Press "Enter" to skip to content

Dentum Perlawanan Itu Ada di Setiap Jantung Orang Miskin dan Tertindas


Kolom Esai

ilustrasi by pinterest

Dentum Perlawanan Itu Ada di Setiap Jantung Orang Miskin dan Tertindas

Di balik gemerlap kota, di bawah bayang-bayang pencakar langit, di ladang-ladang yang kini berubah menjadi kawasan industri, dentum perlawanan terus berdetak. Ia bukan sekadar teriakan kemarahan dari orang-orang yang kehilangan harapan, bukan sekadar tangisan mereka yang tertindas. Perlawanan adalah detak jantung mereka yang miskin—denyut kehidupan yang memastikan bahwa meskipun diinjak, mereka masih ada dan masih memiliki daya juang.

Sejarah telah mencatat bahwa dari tanah hingga panggung, dari ladang hingga kanvas, perlawanan tak selalu lahir dari pedang dan senjata, tetapi juga dari tangan yang menanam dan suara yang menyanyikan kebenaran.

Dentum Perlawanan Kaum Tani: Bertahan di Tanah Sendiri

Sejak manusia mengenal tanah sebagai sumber kehidupan, kaum tani telah menjadi kelompok yang paling sering tertindas. Mereka bekerja di bawah terik matahari, menanam padi, jagung, dan gandum untuk memberi makan dunia. Namun, mereka pula yang paling sering kehilangan hak atas tanah yang mereka garap.

Sejarah perlawanan petani telah berlangsung selama berabad-abad. Salah satu yang paling terkenal adalah Pemberontakan Petani Jerman (1524-1525), di mana kaum tani yang tertindas oleh pajak feodal dan kesewenang-wenangan gereja bangkit melawan tuan tanah. Mereka menuntut kebebasan dan keadilan, tetapi pemberontakan ini ditumpas dengan kekejaman. Ribuan petani dibantai, tetapi semangat mereka tak pernah benar-benar mati.

Di Amerika Selatan, perlawanan petani juga menjadi bagian dari perjuangan besar melawan imperialisme dan kapitalisme. Revolusi Meksiko (1910-1920) adalah contoh bagaimana petani yang dipimpin oleh Emiliano Zapata berjuang melawan penguasa yang merampas tanah mereka. Dengan slogan legendarisnya, “Tierra y Libertad” (Tanah dan Kebebasan), Zapata dan pasukannya berperang untuk merebut kembali tanah dari para tuan tanah kaya yang didukung pemerintah.

Di Asia, terutama di Indonesia, perjuangan petani juga tak kalah sengit. Dari perlawanan petani Banten pada 1888 yang melawan kebijakan kolonial Belanda, hingga gerakan tani di berbagai daerah yang terus berlanjut hingga hari ini, mereka mempertaruhkan hidup demi tanah yang seharusnya menjadi hak mereka.

Ketika kapitalisme merajalela dan tanah-tanah subur dijual kepada korporasi besar, petani tetap berdiri. Mereka tak memiliki pasukan bersenjata, tetapi mereka memiliki cangkul, semangat, dan keyakinan bahwa tanah bukan sekadar properti yang bisa diperjualbelikan, melainkan sumber kehidupan yang harus dipertahankan.

Seniman dan Penyair: Suara Perlawanan di Balik Kata dan Nada

Perlawanan bukan hanya urusan mereka yang mengangkat senjata atau turun ke jalan. Dalam banyak revolusi, seniman telah menjadi penggerak kesadaran rakyat. Mereka mungkin tak berada di garis depan dengan pedang atau senapan, tetapi dengan kata-kata, lagu, dan gambar, mereka menghidupkan semangat perjuangan.

Di Spanyol pada 1930-an, penyair besar Federico García Lorca menulis puisi-puisi yang membangkitkan perlawanan terhadap fasisme. Ia akhirnya dieksekusi oleh rezim Franco, tetapi kata-katanya terus bergema. Di Amerika, Woody Guthrie, seorang penyanyi folk, menciptakan lagu-lagu protes yang menggambarkan penderitaan kaum miskin dan buruh selama Depresi Besar. Gitar yang selalu ia bawa bertuliskan: “This Machine Kills Fascists.”

Di Indonesia, kita mengenal nama Wiji Thukul, seorang penyair yang puisinya menjadi suara bagi kaum miskin dan tertindas. Karya-karyanya seperti “Peringatan” mengingatkan kita bahwa perlawanan adalah hak setiap orang yang diinjak. Ia hilang pada era Orde Baru, tetapi puisinya tetap hidup, menjadi inspirasi bagi generasi yang melanjutkan perjuangannya.

Bukan hanya penyair, tetapi juga pelukis, musisi, dan sutradara film yang telah menggunakan seni sebagai alat perlawanan. Frida Kahlo, dengan lukisan-lukisan yang menggambarkan penderitaan rakyat, atau Fela Kuti, musisi Afrika yang lirik-lirik lagunya mengecam korupsi dan ketidakadilan, adalah bukti bahwa seni bisa menjadi senjata yang lebih tajam dari pedang.

Perlawanan yang Tak Pernah Padam

Sejarah telah membuktikan bahwa di mana ada ketidakadilan, di sana pula akan lahir perlawanan. Ia tak selalu berupa revolusi besar yang mengguncang dunia, tetapi bisa dalam bentuk perlawanan sehari-hari—seorang petani yang bertahan di tanahnya, seorang buruh yang menuntut upah layak, atau seorang penyair yang menulis tentang ketidakadilan.

Perlawanan bukan sekadar aksi turun ke jalan, tetapi juga kesadaran yang tumbuh dalam benak mereka yang menolak tunduk pada sistem yang menindas. Ia adalah keyakinan bahwa perubahan mungkin terjadi, bahwa sejarah tak hanya ditulis oleh penguasa, tetapi juga oleh mereka yang melawan.

Di setiap jantung orang miskin dan tertindas, dentum perlawanan masih berdetak. Ia menunggu waktu untuk kembali mengguncang dunia.

Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *