Citizen | Fotografer : Aldy M Fitrah
Sastrawan dan penggiat teater Totenk MT Rusmawan meluncurkan buku naskah lakon Pramesvari di Cakrawalalata Surabaya. Acara ini dimeriahkan pameran arsip dan panggung apresiasi lintas seni.

“Pramesvari” Dilepaskan ke Dunia: Peluncuran Buku Lakon Totenk MT Rusmawan di Cakrawalalata
Surabaya, 26 Juli 2025 — Sebuah panggung kecil di halaman Ruang Kreatif dan Literasi Cakrawalalata menjadi titik awal dari perjalanan baru naskah lakon Pramesvari, karya Totenk MT Rusmawan. Dalam suasana yang intim namun penuh semangat, peluncuran buku ini menghadirkan tidak hanya sebuah perayaan karya tulis, tetapi juga penegasan bahwa teater, dalam bentuknya yang paling sunyi sekalipun, tetap punya tempat di hati para pelakunya dan para pecintanya.
Totenk, yang dikenal sebagai penggerak Sanggar Lidi Surabaya, tampil dengan gaya khasnya—sederhana namun tegas. Dalam momen simbolis yang terekam dalam dokumentasi, penyerahan secara langsung buku Pramesvari dari Adnan Guntur selaku perwakilam Penerbit kepada Totenk MT Rusmawan sebagai penulis, menandai penerbitan naskah yang telah lama ia rawat. Buku ini diterbitkan oleh Penerbit Lumpur, sebuah rumah penerbitan independen yang kerap memberi ruang bagi karya-karya alternatif, eksperimental, dan kontemplatif.
“Pramesvari adalah lakon yang tidak lahir dari kekosongan. Ia ditulis dalam pergulatan panjang, tentang kuasa, tubuh , dan ingatan yang diwariskan,” ujar Totenk dalam sambutan singkatnya. Tanpa perlu banyak pidato, malam itu menjadi saksi bagaimana sebuah naskah yang sempat tersimpan lama kini bertransformasi menjadi buku yang hidup.

Atmosfer Apresiatif: Dari Buku ke Panggung Kecil
Tak hanya peluncuran buku, malam itu juga diisi dengan berbagai bentuk apresiasi lintas medium. Di panggung kecil yang sederhana namun penuh cahaya hangat, tampil dua seniman yang memainkan komposisi musik karya Totenk sendiri—Mahendra Ardiansyah di piano dan Sesilia Wenas sebagai vokalis. Musik mengalun seperti narasi yang diam-diam mendampingi teks dalam buku, menghadirkan dimensi emosional dari naskah ke ruang publik.
Totenk sendiri juga sempat tampil dalam sesi pembacaan monolog pendek—tanpa properti megah, hanya tubuh, suara, dan kata-kata. Penonton menyimak dengan tenang, sebagian merekam, sebagian lainnya hanya menyimpan dalam kepala.
Di sudut lain, terdapat pameran arsip foto perjalanan Sanggar Lidi, yang menampilkan dokumentasi panggung dari tahun ke tahun. Dinding Cakrawalalata dipenuhi potret suasana pentas, wajah-wajah lama dan baru yang membentuk sejarah kolektif kelompok teater ini. Beberapa pengunjung berhenti lama di depan foto-foto itu, membaca caption, membicarakan latar belakang, dan mengenang—seakan buku yang diluncurkan malam itu bukan hanya produk literer, tapi juga pintu pembuka ingatan bersama.
Penonton yang Merayakan, Bukan Sekadar Menyaksikan
Salah satu kekuatan malam peluncuran Pramesvari adalah keterlibatan aktif audiens. Tak hanya duduk dan menyimak, banyak dari mereka yang juga tampil memberi testimoni, membacakan puisi, hingga berdiskusi informal di sela-sela acara. Terlihat mahasiswa dari komunitas teater kampus, pegiat literasi, hingga pelaku seni visual, semua hadir dalam satu ruang yang terasa cair dan tanpa sekat.

Salah satu penonton yang hadir, Yosua, seorang Musisis indie Surabay, menyebut buku Pramesvari sebagai “naskah yang bernyanyi.” Menurutnya, “Jarang ada peluncuran buku yang terasa seperti ini. Bukan hanya membaca, tapi juga mendengarkan, menyentuh, dan menjadi bagian dari perjalanan naskah itu sendiri.”
Naskah Teater yang Menolak Dibisukan
Sebagai naskah lakon, Pramesvari tidak hanya ditujukan untuk dibaca dalam ruang privat. Ia ditulis untuk tubuh, untuk panggung, dan untuk disuarakan di hadapan publik. Namun, penerbitan buku ini juga menjadi strategi agar teks tidak hanya bergantung pada peluang pementasan. Ia dapat hadir sebagai bahan diskusi, pembelajaran, bahkan inspirasi bagi generasi teater baru.
“Tidak semua lakon harus dipentaskan untuk hidup. Kadang ia harus dibaca dulu, dipahami, lalu menunggu tubuh yang tepat untuk menghidupkannya,” ujar salah satu pembaca naskah dalam acara.
Peluncuran ini juga menjadi semacam “upacara pelepasan”—membiarkan Pramesvari hidup di luar kepala dan laci penulisnya, menjangkau pembaca dan calon sutradara yang mungkin kelak akan memberi bentuk baru atas lakon tersebut.
Sebuah Awal yang Baru
Meski digelar di ruang yang tidak megah, peluncuran Pramesvari membuktikan bahwa sebuah peristiwa sastra bisa tetap kuat dan bergaung, asal ia punya kedalaman makna dan keterhubungan emosional dengan publiknya. Buku ini kini telah terbit, namun perjalanannya baru dimulai—menuju ruang-ruang pembacaan, ruang kelas, komunitas teater, dan mungkin panggung-panggung masa depan.
Totenk dan Sanggar Lidi Surabaya menunjukkan bahwa peluncuran buku bukan sekadar momen selebrasi, melainkan bagian dari kerja kebudayaan yang tak pernah usai. Dan malam itu, di Cakrawalalata, kerja itu dilakukan dengan cinta, dengan ingatan, dan dengan semangat yang masih terus menyala.
Be First to Comment