Opini
Mengungkap sisi tersembunyi dari kasus Sister Hong: penipuan, penyebaran konten tanpa konsensual, dan eksploitasi dalam pusaran kapitalisme digital.
“Sister Hong” dan Distorsi Tubuh di Era Kapitalisme Voyeuristik
Kita hidup di zaman ketika tubuh manusia tak lagi sekadar ruang biologis, tapi menjadi mata uang di pasar digital. Tubuh dijual, ditonton, dimanipulasi, dipermainkan, bahkan dikomersialisasi tanpa batas dan tanpa pertimbangan moral yang utuh. Kasus Sister Hong, seorang laki-laki yang menyamar sebagai perempuan dan menipu lebih dari seribu laki-laki untuk melakukan aktivitas seksual daring lalu mendistribusikannya tanpa konsensual, bukan sekadar kisah kriminal atau kejahatan seksual digital. Ini adalah cerminan lebih dalam dari voyeuristik kapitalisme dan banalitas trauma dalam era konten.
Yang paling menyedihkan dari kasus ini bukan hanya tentang pelaku dan ribuan korban, tapi bagaimana publik memperlakukan cerita ini sebagai bahan olok-olok, meme, konten reaction, atau bahkan bahan ejekan sarkastik terhadap para korban. Di berbagai kanal media sosial, peristiwa ini dipelintir menjadi hiburan: pria-pria yang dianggap “bodoh” karena tertipu kecantikan virtual, dianggap layak ditertawakan karena “nafsu” mereka. Padahal, mereka adalah korban dari sistem yang membuat citra tubuh lebih berharga dari manusia itu sendiri. Ini bukan perkara moral personal semata, tapi tentang bagaimana tubuh manusia direduksi menjadi komoditas—bahkan ketika tubuh itu bukan milik mereka yang menonton.
Dalam situasi ini, kita harus bertanya lebih jauh: mengapa banyak dari kita lebih cepat menertawakan trauma dibanding merenungkannya? Mengapa penderitaan korban, ketika menimpa kelompok yang tak sesuai stereotip “korban ideal”, menjadi lucu, bukan tragis?
Di sinilah letak banalitas trauma. Dalam istilah Susan Sontag, kita kini hidup dalam “society of spectacle”, di mana penderitaan orang lain menjadi visual noise yang menghibur dan memancing sensasi. Trauma kehilangan daya getarnya karena ia terlalu sering disajikan dalam bentuk yang menghibur. Tragedi, kekerasan, pemerkosaan, penipuan, semua itu bukan lagi menjadi alasan untuk merenung dan berubah, tapi menjadi “konten menarik” untuk diproses secara cepat oleh algoritma. Seperti yang dikatakan Zygmunt Bauman, “Dalam masyarakat cair modern, bahkan rasa empati menjadi cair—mudah menguap, dangkal, dan cepat dilupakan.”
Dan lihat bagaimana publik membahas kasus ini: adakah ruang untuk memahami kompleksitas luka? Atau kita hanya sibuk mengejek para korban, atau mengagungkan si pelaku karena kemampuannya “menjebak seribu pria dengan wajah cantik virtual”?
Ironisnya, di tengah keriuhan, Sister Hong sendiri bukan semata pelaku tunggal dalam kejahatan personal, ia juga produk dari dorongan sistemik untuk memonetisasi tubuh dan menciptakan persona digital demi keuntungan. Ia adalah hasil dari sistem kapitalisme digital yang membuka ruang anonim tanpa pengawasan, dan mendorong kreator—siapapun itu—untuk menciptakan konten ekstrem demi klik dan uang. Inilah wajah nyata dari kapitalisme voyeuristik, di mana hasrat seksual dan ilusi citra tubuh menjadi bahan bakar ekonomi daring.
Melalui OnlyFans, kanal berbayar, dan media sosial lainnya, tubuh manusia tak lagi punya batas moral. Ia berubah menjadi produk. Pelaku memanfaatkan kelonggaran hukum dan kehausan pasar terhadap konten seksual—dan mengubah itu menjadi industri skala mikro yang menguntungkan. Tak hanya korban laki-laki yang dipermainkan, tapi juga citra perempuan itu sendiri: tubuh perempuan dikloning, dipalsukan, dijual sebagai ilusi, dan digunakan sebagai alat untuk mempermainkan orang lain. Dalam absurditas ini, tidak ada yang benar-benar selamat. Semua menjadi korban dan sekaligus aktor dalam sistem yang sama.
Kita menyaksikan bentuk baru kekerasan digital yang semakin licik: ia tidak membekas di kulit, tapi meninggalkan luka psikologis dan sosial yang dalam. Para korban kehilangan harga diri, reputasi, dan dalam beberapa kasus, hidup mereka hancur. Namun, masyarakat masih saja memandangnya sebagai skandal konyol, bukan tragedi kolektif.
Bagaimana jika yang menjadi korban adalah seribu perempuan dan pelakunya adalah laki-laki? Apakah respons publik akan sama? Ataukah baru kita bersolidaritas? Pertanyaan ini penting, karena menunjukkan adanya bias dalam empati publik—bahwa korban kekerasan seksual laki-laki masih belum dianggap “serius”. Kita melihat jelas betapa patriarki tidak hanya menyakiti perempuan, tetapi juga laki-laki, terutama saat mereka menjadi korban.
Dalam absurditas itu, pelajaran penting tak bisa diabaikan: bahwa kita semua terjebak dalam labirin ilusi. Teknologi yang membebaskan tubuh juga membelenggunya dalam ilusi visual. Hasrat yang dibentuk oleh estetika digital menjadi ladang penipuan dan manipulasi. Laki-laki menjadi konsumen, perempuan dijadikan citra, pelaku memanipulasi keduanya demi keuntungan. Kapitalisme tidak peduli siapa korban dan siapa pelaku—selama ada trafik, ada uang.
Di titik ini, kita perlu menyebut beberapa suara penting. Simone de Beauvoir pernah menyatakan bahwa, “Tubuh bukanlah takdir,” tetapi hari ini tubuh telah dibuat sebagai takdir, bahkan oleh mereka yang memalsukannya. Foucault juga menekankan bagaimana tubuh menjadi ladang kekuasaan—bukan hanya kekuasaan negara, tapi kekuasaan algoritma, tren, dan hasrat kolektif. Sedangkan Herbert Marcuse sudah memperingatkan sejak lama bahwa industri budaya menciptakan bentuk rekreasi yang meninabobokan dan menyamarkan dominasi sistem.
Dalam konteks ini, Sister Hong bukan hanya cerita kriminal. Ia adalah potret keterpurukan moral yang difasilitasi oleh kapitalisme digital dan disambut hangat oleh budaya pop yang banal. Ia bukan anomali, tapi gejala dari sistem yang rusak.
Apa yang luput dari perbincangan publik adalah bahwa kita semua, sebagai penonton, sebagai pengguna media sosial, sebagai komentator aktif atau pasif, ikut berperan dalam menciptakan panggung ini. Kita membentuk suasana sosial yang menyuburkan eksploitasi tubuh dan kekerasan terselubung, selama itu dapat dikemas secara viral. Kita mengamini bahwa penderitaan hanya berharga jika bisa dikapitalisasi dan dilihat banyak orang.
Sebagai penutup, mungkin kita perlu kembali pada kalimat Walter Benjamin: “There is no document of civilization which is not at the same time a document of barbarism.” Kasus Sister Hong bukan hanya dokumentasi dari kecanggihan era digital, tetapi juga catatan kekejaman baru yang lebih sunyi—karena diselimuti tawa dan likes.
Be First to Comment