Press "Enter" to skip to content

“Bohemian, Bukan Pilihan: Citra Seniman yang Dikemas Kapitalisme”

Seniman bukan makhluk bebas. Mereka korban sistem yang mengemas derita jadi estetika. Bohemianisme hanyalah wajah lain dari kemiskinan yang dipoles pasar.

ilustrasi by pinterest

Kapitalisme & Citra Palsu Seniman Bebas: Kritik Bohemianisme

Di bawah lampu sorot panggung atau kanvas galeri, para seniman sering kali terlihat seperti makhluk bebas—berpenampilan nyentrik, gaya hidup non-konvensional, melawan arus budaya, dan katanya, hidup dalam kebebasan kreatif yang liar dan tanpa batas. Tapi itu hanya permukaan. Hanya bungkus. Sementara di bawahnya, banyak seniman menyimpan retakan dalam jiwa, perut yang kosong, serta ruang hidup yang rapuh. Mereka bukan bebas karena mampu, mereka “bebas” karena tak punya pilihan.

Kapitalisme dan industri hiburan telah lama mengemas penderitaan dan keterasingan seniman sebagai bagian dari estetika. Gaya busana compang-camping, rumah sempit yang penuh kanvas, atau malam panjang dengan musik minor bukanlah gaya hidup yang sengaja dipilih, melainkan hasil dari keterdesakan. Dalam lanskap dunia yang dikendalikan oleh logika pasar, bahkan penderitaan pun dijadikan komoditas.

Bohemianisme: Romantisme Kuno atas Derita Nyata

Istilah bohemian berasal dari Eropa abad ke-19 dan kerap dikaitkan dengan gaya hidup seniman miskin di Paris—yang menghindari norma borjuis demi mengejar ekspresi seni yang otentik. Tapi sejarah mencatat sesuatu yang lebih kelam. Menurut Jerrold Seigel dalam bukunya “Bohemian Paris: Culture, Politics, and the Boundaries of Bourgeois Life, 1830–1930”, para seniman dan intelektual yang menghuni Montmartre dan Latin Quarter sebenarnya hidup dalam kemiskinan yang akut. Mereka menumpang di loteng, makan sekali sehari, dan bergantung pada kemurahan hati teman atau patron yang bersedia membeli karya mereka—seringkali dengan harga di bawah nilai.

Citra mereka kemudian direbut oleh media dan pelaku industri budaya, yang menjualnya sebagai gaya hidup anti-mainstream yang keren. Padahal, menjadi bohemian di Paris bukanlah pilihan estetis, melainkan upaya bertahan hidup di pinggiran sistem ekonomi yang timpang.

Dalam studi “The Poverty of Bohemian Artists in Nineteenth-Century France” oleh art historian Martha Ward, disebutkan bagaimana kemiskinan para seniman seperti Henri de Toulouse-Lautrec atau Modigliani dikomodifikasi oleh kolektor dan kritikus sebagai nilai jual—menandai “keautentikan” mereka. Derita menjadi daya tarik.

Kebebasan sebagai Ilusi Komersial

Apa yang disebut sebagai kebebasan kreatif kini telah menjadi jargon promosi. Dalam kapitalisme hiburan, seniman bukan lagi pencipta yang bebas, melainkan produsen konten. Mereka dipaksa memoles derita menjadi estetika yang laku dijual. Perusahaan rekaman, galeri seni, hingga agensi periklanan menyusun narasi tentang seniman “rebel” yang “hidup di luar sistem” padahal pada kenyataannya, mereka hanyalah roda kecil dalam sistem yang jauh lebih besar dan kejam.

Musisi yang tampil urakan, penyair yang bicara melawan sistem sambil minum anggur murah di panggung terbuka, atau pelukis jalanan yang viral di media sosial—semua itu kini telah dikemas dalam bentuk branding. Kebebasan yang mereka jual telah disulap menjadi produk konsumsi: freedom™.

Seorang seniman kontemporer asal Prancis, JR, dalam sebuah wawancaranya mengatakan:

“Kita hidup dalam zaman di mana perlawanan bisa dijadikan kampanye iklan. Ketika seni tak lagi mengguncang, tapi menyesuaikan pasar.”

Seniman tidak lagi bebas; mereka harus tunduk pada selera publik, algoritma, dan sponsor.

Estetika Kemiskinan: Eksotisme dari Kesengsaraan

Kapitalisme hiburan punya cara yang sangat efisien dalam mengeksploitasi kesengsaraan: ia menjadikannya eksotis. Gaya busana acak-acakan, tatapan kosong, dan lirik lagu yang putus asa dijual sebagai sesuatu yang keren. Bukan karena kita peduli terhadap kesakitan seniman, tapi karena kita ingin merasakannya tanpa benar-benar mengalaminya.

Maka hadirlah budaya co-optation: realitas tragis diubah jadi tren Instagram. Apartemen kumuh para seniman bohemian menjadi tema dekorasi kafe. Puisi patah hati dijadikan kutipan di mug atau kaos. Bahkan kehidupan seniman legendaris seperti Vincent van Gogh—yang mengiris telinganya sendiri di tengah penderitaan mental dan kemiskinan—kini dijadikan objek merchandise.

Kita tak sedang mencintai seni, kita sedang membeli fragmen derita.

Bukan Anti-Mainstream, Tapi Terpinggirkan

Perlu ditegaskan: gaya hidup “anti-mainstream” yang sering disematkan pada seniman bukan karena mereka ingin berbeda, tapi karena mereka tak mampu sama. Pilihan untuk hidup di luar norma sosial bukanlah pemberontakan sadar, melainkan reaksi terhadap dunia yang menolak mereka. Dunia yang tidak menyediakan tempat aman bagi ekspresi jujur, dunia yang tak menghargai kerja kreatif tanpa popularitas.

Seniman hidup di antara dua tekanan: tekanan untuk mencipta dan tekanan untuk bertahan hidup. Ketika keduanya saling bertabrakan, maka lahirlah anomali. Bukan gaya hidup, tapi kegilaan yang dipoles.

Penutup: Dari Imajinasi ke Eksploitasi

Kapitalisme dan industri hiburan telah berhasil menutupi kehancuran dengan ilusi keindahan. Mereka membuat kita percaya bahwa penderitaan adalah bagian dari seni, dan bahwa seniman adalah manusia bebas yang memilih jalannya sendiri.

Padahal, banyak seniman memilih untuk menahan lapar agar bisa melukis. Banyak musisi menjual gitarnya untuk membayar sewa. Banyak penulis bekerja di kafe agar bisa tetap menulis di malam hari.

Bohemianisme bukan romansa. Itu jeritan.

“Seni besar lahir dari luka, bukan dari kenyamanan.” – Charles Bukowski

Tapi hari ini, bahkan luka pun sudah punya label harga.


Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *