Demokrasi di Indonesia semakin menjauh dari harapan. Artikel ini membahas bagaimana ketidaksiapan masyarakat, minimnya pendidikan politik, dan dominasi oligarki membuat demokrasi menjadi kontraproduktif terhadap keadilan dan kesejahteraan sosial.

Demokrasi Kontraproduktif di Indonesia: Gagalnya Pendidikan Politik dan Keadilan Sosial
Demokrasi selalu menjadi sistem politik yang digadang-gadang sebagai jalan tengah paling ideal dalam menyatukan kepentingan individual dan kolektif. Di Indonesia, demokrasi lahir dari sejarah panjang perlawanan terhadap otoritarianisme. Namun dalam kenyataan kontemporer, demokrasi justru menunjukkan gejala kontraproduktif: alih-alih menjadi panggung kolektif untuk kebaikan bersama, ia berubah menjadi arena kompetisi oligarkis dan manipulatif. Kegagalan ini bukan semata disebabkan oleh struktur institusi politik, melainkan juga karena ketidaksiapan masyarakat dalam memainkan peran sebagai aktor utama demokrasi.
Masyarakat yang Tak Siap: Demokrasi Tanpa Subyek Demokratis
Salah satu masalah utama dalam demokrasi Indonesia adalah absennya masyarakat yang benar-benar demokratis. Demokrasi membutuhkan subyek yang memiliki kesadaran politik, nalar kritis, dan tanggung jawab sipil. Sayangnya, masyarakat Indonesia sebagian besar tidak mendapatkan ruang dan kesempatan untuk berkembang sebagai subyek tersebut.
Menurut filsuf pendidikan Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed, sistem yang menindas akan terus mereproduksi kebodohan politis selama rakyat tidak dididik untuk berpikir kritis. Freire menyebutnya sebagai pendidikan “bank style”, di mana pengetahuan dianggap sebagai barang yang ditransfer dari atas ke bawah, bukan sebagai alat emansipasi. Dalam konteks Indonesia, pendidikan politik bukan hanya minim, tetapi juga sering kali sengaja dijauhkan dari rakyat agar mereka tetap menjadi massa yang mudah diarahkan.
Keengganan para politisi dan intelektual dalam melaksanakan pendidikan politik menambah runyam persoalan ini. Para elit lebih memilih menjaga status quo, memanfaatkan kebingungan publik, dan menanamkan loyalitas politik berbasis transaksional. Mereka menutup pintu bagi transformasi kesadaran rakyat, menjadikan demokrasi hanya prosedural, tanpa substansi.
Demokrasi yang Ditinggalkan oleh Keadilan
Apa yang kita harapkan dari demokrasi adalah keadilan sosial: kesetaraan kesempatan, kesejahteraan, keamanan, dan akses terhadap pendidikan serta kesehatan. Tetapi realitasnya justru berbanding terbalik. Demokrasi Indonesia seolah hanya berfungsi untuk memilih siapa yang akan menindas rakyat lima tahun ke depan.
Dalam Justice as Fairness, John Rawls menekankan bahwa keadilan harus menjadi prinsip dasar dalam penyusunan tatanan sosial. Demokrasi tanpa pemerataan kesejahteraan dan keadilan distributif akan berakhir sebagai sistem yang menindas dengan cara yang lebih tersembunyi. Rawls mengajukan prinsip difference, di mana ketimpangan hanya dapat diterima jika menguntungkan yang paling tidak beruntung. Namun demokrasi Indonesia justru melanggengkan ketimpangan yang hanya menguntungkan para elite politik dan ekonomi.
Kesempatan kerja dan kestabilan ekonomi hanya dimiliki segelintir orang. Akses pendidikan dan kesehatan yang bermutu masih menjadi kemewahan bagi banyak warga. Hal ini memperlihatkan bagaimana demokrasi telah gagal sebagai alat distribusi keadilan. Ketika demokrasi tidak bisa menjawab kebutuhan dasar rakyat, ia kehilangan legitimasi moral dan sosialnya.
Oligarki, Konsumerisme Politik, dan Demokrasi Semu
Dalam bukunya The Theory of the Leisure Class, Thorstein Veblen menyebut bahwa konsumsi dan simbolisme kekuasaan menciptakan kelas penguasa yang hidup dari prestise, bukan kontribusi. Hal ini sangat relevan dengan kondisi Indonesia, di mana para politisi sering kali bukan pejuang ideologis, melainkan representasi dari kekuatan ekonomi.
Demokrasi berubah menjadi pasar politik, bukan ruang deliberasi publik. Pemilu dijadikan komoditas, bukan partisipasi. Rakyat diposisikan sebagai konsumen politik yang hanya membeli citra dan janji. Demokrasi yang seharusnya mendidik, justru membentuk apatisme kolektif. Proses elektoral hanya menjadi sirkus lima tahunan yang tidak mengubah nasib rakyat secara struktural.
Jeffrey A. Winters, dalam Oligarchy, menekankan bahwa demokrasi modern rentan disusupi kekuatan oligarki yang menguasai sumber daya ekonomi dan mempengaruhi kebijakan publik melalui kapital. Dalam konteks Indonesia, ini terlihat dari bagaimana partai-partai politik dibiayai oleh pemodal besar, yang pada akhirnya membuat arah kebijakan negara selalu berpihak pada kepentingan bisnis, bukan kepentingan rakyat.
Demokrasi Tanpa Etika Politik
Selain persoalan struktural, demokrasi Indonesia juga menghadapi krisis etika politik. Politik kekuasaan menjadi jauh lebih dominan dibandingkan politik nilai. Machiavellianisme dianggap sebagai keniscayaan, bukan penyimpangan. Dalam kerangka ini, politik dijalankan bukan demi rakyat, tapi demi mempertahankan kekuasaan.
Filsuf politik Hannah Arendt mengingatkan bahwa politik sejatinya adalah ruang publik untuk bertindak secara bebas dan bermakna. Namun demokrasi Indonesia lebih sering mempertontonkan politik kecurangan, kebohongan, dan manipulasi massal. Demokrasi kehilangan nilai moralnya ketika penguasa tidak lagi berpikir tentang masa depan rakyat, tetapi hanya tentang keberlangsungan kekuasaan.
Demokrasi tidak akan pernah bekerja jika hanya dijalankan secara prosedural. Demokrasi menuntut virtue atau kebajikan publik, bukan sekadar akal-akalan konstitusional. Tanpa kejujuran, transparansi, dan kesadaran etis, demokrasi hanyalah kulit kosong tanpa isi.
Membumikan Kesadaran dan Membangun Infrastruktur Emansipasi
Mengembalikan demokrasi ke jalur emansipatif memerlukan upaya panjang dan kolektif. Pertama, pendidikan politik harus menjadi bagian integral dari kurikulum dan kehidupan publik. Bukan pendidikan indoktrinatif, tetapi pendidikan yang membebaskan dan membangun nalar kritis. Setiap warga negara harus memiliki pemahaman tentang hak dan kewajiban politiknya secara utuh.
Kedua, perlu adanya desentralisasi kekuasaan yang nyata, bukan sekadar administratif. Demokrasi partisipatoris harus menjadi tujuan: memberikan ruang bagi komunitas lokal untuk membuat keputusan tentang kehidupan mereka sendiri, tanpa bergantung pada elite nasional yang sering tidak peka terhadap persoalan akar rumput.
Ketiga, integrasi antara gerakan sosial dan basis rakyat harus diperkuat. Demokrasi tidak akan berubah jika rakyat tidak punya kekuatan untuk menekan perubahan. Aktivisme harus keluar dari menara gading, dan mulai membangun organisasi rakyat yang kuat, mandiri, dan visioner.
Seperti yang dikatakan Noam Chomsky, “If we don’t believe in freedom of expression for people we despise, we don’t believe in it at all.” Kebebasan, kesetaraan, dan keadilan dalam demokrasi harus diperjuangkan dalam praksis nyata, bukan hanya dalam slogan.
Penutup: Demokrasi Tidak Otomatis Menghasilkan Keadilan
Demokrasi tidak pernah menjamin keadilan hanya karena prosedurnya berjalan. Demokrasi yang tanpa kesadaran rakyat, tanpa pendidikan politik, dan tanpa etika hanya akan menjadi sistem yang melanggengkan ketidakadilan dalam bentuk yang lebih halus.
Demokrasi Indonesia, dalam bentuknya saat ini, kontraproduktif karena gagal menjadikan rakyat sebagai subyek. Ia gagal mewujudkan cita-cita keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan. Untuk itu, tugas kita bukan sekadar memilih, tetapi membangun—membangun kesadaran, membangun solidaritas, dan membangun kekuatan kolektif untuk mendemokratisasi demokrasi itu sendiri.
Be First to Comment