Kataruang
Telusuri makna mendalam dari lirik lagu Chronical Sarjanal karya Julian Sadam, rapper asal Surabaya. Analisis ini menggunakan pendekatan Marxis dan Cultural Studies untuk membongkar ironi pendidikan, korupsi kekuasaan, dan perlawanan budaya melalui musik rap. Baca ulasan lengkapnya di sini.

Chronical Sarjanal” dan Derita Menjadi Intelektual Kelas Pekerja: Sebuah Tafsir Marxis-Kultural
Di tengah gegap gempita iklan di timeline media sosial, di antara euforia konten trending dan obrolan basi soal selebritas politik, muncullah suara lantang dari lorong gelap peradaban: “Ini sajak yang tercipta di tengah gempuran deadline…” Begitulah Julian Sadam membuka puisinya yang sekaligus menjadi ledakan pembuka dalam lagu “Chronical Sarjanal”. Sebuah karya rap yang lebih pantas disebut sebagai pamflet politik ketimbang sekadar musik pengisi waktu kosong.
Di tangan Julian Sadam, hip hop tak hanya jadi gaya hidup—tapi menjadi alat pukul bagi kenyataan sosial yang berantakan. Dan jika kita membaca karya ini melalui kacamata Marxisme dan Cultural Studies, kita tak sedang sekadar menonton parade rima, melainkan mendengarkan jeritan generasi intelektual yang tak kunjung menemukan ruang pengabdian yang bermartabat.
Sarjanal: Gelar yang Kini Tak Lagi Bermakna
Julian Sadam memakai istilah “sarjanal” dengan sengaja, seolah hendak menelanjangi absurditas sistem pendidikan formal yang mencetak sarjana seperti mencetak kaleng sarden. “Sekolah bertahun-tahun kini kami siap terjun / attitude kami santun nalar kami sekelas pekchun” — lirik ini tak cuma sindiran, tapi tamparan telak pada universitas dan sistem pendidikan sebagai mesin ideologis (Althusser menyebutnya ideological state apparatus).
Dalam bingkai Marxis, pendidikan tidaklah netral. Ia adalah alat kelas penguasa untuk melanggengkan ideologi. Mahasiswa diajarkan untuk taat, bukan kritis. Gelar sarjana menjadi sekadar alat legitimasi sosial, bukan kemampuan emansipatoris. Maka lahirlah generasi “sarjanal”—intelektual yang siap menjilat, bukan melawan. Intelektual yang mengejar nominal, bukan moral.
Rap sebagai Wacana Perlawanan Kultural
Kalau kita mengutip Stuart Hall atau Dick Hebdige dari ranah Cultural Studies, ekspresi subkultur seperti rap, punk, atau reggae tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial-politiknya. Musik rap bukan semata gaya bermusik, tapi semacam kode komunikasi bagi komunitas yang terpinggirkan. Dalam kasus Julian Sadam, hip hop menjadi medium untuk memaki, mengutuk, dan menertawakan dunia yang absurd ini—tanpa harus meminta izin dari lembaga kebudayaan atau kurator seni rupa.
“Trilogi kerakyatan mereka perkosa dengan sadis” — baris ini adalah simbol retoris yang menunjukkan betapa jargon-jargon demokrasi Pancasila telah berubah menjadi lelucon pahit. Demokrasi, kerakyatan, keadilan sosial… semua itu telah dibajak oleh kelas birokrat dan pemilik modal. Di sini, musik bukan sekadar musik, tapi menjadi sarana produksi counter-hegemony, perlawanan terhadap narasi besar yang dibangun penguasa.
Jurnalis Mati, Nalar Kritis Dikubur
Lirik seperti “jurnalis miskin hipotesis mati nalar kritis” bukan hanya cercaan terhadap media, tapi kritik terhadap ideologi informasi hari ini. Media seharusnya menjadi pilar keempat demokrasi, tetapi hari ini ia lebih mirip humas dari kekuasaan. Di mata Julian, media bukan lagi penyampai kebenaran, melainkan alat propagandis yang menjual narasi pesanan.
Di sinilah relevansi Marxis muncul kembali: media arus utama tidak bekerja untuk rakyat, tapi untuk pemilik modal. Ia tidak mendidik, tapi meninabobokan publik dengan konten sensasional. Yang lahir dari situ bukan kesadaran kritis, tapi pembaca pasif yang sibuk membetulkan rambut klimis di depan kamera ponsel.
Bangsa Kronis dan Ironi Intelektual
“Otakkami terikat satu saraf dengan pantat” — ini bukan sekadar lelucon vulgar. Ini bentuk sinisme terhadap para intelektual bayaran, yang menjual pikirannya demi naik jabatan. Dalam tafsir Marxis, para petit bourgeois intellectuals semacam ini adalah agen kapitalisme yang berkamuflase sebagai cendekiawan. Mereka menjadi jembatan antara kelas pekerja dan kelas elite, tapi bukan untuk membebaskan, melainkan menjinakkan.
Sadam dengan jenius mengejek mereka: “kami kejar martabat hingga lebihi malaikat” — semacam karikatur dari kaum muda yang mengejar prestise sosial, bukan emansipasi kolektif. Jalan pendidikan telah berubah jadi jalur pendakian karier, bukan alat pembebasan manusia.
Kekuasaan, Kapitalisme, dan Absennya Jalan Alternatif
Sajak ini seolah memperlihatkan dunia pasca-kebenaran yang penuh kegilaan. Negara, agama, pendidikan, media—semuanya gagal. Yang tersisa hanya para individu yang sibuk menyelamatkan diri masing-masing. Pabrik semen menyekat tanah rakyat, buruh berserikat ditendang aparat, rakyat dikasih zakat agar diam.
Inilah wujud kapitalisme tahap lanjut: saat semua nilai telah diprivatisasi. Tidak ada lagi ruang kolektif. Tidak ada ruang aman untuk berpikir. Semua dijerat algoritma, nominal, dan performa sosial.
Julian Sadam: Penyair Jalanan yang Marah

Dalam bayang-bayang Surabaya yang gaduh dan penuh hiruk pikuk industrialisme, Julian Sadam tampil sebagai semacam penyair jalanan. Ia adalah saksi dari kerusakan sistem, tapi juga bagian dari generasi yang frustrasi dan cerdas. Lirik-liriknya mengandung ledakan amarah, tapi juga kesadaran kelas yang tajam.
Ia tidak memohon perubahan. Ia menggugat. Ia tidak berkhotbah dari podium. Ia mengoceh dari trotoar, dari lapak-lapak rakyat kecil, dari ruang-ruang gelap di mana kata dan beat menjadi alat melawan.
Penutup: Sajak Ini Bukan Sekadar Musik
“Chronical Sarjanal” bukan sekadar lagu. Ia adalah semacam manifesto kaum muda urban yang muak pada sistem. Ia adalah jerit intelektual dari kelas bawah yang menyadari bahwa ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan dari kampus justru membuat mereka jadi budak yang lebih patuh. Bukan pembebas, melainkan perawat status quo.
Dengan pendekatan Marxis dan Cultural Studies, kita bisa melihat bahwa Julian Sadam tidak sekadar merangkai kata, tapi membangun narasi tandingan. Ia merusak tatanan bahasa, mencampur realitas dan metafora, dan memproduksi satu hal yang jarang kita temukan hari ini: musik yang berpikir.
Lirik lagu “Chronical Sarjanal – Julian Sadam”
Chronical Sarjanal
Ini sajak yang tercipta ditengah gempuran deadline/diantara iklan yang berbaris di timeline macam abdomen/ pesan yang tak sekalipun menghuni ruang headline/ domain ketidakwarasan yang kita amini dalam absen/ kuberi flow dengan bisa macam tarantula/ selepas zumi zola dan bolip berbiola/mainkan metafora dengan sedikit hiperbola/ penuhi sample pada track sejenak lupakan sekolah/ mari bicara tentang apa yang kau diskusikan/atau tentang konten basi yang kalian saksikan/ yang masif tersajikan dalam tiap siaran/ portal berita pesanan para birokrat dan tiran/ bangsa mengemis penuhi wareg waras wasis/ trilogi kerakyatan mereka perkosa dengan sadis/ tragis kelompok oportunis kuasai agraris/ sampai habis atas nama bisnis/ jurnalis miskin hipotesis mati nalar kritis/beribu topeng politis ironi bangsa kronis/tumpukan berkas manipulasi dalam jurnal medis/dan kau hanya sibuk dengan rambutmu yang klimis hah!?/ ini sajak yang kuasah dengan waras yang terjaga/ tak berlabel lembaga/petarung yang tangguh pada setiap laga/ catat kupunya kata, bingkai dalam almanak/ kau bisa bagi kau punya simpanan xanax…/ kami sarjanal siap menjilat dengan binal setiap kanal/ sekrup sendi kapital dan mati pada nominal/ sekolah bertahun-tahun kini kami siap terjun/ attitude kami santun nalar kami sekelas pekchun/ berikan sertifikat lulus tahap tuk menjilat/ kongsi jahat birokrat kontraktor bersindikat/ selama kasta terangkat lengkap dengan pangkat, berbalut brokat/ jadi peduli setan pengabdian masyarakat yang jelas sekarat dan masih mabuk zat perekat/ pabrik semen menyekat dan buruh berserikat/ cukup berikan mereka zakat dan tendangan aparat/ kami kejar martabat hingga lebihi malaikat/ otak kami terikat satu saraf dengan pantat/ ilmu yang kami dapat terkikis belerang sulfat/ kepala kami terpahat seperangkat plakat/jalan terus memanjat belok kiri itu sesat/ ya bung! kau tersesat. bangsat.
Be First to Comment