Kolom Opini

Digitalisasi Keuangan: Metode Untuk Mengkerdilkan Nilai Sebuah Perdagangan
Dalam dekade terakhir, dunia menyaksikan perubahan besar dalam sistem keuangan global. Digitalisasi telah mengubah cara manusia bertransaksi, menyimpan, dan mendistribusikan uang. Namun, di balik inovasi yang tampak progresif ini, ada dampak struktural yang sering diabaikan: pengerdilan nilai perdagangan. Digitalisasi keuangan yang digadang-gadang sebagai solusi efisiensi ternyata justru menempatkan perdagangan dalam kerangka yang semakin dikendalikan oleh korporasi besar dan institusi keuangan global.
Dari Uang Nyata ke Uang Digital: Siapa yang Diuntungkan?
Dahulu, nilai suatu barang atau jasa sangat terkait dengan alat tukar yang memiliki bentuk fisik, seperti emas, perak, atau uang kertas yang dapat dipegang. Sistem ini memungkinkan pedagang dan konsumen memahami secara langsung nilai dari sesuatu yang mereka perdagangkan. Namun, dengan digitalisasi keuangan—melalui penggunaan kartu kredit, dompet digital, dan mata uang kripto—nilai itu semakin abstrak.
Bankir dunia ternama, Mayer Amschel Rothschild, pernah berkata, “Give me control of a nation’s money, and I care not who makes its laws.” Pernyataan ini menegaskan bahwa kontrol terhadap sistem keuangan jauh lebih kuat dibandingkan kendali atas kebijakan politik. Dengan digitalisasi keuangan, kontrol ini semakin terpusat di tangan segelintir institusi yang mengendalikan infrastruktur finansial global.
Kartu kredit, misalnya, memungkinkan transaksi instan, tetapi pada saat yang sama menciptakan ketergantungan pada lembaga keuangan yang menetapkan suku bunga dan biaya layanan. Dompet digital, yang digadang-gadang sebagai solusi keuangan inklusif, pada kenyataannya sering kali justru membebankan biaya tersembunyi dan membatasi fleksibilitas pedagang kecil.
Mantan presiden Bank Sentral Eropa, Jean-Claude Trichet, pernah mengatakan, “We believe that transparency and efficiency in financial transactions will enhance economic growth.” Namun, pertanyaannya adalah, pertumbuhan ekonomi bagi siapa? Bagi pedagang kecil yang dipaksa beradaptasi dengan sistem digital yang sering kali lebih menguntungkan bank, atau bagi institusi keuangan yang menguasai infrastruktur pembayaran global?
Kepunahan Nilai Sejati dalam Perdagangan
Salah satu aspek paling merugikan dari digitalisasi keuangan adalah bagaimana ia mengubah sifat perdagangan itu sendiri. Dahulu, perdagangan adalah interaksi langsung antara penjual dan pembeli, di mana negosiasi harga masih memiliki ruang. Namun, sistem digitalisasi keuangan menciptakan standar harga yang tetap dan tidak fleksibel, di mana peran negosiasi semakin terkikis.
Selain itu, ketika perdagangan semakin bergantung pada sistem digital, kendali terhadap aliran uang berpindah dari tangan pedagang ke perusahaan teknologi keuangan. Sistem ini memberikan ruang bagi bank dan perusahaan pemrosesan pembayaran untuk mengambil bagian dari setiap transaksi yang terjadi, baik dalam bentuk biaya transaksi, bunga, maupun mekanisme lainnya.
Bahkan, banyak pedagang kecil yang kehilangan kendali atas bisnis mereka sendiri karena harus tunduk pada algoritma sistem pembayaran digital. Mereka tidak bisa menetapkan harga secara fleksibel, harus mengikuti kebijakan biaya layanan, dan bahkan terkadang harus menyerahkan data pelanggan mereka kepada penyedia layanan keuangan digital.
Seperti yang pernah dikatakan oleh ekonom peraih Nobel, Joseph Stiglitz, “The problem with a cashless society is that it puts more power in the hands of big corporations and the government.” Ketika uang tunai dihilangkan, pedagang dan masyarakat kehilangan alternatif dalam menentukan sendiri bagaimana mereka ingin melakukan perdagangan.
Digitalisasi dan Komodifikasi Perdagangan
Perdagangan bukan lagi sekadar pertukaran barang dan jasa, tetapi telah berubah menjadi komoditas bagi sistem perbankan dan teknologi finansial. Data transaksi menjadi aset yang diperjualbelikan, memungkinkan perusahaan besar menyesuaikan strategi bisnis mereka dengan memanipulasi harga dan permintaan pasar.
Bank for International Settlements (BIS), dalam salah satu laporannya, menyatakan bahwa digitalisasi keuangan memungkinkan penciptaan kebijakan moneter yang lebih efisien. Namun, efisiensi ini lebih sering berpihak pada stabilitas perbankan dibandingkan pada kepentingan pedagang kecil.
Ketika segala transaksi dilakukan secara digital, pemerintah dan korporasi memiliki akses penuh terhadap pergerakan ekonomi masyarakat. Hal ini memungkinkan mereka menerapkan kebijakan seperti pembatasan transaksi, pengenaan pajak yang lebih agresif, atau bahkan pembekuan dana bagi individu atau kelompok tertentu.
Paul Volcker, mantan Ketua Federal Reserve, pernah menyatakan, “The most important financial innovation in the past 20 years is the ATM.” Ironisnya, dalam era digitalisasi ini, inovasi keuangan tidak lagi sekadar soal kenyamanan, tetapi tentang siapa yang mengontrol sistem perdagangan global.
Kesimpulan: Perdagangan dalam Genggaman Korporasi Finansial
Digitalisasi keuangan tidak sekadar alat untuk mempermudah transaksi, tetapi juga mekanisme yang memperkecil kontrol individu atas perdagangan mereka sendiri. Semakin banyak transaksi yang dilakukan secara digital, semakin besar kekuasaan yang dimiliki oleh institusi keuangan dan korporasi teknologi.
Pedagang kecil dan individu yang selama ini memiliki kebebasan dalam menentukan cara mereka bertransaksi kini harus tunduk pada regulasi yang ditentukan oleh perusahaan pembayaran digital. Sistem ini menciptakan ketergantungan, mengurangi fleksibilitas perdagangan, dan pada akhirnya mengerdilkan nilai sejati dari pertukaran barang dan jasa.
Seperti yang pernah dikatakan oleh John Maynard Keynes, “The difficulty lies not so much in developing new ideas as in escaping from old ones.” Digitalisasi keuangan bukan sekadar inovasi, tetapi juga alat untuk mempertahankan dominasi kelompok tertentu dalam ekonomi global. Jika masyarakat tidak menyadari dampak jangka panjangnya, perdagangan yang sejatinya merupakan hak dasar setiap individu akan semakin dikendalikan oleh segelintir elit finansial.
Be First to Comment