Esai opini

Dampak Negatif Pariwisata pada Lingkungan dan Sosiologi Masyarakat Sekitar
Pariwisata selama ini dipuja sebagai mesin pertumbuhan ekonomi, pembuka lapangan kerja, dan simbol kemajuan daerah. Namun di balik geliat pariwisata yang semarak, terutama di kawasan pedesaan dan wilayah-wilayah yang sebelumnya tenang dalam kesederhanaannya, terdapat narasi luka yang tak terlihat. Eksploitasi lingkungan, bergesernya struktur sosial masyarakat, hingga kehilangan kendali atas ruang hidup sendiri adalah sisi gelap dari euforia yang kerap tidak dikritisi secara tajam.
Alam yang Dikorbankan demi Estetika Instan
Industri pariwisata kerap membungkus dirinya dalam kemasan “pembangunan berkelanjutan”, namun pada praktiknya, banyak destinasi wisata dikembangkan dengan pendekatan ekstraktif terhadap alam. Hutan dibuka untuk resort dan hotel, pantai dipagari eksklusif bagi wisatawan, danau-danau dikomersialisasikan, dan sumber air alami dijadikan fasilitas pendukung bisnis.
Kasus-kasus di berbagai daerah seperti di Bali, Labuan Bajo, hingga Danau Toba, menunjukkan bahwa pembangunan sektor wisata lebih banyak mengorbankan ekosistem lokal ketimbang memperkuat daya dukung lingkungan. Limbah dari hotel dan restoran mencemari sungai dan laut, sementara keanekaragaman hayati tergerus oleh infrastruktur. Dalam logika pasar, keindahan alam adalah komoditas yang dijual, bukan warisan hidup yang harus dijaga.
Seperti dikatakan sosiolog Anthony Giddens, “Modernisasi yang tak terkendali berpotensi menggerus nilai dan tatanan sosial yang telah hidup lama.” Modernisasi melalui pariwisata yang datang tiba-tiba, tanpa pengetahuan ekologis dan etnografis, justru melahirkan bentuk baru kolonialisme ekonomi: eksploitasi wilayah untuk kenyamanan orang luar.
Petani yang Beralih Jadi Pemandu, Bukan Karena Pilihan, tapi Keterpaksaan
Transformasi sosial di desa-desa wisata tak selalu lahir dari kesadaran kolektif, melainkan karena desakan kebutuhan ekonomi yang menyesuaikan dengan arus besar wisata. Ketika ladang tak lagi menghasilkan karena harga panen rendah dan tidak stabil, banyak petani tergoda untuk beralih profesi menjadi pemandu wisata, tukang ojek wisata, atau membuka warung instan. Mereka bukan dididik, tetapi didorong oleh realitas: sektor pertanian tak lagi menjanjikan karena ditinggalkan oleh negara.
Imbasnya, sawah-sawah mulai ditinggalkan, hutan adat digadaikan untuk mendirikan penginapan murah. Struktur sosial desa yang semula solid atas asas gotong royong dan ketahanan pangan lokal mulai bergeser menjadi relasi-relasi ekonomi pasar. Tatanan sosial diganti dengan hirarki baru berdasarkan siapa yang lebih dekat dengan investor atau pengelola pariwisata.
Sosiolog Pierre Bourdieu menyebut bahwa perubahan struktur sosial kerap dimediasi oleh “modal simbolik” yang baru, yakni status dan akses pada kapital modern. Dalam konteks ini, masyarakat yang dahulu punya peran utama dalam ekosistem lokalnya kini menjadi subjek yang kehilangan kuasa atas tanah, pengetahuan, dan ruang sosial mereka.
Kegagapan Sistem dan Hilangnya Peran Sentral Masyarakat Lokal
Pariwisata datang lebih cepat daripada kesiapan SDM lokal. Ini melahirkan jurang kegagapan yang serius. Banyak warga lokal yang tidak memiliki akses terhadap pendidikan pariwisata, manajemen, atau bahasa asing. Alih-alih menjadi pelaku utama, mereka menjadi pelengkap—pekerja kasar di hotel, pengangkut barang wisatawan, atau penjaga parkir.
Investor dari luar daerah, bahkan luar negeri, yang menguasai permodalan dan jaringan bisnis, masuk dengan kemasan kerja sama dan kemitraan. Namun di balik kontrak-kontrak kerjasama itu, masyarakat lokal kerap dirugikan: tanah dijual murah karena desakan ekonomi, atau dipinjam pakai dengan sistem sewa jangka panjang yang membuat kepemilikan tanah bergeser secara perlahan. Dalam waktu dua dekade, banyak desa wisata berubah menjadi kawasan privat, di mana warga lokal hanya menjadi penghuni tanpa kuasa.
Kutipan sosiolog Saskia Sassen menjadi relevan di sini: “Globalisasi dan kapitalisme global tidak hanya bergerak dalam wilayah ekonomi, tetapi juga dalam penguasaan ruang, budaya, dan identitas lokal.” Yang terjadi bukan sekadar kehilangan pekerjaan atau pendapatan, tetapi kehilangan akar identitas, sejarah, dan posisi sosial.
Ke Mana Arah Pembangunan Pariwisata Seharusnya?
Pariwisata bukanlah musuh jika dikelola dengan kesadaran ekologis dan sosial. Yang menjadi soal adalah ketika logika pariwisata dikendalikan oleh modal besar dan negara hanya menjadi fasilitator, bukan pelindung masyarakatnya. Pemerintah daerah pun lebih sibuk membuat zona ekonomi pariwisata daripada membangun sistem pelindung hak-hak agraria masyarakat lokal.
Model pariwisata yang berkeadilan sosial seharusnya menempatkan masyarakat lokal sebagai pemilik dan pengelola utama. Bukan hanya pekerja, melainkan penentu arah, strategi, dan distribusi keuntungan. Tanah adat tidak boleh diperjualbelikan untuk alasan “pengembangan destinasi”. Pendidikan pariwisata berbasis lokal harus ditanamkan sejak dini. Dan yang paling penting: alam harus tetap diperlakukan sebagai ruang hidup, bukan objek jual beli.
Penutup: Saatnya Meredefinisi “Kemajuan”
Jika kemajuan hanya diukur dari jumlah wisatawan dan pembangunan hotel, maka kita sedang berada di jalan yang keliru. Kemajuan seharusnya berarti kesejahteraan masyarakat, ketahanan lingkungan, dan keadilan sosial. Ketika masyarakat desa kehilangan sawah, kehilangan peran, dan kehilangan tanah, maka yang kita bangun bukanlah industri wisata, melainkan bentuk baru dari pengusiran yang sistematis.
Pariwisata harus direbut kembali maknanya—bukan sebagai alat kapitalisasi ruang, tapi sebagai wahana saling mengenal budaya, memperkuat solidaritas, dan menjaga keberlanjutan hidup. Bila tidak, maka pariwisata hanya akan menjadi wajah lain dari penjajahan yang rapi dan diam-diam.
Be First to Comment