Press "Enter" to skip to content

Birokrasinya yang Macet, Rakyat Dipaksa Penuhi Standar Negara – Narasi Kritis tentang Negara yang Absen saat Rakyat Bergerak, tapi Hadir Saat Menghukum

Esai

ilustrasi by pinterest

Birokrasinya yang Macet, Rakyat Dipaksa Penuhi Standar Negara
Narasi Kritis tentang Negara yang Absen saat Rakyat Bergerak, tapi Hadir Saat Menghukum

Di suatu sudut pasar tradisional pesisir utara Jawa, seorang ibu paruh baya tergopoh melayani pembeli. Tangannya cekatan menimbang dan membungkus ikan asin yang ia olah sendiri. Tidak ada label, tidak ada barcode, tidak ada tanggal kedaluwarsa. Hanya rasa asin dan bau khas yang menjadi penandanya. Namun, dalam beberapa pekan terakhir, wajahnya tidak lagi sumringah. Ia bercerita, beberapa hari lalu petugas datang, lengkap dengan surat tugas dan membawa ancaman: ia dikategorikan melanggar Undang-Undang Perlindungan Konsumen karena tidak mencantumkan tanggal kedaluwarsa. Dalam bingkai hukum, ia adalah pelaku usaha yang lalai. Tapi dalam bingkai realitas, ia adalah rakyat kecil yang berusaha bertahan hidup.

Inilah potret buram dari birokrasi negara yang macet, rumit, dan lamban—namun secara ironis bersenjata lengkap untuk menindak mereka yang paling lemah. Alih-alih menjadi pelindung dan pemacu gerak rakyat kecil, negara justru menjadi tembok tebal yang sulit ditembus, sekaligus alat represi yang mudah dipakai oleh kekuatan modal besar.

Negara dan Standar: Ketika Aturan Menjadi Jerat

Birokrasi negara hari ini membanggakan diri dengan jargon “terstandar,” “modern,” dan “digital.” Namun di balik wajah teknologi dan peraturan yang terus diperbaharui, terdapat jebakan sistemik yang justru menyulitkan rakyat kecil. Pelaku usaha mikro dan kecil (UMK) dipaksa mengikuti standar yang dirancang bukan untuk mereka, melainkan untuk perusahaan besar yang memiliki tim hukum, akuntan, dan tenaga administrasi yang lengkap.

Ekonom Thomas Sowell pernah menulis, “The most basic question is not what is best, but who shall decide what is best.” Dalam konteks ini, negara memonopoli penentuan “yang terbaik,” dan sayangnya keputusan tersebut sering kali dibuat jauh dari suara rakyat bawah. Usaha kecil tidak diberi ruang beradaptasi secara alami, tetapi dipaksa menyesuaikan diri dengan mekanisme yang penuh formulir, sidang administrasi, izin berlapis, dan persyaratan teknis yang bahkan tak dipahami oleh mayoritas pelakunya.

Akibatnya, seperti kasus pedagang ikan asin tadi, pelaku UMK yang seharusnya dilindungi justru dikriminalisasi. Dalam rezim regulasi yang timpang ini, usaha kecil yang tak mampu memenuhi standar teknokratis malah menjadi sasaran empuk aparat dan elite pasar yang merasa tersaingi.

Birokrasi sebagai Penghambat Gerakan Rakyat

Selain dunia usaha, birokrasi juga menjadi alat yang menghambat tumbuhnya gerakan kolektif rakyat. Komunitas yang ingin mengelola tanah kosong untuk urban farming, koperasi solidaritas, hingga komunitas seni jalanan kerap menghadapi tembok birokrasi yang sama: permohonan izin yang berbelit, verifikasi yang lambat, dan kecurigaan aparat yang menganggap setiap bentuk gerakan rakyat sebagai ancaman ketertiban.

David Graeber, dalam “The Utopia of Rules,” menjelaskan bagaimana birokrasi modern pada dasarnya bukan hanya tentang efisiensi, tetapi tentang kontrol: “Bureaucracies are not just rules, they are habits of obedience.” Dalam konteks Indonesia, birokrasi bukan hanya membatasi gerak, tetapi membentuk cara pikir masyarakat agar merasa bersalah ketika mencoba bertindak mandiri.

Yang lebih mengkhawatirkan, lambannya birokrasi memberikan peluang kepada kekuatan modal besar untuk mengkooptasi hukum. Ketika pelaku usaha besar merasa terancam oleh kebangkitan UMK yang lebih fleksibel dan dekat dengan konsumen, mereka cukup mengajukan pelaporan pelanggaran formalitas hukum—dan negara langsung hadir, lengkap dengan jaksa dan aparat bersenjata.

