Press "Enter" to skip to content

Demonisasi Dukun Merupakan Produk Kolonial dan Industri Hiburan

Pelajari bagaimana demonisasi terhadap dukun di Indonesia merupakan hasil konstruksi kolonial dan media hiburan. Artikel ini mengungkap sejarah, peran dukun dalam budaya Nusantara, serta narasi bias yang perlu diluruskan.

ilustrasi by pinterest

Demonisasi Dukun: Warisan Kolonialisme & Pengaruh Industri Hiburan

Pengantar

Dalam percakapan sehari-hari di Indonesia, kata “dukun” kerap diasosiasikan dengan hal-hal negatif: tukang santet, penyesat umat, atau penipu masyarakat desa yang buta logika. Persepsi ini seolah-olah lahir secara alamiah, menjadi konsensus sosial yang tak terbantahkan. Namun, di balik citra negatif tersebut, terdapat jejak sejarah panjang tentang bagaimana “dukun” yang dahulu merupakan simbol pengetahuan, spiritualitas, dan harmoni dengan alam, kini direduksi menjadi simbol kegelapan. Artikel ini berupaya menelusuri akar historis dan kultural dari demonisasi dukun, yang tidak lepas dari pengaruh kolonialisme dan industri hiburan modern.


Apa Itu Demonisasi?

Demonisasi adalah proses menggambarkan seseorang, kelompok, atau budaya sebagai jahat, berbahaya, dan patut ditakuti. Dalam konteks kolonial dan pascakolonial, demonisasi kerap digunakan sebagai strategi hegemonik untuk mengendalikan narasi budaya dan menundukkan identitas lokal. Dengan membingkai praktik tertentu sebagai sesat atau irasional, penguasa dapat menciptakan ketakutan kolektif yang melegitimasi kekuasaan mereka. Menurut Edward Said dalam teorinya tentang “Orientalisme”, demonisasi adalah bentuk lain dari penggambaran inferior terhadap budaya yang berbeda, untuk mempertahankan superioritas penguasa.

Lebih jauh lagi, dalam kajian Michel Foucault tentang pengetahuan dan kekuasaan, demonisasi dapat dipahami sebagai cara untuk mendisiplinkan tubuh dan pikiran manusia melalui narasi yang dibentuk oleh institusi dominan. Ketika satu kelompok dianggap berbahaya, maka segala bentuk eksistensinya bisa diatur, diawasi, bahkan dimusnahkan secara simbolik.


Dukun dalam Peradaban Kuno Nusantara

Sebelum masuknya kolonialisme dan dominasi agama-agama monoteistik, masyarakat Nusantara memiliki struktur sosial yang sangat terkait dengan nilai-nilai kosmologis dan spiritual. Dukun atau tokoh spiritual lokal memiliki berbagai sebutan: balian di Bali, pawang di Melayu, sando di Bugis, sibaso di Batak, dan pandita dalam tradisi Hindu-Buddha Jawa. Mereka bukan hanya penyembuh, tetapi juga penghubung antara manusia dengan alam dan leluhur, pengatur ritus pertanian, penyampai pesan gaib, dan penasihat komunitas.

Fungsi dukun sangat krusial dalam menjaga keseimbangan hidup. Dalam riset antropolog Clifford Geertz di Jawa, ia menyebut dukun sebagai bagian dari struktur “abangan” yang lebih fleksibel dan terbuka terhadap sinkretisme budaya. Sementara menurut antropolog Margaret Mead, masyarakat tradisional menjadikan dukun sebagai penjaga tradisi, bukan sekadar individu dengan kekuatan mistis, tetapi sebagai memori kolektif komunitas.

Sejarawan Indonesia seperti Onghokham juga menekankan bahwa dalam masyarakat Jawa sebelum kolonial, hubungan antara spiritualitas dan kekuasaan sangat erat. Raja-raja Jawa pun sering memanfaatkan kekuatan spiritual dari para dukun atau empu sebagai legitimasi politik.


Kolonialisme dan Agenda Rasionalisasi Budaya

Kedatangan kolonial Belanda ke Nusantara membawa serta agenda modernisasi, misi Kristenisasi, dan penertiban spiritualitas lokal yang dianggap berbahaya atau tidak sesuai dengan rasionalisme Eropa. Dalam catatan sejarah, banyak dukun yang dianggap sebagai penghasut, penyebar “tahayul”, bahkan musuh negara. Sistem kolonial memproduksi berbagai regulasi untuk mengontrol praktik dukun, misalnya melalui Politik Etis dan kodifikasi hukum yang mengkriminalisasi praktik penyembuhan non-medis.

Dukun sebagai simbol pengetahuan lokal dianggap mengganggu otoritas ilmiah dan religius kolonial. Mereka tidak hanya dianggap biang keladi dari penyakit atau kekacauan, tetapi juga berpotensi menjadi simpul perlawanan rakyat. Dalam konteks ini, demonisasi terhadap dukun adalah strategi kultural dan politis: mencabut legitimasi mereka di hadapan masyarakat.

Antropolog Belanda Cornelis van Vollenhoven bahkan menyebut bahwa hukum adat dan tokoh-tokohnya seperti dukun adalah “hukum hidup” yang mengancam sistem hukum kolonial. Maka bukan hal yang mengherankan jika dukun dimarginalisasi, lalu digantikan dengan tenaga kesehatan Barat dan institusi keagamaan resmi.

Sejarawan Franz Magnis-Suseno mencatat bahwa kolonialisme bekerja tidak hanya dengan kekuatan militer, tetapi juga dengan penghancuran simbol-simbol otoritas lokal. Dukun sebagai otoritas budaya dan spiritual menjadi sasaran utama.


Peran Industri Hiburan dalam Mewarisi dan Menyebarkan Demonisasi

Setelah era kolonial, demonisasi dukun tidak serta-merta hilang. Justru ia menemukan bentuk baru dalam industri hiburan: film, televisi, dan sinetron. Dari layar lebar hingga FTV horor di televisi nasional, dukun selalu digambarkan sebagai tokoh antagonis, penyihir kejam, atau penghambat kemajuan. Sinetron seperti “Tuyul dan Mbak Yul”, “Santet”, atau film-film horor era 90-an memperkuat stereotip dukun sebagai sosok tua, berpenampilan menyeramkan, dan penuh dendam.

Dalam analisis budaya populer, representasi semacam ini bukan sekadar hiburan. Mereka adalah alat reproduksi ideologi. Stuart Hall, seorang ahli teori budaya, menyatakan bahwa media massa memainkan peran dalam membentuk makna sosial, dan bahwa citra-citra yang terus-menerus diulang akan menciptakan persepsi permanen dalam benak publik. Artinya, industri hiburan telah menjadi perpanjangan lidah kolonial dalam menciptakan musuh imajiner dari warisan budaya sendiri.

Lebih lanjut, industri hiburan global juga menjual citra dukun sebagai sesuatu yang eksotis dan menyeramkan untuk kepentingan pasar. Film seperti “The Medium” (Thailand), “The Conjuring” atau “Hereditary” di Barat menampilkan penyembuhan tradisional dan ritual kuno sebagai sesuatu yang gelap dan berbahaya. Ini memperkuat ide bahwa pengetahuan spiritual non-Barat bersifat menakutkan dan irasional.


Menggugat Satu Narasi, Membuka Perspektif Baru

Demonisasi terhadap dukun bukanlah refleksi murni dari praktik dukun itu sendiri, melainkan hasil dari konstruksi budaya dan politik yang panjang. Ketakutan terhadap dukun bukan datang dari bukti ilmiah atau pengalaman langsung masyarakat, melainkan dari narasi yang dibentuk oleh kuasa: baik kolonial maupun kapitalistik.

Argumen yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa banyak masyarakat adat hingga kini tetap mempercayakan kesehatan, keseimbangan jiwa, dan keputusan komunitas kepada para dukun. Dalam masyarakat Dayak, misalnya, balian masih memimpin ritual besar komunitas, bahkan untuk penyembuhan penyakit yang tak dapat dijelaskan secara medis. Ini menunjukkan bahwa nilai fungsional dan simbolik dukun belum benar-benar punah.

Antropolog James Scott dalam bukunya Weapons of the Weak menekankan bahwa simbol-simbol lokal seperti dukun merupakan bagian dari perlawanan budaya terhadap dominasi eksternal. Dengan meremehkan dan mencibir peran dukun, kita bisa jadi sedang mengabaikan salah satu bentuk pengetahuan yang diwariskan selama ribuan tahun.


Penutup

Mengungkap demonisasi terhadap dukun berarti juga membongkar warisan kolonialisme dan pengaruh industri hiburan yang tak disadari. Ini adalah upaya untuk merehabilitasi warisan budaya lokal dari stigma yang dipaksakan. Dalam dunia yang semakin homogen dan terstandardisasi, menjaga keberagaman perspektif—termasuk dalam memahami peran dukun—adalah bagian dari perjuangan melawan pelupaan dan dominasi budaya.

Sebagaimana dikatakan oleh Frantz Fanon, seorang psikiater dan intelektual pascakolonial, “Dekolonisasi bukan sekadar membalik peta kekuasaan, tapi juga membebaskan cara kita melihat dan memahami dunia.” Maka sudah saatnya kita melihat dukun bukan dengan kacamata kolonial atau lensa horor sinetron, melainkan sebagai bagian dari pengetahuan dan spiritualitas Nusantara yang sah dan bermartabat.

Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *