakyat, tetapi sebagai alegori sosial-politik dan eksistensial yang kuat. Liriknya adalah pengakuan atas penderitaan, sebuah renungan tentang kemerdekaan, dan seruan untuk memilih—antara menjadi korban atau menjadi bebas. Lagu ini hadir sebagai kritik struktural terhadap penindasan, dan sebagai nyanyian eksistensial tentang keberanian untuk memilih jalan hidup sendiri.
Di atas langit yang sama, seekor burung layang-layang terbang bebas. Kontras ini sangat mencolok: seekor anak sapi yang diikat, digiring menuju nasibnya, dan seekor burung yang memilih arah hidupnya sendiri. Lagu ini tidak menyebutkan secara eksplisit konteks sejarah atau ideologis tertentu, tapi latar belakang penciptaannya serta pilihan Joan Baez untuk menyanyikannya memberi bobot makna tambahan. Lagu ini berasal dari lagu Yiddish berjudul Dana Dana, yang ditulis oleh Aaron Zeitlin dan Sholom Secunda pada awal 1940-an, di tengah horor Holocaust dan rezim Nazi yang mengeksekusi jutaan Yahudi Eropa. Anak sapi itu, dalam konteks sejarah ini, bisa dibaca sebagai metafora bagi korban-korban Holocaust yang digiring ke kamp konsentrasi tanpa pernah memahami mengapa mereka dijadikan target kebencian dan pembantaian.
Lagu ini, terutama dalam versi Joan Baez, menjelma menjadi elegi perlawanan. Bukan perlawanan yang bersenjata, melainkan perlawanan dalam kesadaran: tentang pilihan menjadi manusia yang sadar, merdeka, dan tidak menyerah pada nasib yang sudah disusun oleh kekuasaan. Joan Baez adalah sosok yang selalu menjadikan musik sebagai medium perjuangan. Sebagai aktivis hak sipil, anti-perang, dan pendukung hak-hak kelompok tertindas, Baez menyuarakan kemarahan yang lembut. Suaranya jernih tapi menusuk, dan Donna Donna menjadi salah satu lagu yang menggabungkan estetika dengan etika perlawanan.
Ketika lagu ini menyebutkan petani berkata, “Siapa yang menyuruhmu menjadi anak sapi?” itu bukan sekadar kalimat ironi, melainkan pernyataan sistemik: penguasa menolak tanggung jawab atas struktur yang mereka bangun, dan menyalahkan korban atas penderitaannya sendiri. Ini adalah bentuk penyangkalan struktural terhadap kejahatan yang dilanggengkan oleh ideologi. Dalam konteks Holocaust, kita tahu bagaimana propaganda Nazi menggambarkan Yahudi sebagai biang keladi krisis ekonomi, degradasi budaya, dan bahaya sosial, padahal itu semua adalah narasi yang sengaja dibangun untuk membenarkan pembersihan etnis. Mereka yang digiring ke kamp tidak tahu mengapa mereka harus mati. Seperti anak sapi itu—tidak mengerti alasan keberadaannya dijadikan musuh.
Namun Donna Donna tidak berhenti pada ratapan. Liriknya menyajikan kontras yang penting: “Tetapi siapa pun yang mencintai kebebasan, seperti burung layang-layang, telah belajar untuk terbang.” Ini adalah kalimat yang tidak hanya indah, tapi juga eksistensial. Dalam pemikiran eksistensialisme, seperti yang dikemukakan oleh Jean-Paul Sartre dan Viktor Frankl, manusia bukanlah makhluk yang sekadar menerima takdir, tapi makhluk yang didefinisikan oleh pilihannya. Bahkan dalam situasi yang paling terbatas sekalipun—seperti kamp konsentrasi Nazi—masih ada ruang bagi kebebasan batiniah, yaitu kemampuan untuk memberi makna pada penderitaan.
Viktor Frankl, seorang psikiater Yahudi yang selamat dari Auschwitz, menulis dalam bukunya Man’s Search for Meaning bahwa bahkan di dalam penderitaan yang paling brutal, manusia masih memiliki “kebebasan terakhir”: kebebasan untuk memilih responsnya terhadap penderitaan. Ini adalah inti dari eksistensialisme humanistik—manusia tidak bisa memilih kondisi awal kehidupannya, tetapi ia bisa memilih cara menjalaninya. Dalam konteks ini, Donna Donna adalah nyanyian tentang pilihan eksistensial: apakah kita pasrah dan berjalan menuju penyembelihan sosial, atau kita memilih untuk membebaskan diri dan terbang.
Burung layang-layang dalam lagu ini bukan sekadar lambang estetika kebebasan. Ia adalah bentuk keberanian eksistensial. Ia mewakili manusia yang melampaui ketakutannya, yang sadar bahwa dunia ini tidak akan pernah memberinya sayap—maka ia harus menciptakan sayap itu sendiri. Sementara anak sapi adalah lambang dari mereka yang menjalani hidup tanpa kesadaran, yang lahir, bekerja, taat, dan akhirnya mati tanpa pernah bertanya: mengapa? Dalam sistem kapitalisme modern, sangat banyak manusia yang menjadi sapi: digiring oleh tuntutan ekonomi, konsumsi, dan reproduksi sosial yang tanpa henti. Mereka tidak tahu mengapa mereka bekerja, mengapa mereka merasa gagal, dan mengapa mereka merasa kosong. Sistem tidak membiarkan mereka bertanya.
Joan Baez, dengan membawakan lagu ini, tidak sedang menyanyikan kisah tragis. Ia sedang membangunkan kesadaran. Lagu ini menjadi pengingat bahwa dunia dipenuhi sapi-sapi yang sedang digiring, dan hanya sedikit yang memilih untuk menjadi burung. Dalam gerakan sosial, baik itu antiperang, hak sipil, feminisme, atau gerakan lingkungan, selalu ada individu yang memilih untuk menyimpang dari jalur gerobak. Mereka adalah para burung dalam lagu ini—yang melawan arus, yang tidak tunduk pada penaklukan simbolik dan struktural.
Yang membuat lagu ini relevan hingga hari ini adalah karena kita masih hidup dalam sistem yang terus memproduksi anak sapi: buruh murah, mahasiswa pasrah, pemilih tanpa kuasa, dan konsumen yang terjerat utang. Lagu ini memotret bagaimana ketidakadilan tidak selalu hadir dalam bentuk kekerasan fisik, tapi juga dalam bentuk penjinakan jiwa. Sistem bekerja dengan membuat kita percaya bahwa menjadi sapi adalah satu-satunya pilihan. Dan di sinilah pentingnya menyanyikan lagu ini kembali—bukan sebagai nostalgia, tapi sebagai deklarasi.
Donna Donna tidak hanya menyoal kebebasan secara abstrak. Ia menegaskan bahwa kebebasan adalah sesuatu yang harus diperjuangkan, bahkan ketika dunia tertawa sinis seperti angin dalam lirik lagu itu. “How the winds are laughing, they laugh with all their might.” Angin dalam lagu ini adalah dunia yang apatis, yang tidak peduli ketika seseorang digiring menuju kehancuran. Dunia ini tertawa, bukan karena kebahagiaan, tapi karena ketidakpedulian yang sistematis. Maka tugas kita bukan hanya menangisi sapi itu, tapi membangunkan kesadaran bahwa kita tidak dilahirkan untuk menjadi hewan sembelihan.
Dalam dunia pasca-kebenaran, ketika berita dimanipulasi, sejarah diselewengkan, dan suara-suara perlawanan diredam oleh algoritma dan sensor, Donna Donna menjadi lebih relevan dari sebelumnya. Lagu ini adalah bentuk seni yang membangkitkan nurani. Ia tidak menawarkan solusi instan, tapi mengajukan pertanyaan yang mendasar: apakah kamu ingin terbang? Dan apakah kamu bersedia membayar harga untuk itu?
Jawaban atas pertanyaan ini tidak mudah. Terbang artinya menolak normalitas, menolak menjadi bagian dari gerobak yang nyaman tapi membawa kita ke arah yang salah. Terbang artinya menanggung kesendirian, resistensi, bahkan pengorbanan. Tapi hanya dengan terbang, manusia bisa menyatakan bahwa ia tidak tunduk pada penentuan struktural. Ia bebas.
Joan Baez telah menunjukkan bagaimana seni dan perjuangan bisa menyatu. Dalam setiap nada dan kata yang ia nyanyikan, ada denyut perlawanan yang lembut tapi kuat. Donna Donna adalah bukti bahwa musik bisa menjadi medan tempur ideologis. Dan jika hari ini kita masih merasa diri kita seperti anak sapi—terikat, digiring, dan tidak tahu arah—maka saatnya kita mengingat lagu ini. Bukan untuk bersedih, tapi untuk bangkit.
Karena burung itu tidak dilahirkan dengan kebebasan. Ia memilih untuk bebas. Dan itu adalah pilihan yang tersedia bagi siapa pun yang cukup berani untuk melakukannya.
Be First to Comment