Keberpihakan yang Salah Arah

Negara seharusnya tidak menunggu rakyat datang menyerahkan diri dalam antrian panjang, melainkan hadir aktif pada mereka yang menunjukkan potensi. Ironisnya, selama ini justru rakyatlah yang harus menjelaskan siapa mereka, apa rencana mereka, dan bagaimana mereka akan berkontribusi—dalam bahasa yang disyaratkan oleh negara: proposal, fotokopi KTP, surat keterangan domisili, NPWP, dan entitas hukum.

Padahal Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi, dengan tegas menyatakan bahwa pembangunan tidak akan terjadi jika kebebasan individu untuk memilih dan bertindak dibatasi. Dalam bukunya Development as Freedom, Sen menulis: “The role of public policy must be to expand the capabilities of people, not to restrain them with procedures.”

Apa yang terjadi hari ini adalah sebaliknya. Negara menanam pohon kebijakan di atas kertas, namun melarang rakyat memetik buahnya sebelum melewati gerbang besi prosedur. Rakyat yang baru belajar bertani, berdagang, atau berorganisasi, masih harus menyelesaikan “ujian administrasi” yang bahkan tidak pernah diajarkan di sekolah.

Kriminalisasi dan Oligarki: Duet yang Menakutkan

Birokrasi yang rumit tidak hanya menghambat, tetapi juga memfasilitasi kriminalisasi. Banyak pengusaha besar yang menggunakan “celah hukum” untuk menyingkirkan pesaing kecil. Mereka memanfaatkan kedekatan dengan aparat dan membentuk opini publik melalui media untuk menciptakan kesan bahwa pelaku UMK melanggar hukum, tak bersih, tak tertib, dan membahayakan konsumen.

Ini adalah bentuk baru dari kolonialisme internal. Negara yang seharusnya menjadi pelindung justru menjadi alat kekuasaan bagi kelompok yang takut kehilangan dominasi. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Pierre Bourdieu, “The monopoly of legitimate symbolic violence is the prerogative of the state.” Hukum dan birokrasi menjadi senjata simbolik untuk menertibkan, bukan membebaskan.

Rakyat Harus Tunduk, Tapi Negara Boleh Lalai?

Dalam banyak kasus, pelaku UMK yang sudah lelah bekerja dari pagi hingga malam, masih harus menghadiri pelatihan legalitas usaha yang membosankan, mempersiapkan laporan keuangan sesuai standar akuntansi, hingga mencari surat keterangan usaha dari RT yang kadang memungut biaya “seikhlasnya.” Ketika mereka gagal, label “ilegal” langsung disematkan.

Namun ironisnya, ketika rakyat bertanya tentang transparansi anggaran pemerintah daerah, perizinan tambang, atau korupsi pejabat, birokrasi tiba-tiba menjadi sangat tertutup dan prosedural. Rakyat harus tunduk pada negara, tapi negara tak perlu tunduk pada rakyat.

Menuju Negara yang Mempermudah, Bukan Mempersempit

Sudah waktunya rakyat menuntut perubahan. Sistem yang selama ini melayani segelintir elit harus dibongkar. Negara harus berani menciptakan sistem birokrasi yang bukan hanya efisien secara teknis, tetapi juga adil secara sosial. Legalitas usaha harus dibuat ramah rakyat, bukan dalam bentuk aplikasi berukuran 100MB, tetapi dalam bentuk pendekatan langsung ke pasar, kampung, dan komunitas. Pendampingan bukan hanya untuk foto seremonial, tetapi untuk memastikan rakyat benar-benar mendapat manfaat.

Karena pada akhirnya, rakyat tidak meminta negara menyuapi mereka. Mereka hanya meminta agar negara tidak menjadi batu di jalan mereka. Atau seperti kata Friedrich Engels, “The state is nothing but an instrument of oppression of one class by another.” Maka jika negara tidak berpihak kepada rakyat kecil, ia hanyalah alat dominasi kelas atas.


Penutup

Birokrasi bukan sekadar sistem teknis; ia adalah cermin dari siapa yang dilayani dan siapa yang dikorbankan. Jika rakyat kecil harus antre, belajar regulasi, dan menyesuaikan diri dengan standar negara yang absurd hanya agar tak dikriminalisasi, maka itu bukan lagi birokrasi—itu adalah represi. Dan represi yang disponsori negara adalah bentuk paling halus dari kekerasan struktural.

Sudah saatnya kita bertanya: untuk siapa negara ini hadir? Jika jawabannya bukan untuk rakyat yang bergerak, maka seluruh sistem birokrasi hari ini perlu ditinjau ulang. Bukan untuk disederhanakan semata, tapi untuk dikembalikan kepada ruhnya: melayani, bukan menghambat.


Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *