Press "Enter" to skip to content

Demonstrasi: Kontrol Rakyat terhadap Kekuasaan


kolom opini

sumber foto pinterest

Dalam sistem demokrasi, kekuasaan sejati berada di tangan rakyat. Namun, dalam praktiknya, rakyat sering kali hanya dianggap sebagai pemilih dalam pemilu, lalu diabaikan setelahnya. Demonstrasi muncul sebagai bentuk koreksi dan ekspresi ketidakpuasan rakyat terhadap jalannya pemerintahan. Ini bukan sekadar aksi protes, tetapi mekanisme langsung untuk mengatur dan mengarahkan kebijakan negara sesuai dengan kepentingan publik.

Demonstrasi sebagai Kontrol Rakyat terhadap Kekuasaan

Dalam teori demokrasi, negara seharusnya dijalankan berdasarkan kepentingan rakyat, bukan oligarki atau kelompok elite yang menguasai sumber daya ekonomi dan politik. Namun, realitas sering kali menunjukkan bahwa pemerintah lebih responsif terhadap kepentingan pemodal daripada suara rakyat. Demonstrasi menjadi alat bagi rakyat untuk menegaskan kembali posisinya sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.

Contoh historis menunjukkan bahwa demonstrasi dapat mengubah kebijakan negara. Revolusi Prancis (1789) mengakhiri monarki absolut, demonstrasi buruh di Amerika Serikat pada awal abad ke-20 melahirkan perlindungan tenaga kerja, dan gerakan Reformasi 1998 di Indonesia berhasil menggulingkan rezim otoriter. Ini membuktikan bahwa aksi massa adalah bentuk nyata dari demokrasi langsung, di mana rakyat secara kolektif memengaruhi jalannya pemerintahan.

Karl Marx pernah menyatakan bahwa “Kelas pekerja tidak punya senjata lain dalam perjuangannya selain organisasi. Dengan organisasi, mereka menjadi kekuatan yang tak terkalahkan.” Kutipan ini menegaskan bahwa kekuatan rakyat terletak pada solidaritas dan gerakan kolektif, bukan dalam kepasrahan terhadap sistem yang menindas. Demonstrasi adalah salah satu bentuk organisasi rakyat untuk menantang kebijakan yang tidak adil.

Demonstrasi sebagai Instrumen Tekanan Politik

Demonstrasi bukan hanya sekadar penyampaian aspirasi, tetapi juga merupakan instrumen tekanan politik. Ketika sistem perwakilan di parlemen gagal merepresentasikan kepentingan rakyat, aksi massa menjadi saluran alternatif untuk mendesakkan tuntutan. Dalam sejarah Indonesia, berbagai demonstrasi besar—mulai dari aksi mahasiswa 1966, Reformasi 1998, hingga protes terhadap Omnibus Law 2020—menunjukkan bahwa ketika rakyat bersatu, mereka dapat menggoyahkan kebijakan negara.

Namun, penguasa kerap menstigmatisasi demonstrasi sebagai tindakan anarkis atau subversif. Negara sering menggunakan aparat keamanan untuk meredam gerakan rakyat, mengkriminalisasi aktivis, dan membangun narasi bahwa demonstrasi merusak stabilitas. Padahal, stabilitas yang dimaksud oleh pemerintah sering kali hanya berarti kestabilan kekuasaan elite, bukan kesejahteraan rakyat.

Sebagaimana Rosa Luxemburg pernah mengatakan, “Kebebasan hanya berarti sesuatu jika mencakup kebebasan bagi mereka yang berpikir berbeda.” Jika demonstrasi dibungkam, maka demokrasi menjadi sekadar ilusi, sebab tidak ada ruang bagi rakyat untuk mengoreksi jalannya pemerintahan.

Negara dan Upaya Delegitimasi Demonstrasi

Ketakutan pemerintah terhadap demonstrasi bukan tanpa alasan. Sejarah membuktikan bahwa banyak perubahan besar dimulai dari aksi jalanan. Oleh karena itu, negara sering kali melakukan upaya sistematis untuk meredam gerakan demonstrasi melalui beberapa strategi:

  1. Represi Fisik: Penggunaan aparat keamanan untuk membubarkan massa dengan kekerasan, sebagaimana yang sering terjadi dalam demonstrasi di berbagai negara, termasuk Indonesia.
  2. Delegitimasi Narasi: Pemerintah membangun citra bahwa demonstrasi adalah tindakan yang mengganggu ketertiban umum, bahkan menyebut demonstran sebagai “perusuh” atau “penunggang gelap.”
  3. Kriminalisasi Aktivis: Banyak aktivis yang dikriminalisasi dengan tuduhan makar atau pelanggaran hukum lainnya untuk membungkam suara kritis.
  4. Infiltrasi dan Adu Domba: Gerakan demonstrasi sering disusupi oleh provokator untuk menciptakan kekacauan yang akhirnya dijadikan alasan untuk meredam gerakan.

Demonstrasi dan Legitimasi Demokrasi

Demonstrasi yang masif dan konsisten menunjukkan bahwa ada masalah struktural yang tidak bisa diabaikan. Jika pemerintah benar-benar berkomitmen pada demokrasi, maka demonstrasi harus dipandang sebagai bagian dari mekanisme kontrol rakyat terhadap kekuasaan, bukan sebagai ancaman.

Di negara-negara dengan demokrasi matang, demonstrasi sering kali diakomodasi sebagai bagian dari proses politik. Di negara-negara Nordik, misalnya, protes publik sering berujung pada perubahan kebijakan. Sebaliknya, di negara-negara dengan kecenderungan otoriter, demonstrasi kerap dianggap sebagai ancaman dan ditindak dengan kekerasan.

Leon Trotsky pernah berkata, “Jika kita tidak berjuang untuk masa depan kita, orang lain akan menentukannya untuk kita.” Demonstrasi adalah bentuk perlawanan rakyat untuk menentukan nasib mereka sendiri, bukan menyerah pada keputusan segelintir elite yang menguasai negara.

Kesimpulan: Demonstrasi sebagai Bentuk Partisipasi Politik

Demonstrasi bukan sekadar hak rakyat, tetapi juga kewajiban dalam sistem demokrasi yang sehat. Ia adalah mekanisme kontrol, tekanan politik, dan bentuk partisipasi langsung dalam pemerintahan. Jika pemerintah benar-benar mendengar suara rakyat, maka demonstrasi bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, melainkan dihargai sebagai bagian dari proses demokratis.

Pemerintah yang alergi terhadap demonstrasi menunjukkan bahwa ia tidak siap menerima koreksi. Sebaliknya, rakyat yang aktif dalam demonstrasi menunjukkan bahwa demokrasi masih hidup. Jika demonstrasi terus ditekan dan dikriminalisasi, maka pertanyaan yang lebih besar harus diajukan: masihkah kita hidup dalam demokrasi, atau hanya dalam kedok sistem yang dikendalikan oleh segelintir elite?

Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *