Press "Enter" to skip to content

Pajak Media Sosial: Negara Ingin Mencopet Rakyat Lewat Dunia Digital

Opini

Pemerintah berencana mengenakan pajak terhadap media sosial dan aktivitas digital rakyat. Apakah ini solusi atau sekadar pemalakan? Baca kritik tajamnya di sini.


Negara Selalu Punya Cara Baru untuk Mencopet Rakyat: Kini Giliran Media Sosial

Pendahuluan:

Negara seolah tak pernah kehabisan akal untuk mencari celah mengambil uang dari rakyat. Kini, giliran media sosial yang dibidik. Rencana pengenaan pajak terhadap aktivitas digital dan media sosial akan diberlakukan mulai tahun depan. Pemerintah, lewat Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu, menyebut ini sebagai bagian dari perluasan basis pajak dan upaya optimalisasi penerimaan negara.

Tapi yang kami lihat, ini bukan soal memperluas, ini soal menjerat. Rakyat yang sejak awal tidak dilibatkan dalam pembangunan ekonomi digital, kini diminta menyumbang lewat pajak—bahkan dari ruang sosial yang dibangun sendiri oleh rakyat. Media sosial yang seharusnya jadi ruang berekspresi dan bertahan hidup, malah hendak dipajaki. Negara lupa bahwa rakyat bukan sapi perah yang bisa ditarik terus-menerus tanpa diberi pakan yang layak.

Media Sosial Bukan Dompet Negara

Mari kita bicara jujur. Banyak orang hari ini hidup dari media sosial. Ada yang jadi penjual online, ada yang jadi konten kreator, ada juga yang sekadar berjualan makanan lewat status WhatsApp. Mereka bukan korporasi, bukan konglomerat, dan jelas bukan pihak yang selama ini dilindungi oleh undang-undang.

Tapi ketika mereka mulai bisa hidup dari upayanya sendiri, negara malah datang membawa aturan baru: pajak. Ironis, negara yang tidak pernah hadir saat orang-orang kecil belajar bikin konten, jualan daring, hingga ngatur strategi bisnis sendiri—tiba-tiba muncul saat ada peluang cuan.

Media sosial bukan ATM negara. Ia adalah ruang yang rakyat bangun sendiri di tengah mandeknya peluang kerja dan turunnya kualitas hidup. Dan sekarang negara datang sebagai pemungut, bukan pelindung.

Negara Hanya Berani pada yang Lemah

Lucunya, wacana ini muncul setelah keluarnya PMK 37/2025 yang mewajibkan marketplace untuk memungut pajak atas transaksi. Sepertinya pemerintah sedang lapar pemasukan. Anggaran naik, target penerimaan makin tinggi, tapi tidak berani menagih dari perusahaan digital raksasa macam Google, TikTok, atau Meta.

Yang dikejar justru rakyat kecil yang baru bisa bernapas di dunia maya.

Pemerintah seolah tutup mata bahwa perusahaan besar itulah yang menggenggam data rakyat, menggiring iklan miliaran rupiah, dan menjadikan Indonesia sebagai pasar raksasa. Tapi mereka bebas melenggang, karena bisa kabur dari jeratan hukum pajak lintas negara. Akhirnya siapa yang dikejar? Warga biasa yang cuma jualan baju lewat siaran langsung, atau remaja desa yang bikin konten edukasi sambil nyari receh dari adsense.

Ini bukan pajak digital, ini pemalakan digital.

Rakyat Bangun Sendiri, Negara Datang untuk Menagih

Ketika lapangan kerja makin sempit dan harga kebutuhan makin tak masuk akal, rakyat beralih ke media sosial untuk bertahan hidup. Mereka belajar sendiri, bangun jaringan sendiri, dan bertahan dari algoritma yang tak kenal kasihan. Tapi ketika mereka mulai berhasil, negara datang menagih.

Tanpa edukasi, tanpa perlindungan hukum, tanpa subsidi alat produksi—tiba-tiba mereka disuruh bayar pajak. Di sini kita melihat satu hal yang jelas: negara tidak pernah benar-benar ingin rakyat berdaya, tapi hanya ingin rakyat tunduk dan terus menyetor.

Ini bukan sekadar soal pungutan, ini soal prinsip. Negara hanya hadir saat ada potensi keuntungan, tapi hilang ketika rakyat butuh perlindungan.

Apa yang Sebenarnya Dikejar?

Mari kita bertanya lebih dalam: apa motif di balik semua ini? Apa benar demi “optimasi penerimaan negara”? Atau karena pemerintah panik melihat defisit anggaran dan mencari jalan pintas?

Tahun depan, Kementerian Keuangan mengusulkan anggaran sebesar Rp52 triliun, dengan target penerimaan negara dari sektor pajak digital Rp1,99 triliun. Angka ini bukan main-main. Tapi apakah pantas dikejar dengan cara menekan rakyat kecil?

Apakah negara tidak punya cara lain? Apakah korupsi dan kebocoran anggaran sudah dibereskan semua? Kenapa bukan yang mencuri uang rakyat yang dikejar dulu, kenapa justru rakyat yang bertahan hidup yang jadi target pertama?

Inilah ketidakkonsistenan negara yang bikin kami muak. Saat janji kampanye, semua bicara pemberdayaan ekonomi digital, UMKM, kreator lokal. Tapi ketika rakyat mulai berdikari, mereka justru dibungkam dengan aturan baru yang menekan.

Ancaman Bagi Ruang Ekspresi dan Kebebasan Digital

Tak hanya soal ekonomi, pajak media sosial ini juga ancaman bagi kebebasan berekspresi. Jika semua aktivitas digital dinilai dari sisi nilai ekonomi, maka perlahan-lahan negara akan mulai mengatur konten, memantau aktivitas, bahkan membatasi ruang kritik.

Jangan sampai ke depan, cuitan kritis dikenai pajak karena dianggap viral dan menghasilkan. Jangan sampai donasi digital untuk gerakan sosial diseret sebagai objek pajak yang harus dilaporkan. Ini jalan yang berbahaya.

Ruang digital adalah ruang rakyat. Jika negara terus-menerus hadir sebagai aparat penarik pungutan, maka rakyat akan kehilangan satu-satunya tempat bebas yang mereka miliki. Jangan heran jika nantinya rakyat tidak percaya lagi dengan negara yang katanya hadir demi kesejahteraan.

Solusi Bukan Pemerasan, Tapi Keberpihakan

Kalau memang negara butuh dana, kembalilah pada akal sehat. Kejar pajak dari perusahaan besar yang selama ini menikmati fasilitas dan laba dari rakyat Indonesia. Buat sistem yang adil, bukan cuma mudah. Jangan cuma berani pada yang lemah, tapi gemetar di hadapan yang kuat.

Berikan edukasi dan perlindungan dulu bagi pelaku ekonomi digital kecil. Bangun kepercayaan publik dengan transparansi. Jangan asal ambil keputusan yang akan menyulitkan banyak orang.

Kalau negara benar-benar ingin membangun ekonomi digital rakyat, maka langkahnya bukan dengan memungut dulu. Tapi dengan hadir secara nyata: memberikan pelatihan, membangun infrastruktur digital merata, dan memberi insentif pada pelaku kecil. Bukan memalak mereka dengan aturan dadakan.

Penutup: Negara Harus Ingat Siapa yang Dipungut dan Siapa yang Dipertahankan

Kami tidak marah karena ditarik pajak. Kami marah karena pajak yang ditarik selalu dari mereka yang sudah susah payah hidup, bukan dari mereka yang selama ini di atas angin. Kami kecewa karena negara selalu punya alasan untuk menekan rakyat, tapi tak pernah punya nyali menghadapi kapital besar.

Wacana pajak media sosial ini hanya menambah daftar panjang keputusan yang menguras kepercayaan rakyat pada negara. Di saat rakyat belajar bertahan sendiri, negara seharusnya hadir sebagai kawan. Tapi yang kami lihat, negara justru datang sebagai lintah.

Jadi kalau nanti kami menolak, jangan salahkan rakyat. Kami hanya sedang mempertahankan ruang hidup yang tersisa—karena dari negara, yang kami dapat hanya tagihan dan tuntutan.


Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *