Kolom Opini

Ketika Anti-Kemapanan Disalahpahami
Kata “anti-kemapanan” sering kali diasosiasikan dengan penolakan terhadap stabilitas hidup, pekerjaan tetap, atau kehidupan yang nyaman. Stereotip ini membuat orang-orang yang menentang kemapanan dicap sebagai individu yang malas, tidak mau bekerja keras, atau bahkan sengaja hidup dalam kesulitan. Namun, benarkah demikian?
Anti-kemapanan sejati bukanlah menolak kelayakan hidup—bukan berarti seseorang harus hidup dalam kekurangan atau menolak kesejahteraan. Yang ditentang adalah gaya hidup borjuis, di mana keberhasilan diukur dari akumulasi kekayaan, konsumsi berlebihan, dan status sosial yang dipoles oleh simbol-simbol materialisme.
Borjuisme: Ketika Hidup Dinilai dari Barang yang Dimiliki
Borjuisme bukan hanya sekadar “kaya”, tetapi lebih pada mentalitas yang mengagungkan kepemilikan barang mewah sebagai standar keberhasilan hidup. Orang dengan mentalitas borjuis melihat hidup dalam hierarki sosial berdasarkan merek pakaian yang dipakai, kendaraan yang dikendarai, atau lingkungan tempat tinggalnya.
Ketika seseorang membeli barang bukan karena fungsinya, melainkan karena prestise yang menyertainya, di situlah borjuisme bekerja. Masyarakat pun tanpa sadar terjebak dalam lingkaran konsumsi yang tiada henti. Gaji naik, gaya hidup ikut naik; seolah-olah hidup hanya berarti jika ada barang baru yang bisa dipamerkan.
Di titik ini, anti-kemapanan hadir sebagai kritik terhadap cara hidup yang hanya berfokus pada pencitraan dan akumulasi benda.
Anti-Kemapanan: Mencari Makna di Luar Materialisme
Menjadi anti-kemapanan berarti menolak gagasan bahwa sukses harus selalu berarti memiliki rumah besar, mobil mahal, atau liburan mewah. Ini bukan berarti menolak hidup yang layak, tetapi menolak obsesi akan simbol-simbol status yang sering kali kosong makna.
Anti-kemapanan adalah sikap mempertanyakan:
- Apakah kerja keras hanya demi membeli barang yang tidak benar-benar dibutuhkan?
- Apakah kebahagiaan harus diukur dengan standar kapitalisme?
- Apakah ada cara lain untuk merasa sukses selain menumpuk kekayaan?
Banyak orang yang mengadopsi gaya hidup minimalis atau memilih jalur hidup sederhana bukan karena mereka tidak mampu memiliki lebih, tetapi karena mereka menolak dikendalikan oleh kebutuhan konsumtif yang tidak perlu.
Ketika Hidup Layak Tidak Sama dengan Hidup Mewah
Kehidupan yang layak adalah hak setiap orang. Ini berarti memiliki akses ke kebutuhan dasar seperti tempat tinggal yang nyaman, makanan bergizi, pendidikan berkualitas, layanan kesehatan yang baik, dan waktu luang yang cukup untuk menikmati hidup.
Namun, hidup layak tidak berarti hidup dalam kemewahan berlebihan. Ada perbedaan besar antara memiliki rumah yang nyaman dan membeli rumah megah hanya untuk pamer. Ada perbedaan antara memiliki kendaraan yang fungsional dan membeli mobil sport hanya untuk gengsi.
Anti-kemapanan mengajarkan bahwa nilai seseorang tidak terletak pada apa yang dimilikinya, tetapi pada bagaimana ia hidup dan berkontribusi pada dunia.
Menjadi Anti-Kemapanan dalam Dunia yang Borjuis
Di dunia yang terus-menerus mempromosikan konsumsi dan pencitraan, memilih untuk menolak gaya hidup borjuis adalah bentuk perlawanan. Ini bukan soal hidup dalam kemiskinan, tetapi soal menolak ilusi bahwa kebahagiaan bisa dibeli.
Anti-kemapanan mengajak kita untuk berpikir ulang tentang apa yang benar-benar penting dalam hidup. Apakah kita ingin hidup sekadar menjadi bagian dari roda kapitalisme, ataukah kita ingin mencari kebahagiaan dengan cara yang lebih bermakna?
Pada akhirnya, menjadi anti-kemapanan berarti memahami bahwa hidup layak adalah hak, tapi hidup dalam borjuisme adalah pilihan—dan kita punya kebebasan untuk menolaknya.
Be First to Comment