Press "Enter" to skip to content

Amerika Adalah Pecundang Global: Ketika Retorika Trump Membongkar Kepengecutan Sistem yang Mereka Bangun Sendiri

Opini

Tarif impor 32% bukti Amerika takut bersaing. Retorika Trump bukan nasionalisme, tapi kepanikan global. Dunia tak lagi tunduk pada hegemoni AS.


Amerika Pecundang Global: Retorika Trump yang Memalukan

Amerika Serikat—negara yang selama ini mengklaim dirinya sebagai kampiun perdagangan bebas, juru bicara globalisasi, dan garda depan demokrasi ekonomi dunia—hari ini kembali menunjukkan wajah aslinya: pengecut, licik, dan arogan. Keputusan untuk menaikkan tarif impor hingga 32% terhadap produk-produk dari luar negeri bukanlah sekadar kebijakan ekonomi. Ia adalah pengakuan tak langsung bahwa Amerika takut. Takut akan kebangkitan Asia. Takut tak lagi menjadi poros dunia. Takut akan runtuhnya mitos keunggulan ekonomi mereka sendiri.

Melalui Trump, ketakutan itu tampil dalam bentuk yang paling telanjang. Tarif dagang, ancaman embargo, pemaksaan standar ganda, dan isolasi pasar adalah respons reflektif dari imperium yang sedang goyah. Trump bukan nasionalis. Ia bukan pembela Amerika. Ia adalah pecundang global yang mengumbar retorika kejantanan untuk menutupi impotensi struktural ekonomi AS yang telah membusuk dari dalam selama beberapa dekade.

Amerika dan Kebohongan Perdagangan Bebas

Selama bertahun-tahun, Washington menjual mimpi besar bernama “free trade” ke seluruh dunia. Mereka memaksa negara-negara berkembang membuka pasarnya atas nama efisiensi dan kompetisi sehat. Melalui instrumen seperti WTO, IMF, dan Bank Dunia, mereka menyebarkan dogma bahwa liberalisasi ekonomi adalah satu-satunya jalan menuju kemajuan. Negara-negara miskin dijanjikan kemakmuran asal patuh pada aturan main yang katanya “global”.

Tapi aturan main itu tak pernah adil. Ketika negara-negara Asia—dengan kerja keras, inovasi, dan strategi industrialisasi mereka—mulai benar-benar tumbuh dan menyaingi dominasi Barat, terutama AS, Amerika justru mulai menarik rem darurat. Mereka membangun tembok tarif, mengobarkan perang dagang, dan menyebar ketakutan tentang ancaman ekonomi dari Timur. Ironisnya, semua ini dilakukan oleh negara yang dulu bersumpah akan membuka dunia demi perdagangan yang bebas dan terbuka.

Itu bukan sekadar hipokrisi. Itu kepengecutan.

Amerika hanya percaya pada pasar bebas jika mereka yang menang. Tapi saat permainan berubah dan kekuatan ekonomi berpindah poros, mereka tak segan memutarbalikkan papan permainan. Mereka bicara tentang keadilan ekonomi, tapi menerapkan standar ganda terhadap negara yang menolak tunduk. Mereka menyebut negara-negara Asia sebagai manipulator, tapi menutup mata pada subsidi besar-besaran mereka sendiri terhadap sektor strategis.

Trump: Simbol Kebangkrutan Moral dan Ekonomi AS

Donald Trump, dengan segala omong kosong nasionalismenya, adalah produk dari krisis identitas Amerika itu sendiri. Ia hadir bukan sebagai solusi, melainkan sebagai gejala dari kemerosotan panjang. Di tangan Trump, sistem ekonomi global yang dibangun AS selama lebih dari setengah abad akhirnya dipukul balik oleh negara penciptanya sendiri.

Trump menggembar-gemborkan “Make America Great Again” bukan untuk memulihkan supremasi ekonomi, melainkan untuk mengurung Amerika dalam fantasi nostalgia industri abad 20. Ia menarik AS keluar dari perjanjian dagang, meluncurkan tarif terhadap negara-negara mitra, dan memperlakukan kompetitor seperti musuh dalam perang. Dalam logika Trump, perdagangan bukan kerjasama, melainkan kompetisi zero-sum.

Kebijakan tarif 32% hanyalah satu contoh dari banyak kebijakan keji yang bertujuan melindungi pasar domestik AS dari “ancaman” pertumbuhan negara lain. Tapi inilah yang perlu dipahami: tarif itu bukan kebijakan ofensif, melainkan defensif. Ia bukan lambang kekuatan, tapi pengakuan kekalahan. Trump—dan para pendukungnya—tidak percaya Amerika bisa bersaing secara adil di dunia yang berubah. Maka solusinya? Curang.

Tarif impor besar-besaran bukan tanda kemandirian ekonomi. Itu tanda panik. Itu tindakan seorang pecundang yang takut kalah, dan mencoba menurunkan lawannya dengan mengubah aturan di tengah permainan.

Ketika Asia Bangkit, Amerika Ketakutan

Kebangkitan Asia—terutama Cina, India, Vietnam, dan sejumlah negara ASEAN—telah menciptakan lanskap ekonomi baru yang tak lagi menempatkan Amerika sebagai pusat gravitasi tunggal. Negara-negara Asia bukan lagi buruh murah dari pabrik dunia, tetapi produsen teknologi, inovator industri, dan pemain pasar finansial global.

Amerika, tentu saja, tidak senang. Sebab selama ini mereka terbiasa menikmati surplus nilai dari eksploitasi rantai pasok global. Mereka biasa mengimpor murah dan mengekspor mahal. Tapi sekarang, ketergantungan mereka pada produk luar justru menjadi kelemahan. Trump menjadikannya kambing hitam. Dan dengan menaikkan tarif, ia ingin memaksa dunia untuk kembali tunduk pada dominasi dolar dan kuasa Wall Street.

Apa yang dilupakan Trump (dan mungkin sengaja diabaikan) adalah bahwa dunia sudah berubah. Asia hari ini bukan Asia tahun 90-an. Negara-negara berkembang bukan lagi pemain figuran dalam ekonomi global. Mereka punya teknologi, pasar, dan kekuatan diplomatik. Amerika tidak lagi bisa mengancam seenaknya tanpa konsekuensi.

Imperialisme Ekonomi dengan Wajah Baru

Selama dekade terakhir, Amerika mengklaim sedang memerangi imperialisme—katanya, melawan pengaruh Cina, menghadapi ekspansi Rusia, atau menjaga stabilitas dunia. Tapi imperialisme sejati ada dalam kebijakan ekonomi dan sistem perdagangan mereka sendiri. Mereka menuntut negara-negara mematuhi paten dan standar mereka, tetapi bebas mencuri sumber daya dan tenaga kerja murah. Mereka menekan lewat sanksi, tarif, dan manipulasi keuangan global.

Inilah wajah imperialisme modern: tidak lagi memakai senjata dan tank, tapi memakai dolar, data, dan aturan dagang sepihak. Negara-negara yang tak tunduk diancam dikeluarkan dari sistem keuangan global. Negara yang mencoba berdikari dicap anti-demokrasi. Dan setiap bentuk proteksi negara berkembang disebut sebagai intervensi negara yang “tidak sehat”.

Tetapi ketika Amerika melakukannya? Itu disebut perlindungan nasional. Itulah kesombongan sejati: standar ganda yang dipraktikkan oleh negara yang menyebut dirinya pelindung tatanan dunia.

Amerika Takut, Bukan Marah

Jangan salah. Ini bukan kemarahan Amerika terhadap dunia. Ini ketakutan. Mereka takut kehilangan kuasa. Takut sejarah tidak lagi menempatkan mereka sebagai pusat dunia. Takut dunia multipolar akan membuat suara mereka hanya satu di antara banyak, bukan satu-satunya.

Trump hanyalah amplifikasi dari rasa takut itu. Retorika kerasnya tentang imigran, Cina, Meksiko, bahkan negara-negara sekutu Eropa, adalah bentuk paranoia kekuasaan. Ia tahu bahwa Amerika sedang menyusut, dan jalan satu-satunya agar terlihat besar adalah dengan membentak dunia.

Tapi dunia hari ini lebih siap. Negara-negara yang dulu diam, kini menegosiasikan ulang hubungan mereka. Banyak yang mulai menggugat dominasi dolar. Banyak pula yang membangun aliansi perdagangan baru, dari BRICS hingga RCEP. Dunia sedang bergeser. Dan Trump, meski dengan suara lantang, hanya berdiri di tengah reruntuhan sistem yang ia sendiri warisi.

Penutup: Dunia Tak Lagi Butuh Amerika Sebagai Pusat

Amerika telah memperlihatkan bahwa mereka hanya bisa menjunjung tinggi aturan jika aturan itu berpihak pada mereka. Begitu arus mulai berbalik, mereka menjadi negara paling tidak dewasa di meja global. Mereka merajuk, membentak, dan akhirnya mencurangi permainan yang mereka buat sendiri.

Tarif 32% bukan kebijakan ekonomi. Itu manifesto ketakutan. Dan dalam konteks sejarah, ini akan dikenang bukan sebagai langkah besar melindungi Amerika, melainkan sebagai bukti bahwa Amerika tidak bisa menerima kekalahan.

Trump bukan pahlawan nasional. Ia adalah simbol dari sebuah negara yang tak siap menjadi bagian dari dunia yang setara. Ia bukan penjaga perbatasan ekonomi, tapi pecundang global yang berusaha keras untuk tetap relevan dalam sistem yang tak lagi percaya pada mereka.

Dunia sudah bergerak maju. Amerika bisa memilih untuk ikut serta dengan rendah hati atau terus menggali kubur dominasi mereka sendiri dengan kesombongan yang memuakkan.


Catatan Redaksi: Tulisan ini disusun sebagai bentuk perlawanan terhadap narasi global yang timpang dan dominasi ekonomi sepihak dari negara-negara imperialis. Semua pandangan dalam artikel ini bertujuan mendorong pemikiran kritis dan membongkar kemunafikan sistem dagang global yang selama ini dikendalikan oleh kekuasaan, bukan keadilan.


Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *