Press "Enter" to skip to content

Ketika Rakyat Sadar: Utopia Perlawanan Melawan Kekuasaan dan Dogma Palsu (bagian 3)

Esai

Bayangkan jika seluruh rakyat tertindas sadar bahwa penderitaan mereka bukan kehendak Tuhan, tapi hasil kejahatan sistemik. Esai utopis ini mengurai bagaimana dunia bisa berubah bila rakyat menggugat kekuasaan, agama yang membungkam, dan kapitalisme yang menindas.


Bara Kesadaran yang Membakar Dunia Lama

Maka, bila seluruh rakyat tertindas benar-benar sadar—bukan sekadar mengerti, tetapi merasa dengan seluruh urat nadinya bahwa penderitaan mereka bukan takdir suci melainkan hasil konspirasi kekuasaan dan keserakahan—maka dunia seperti yang kita kenal hari ini akan terbakar. Bukan oleh kebencian buta, tetapi oleh nyala pengetahuan dan dendam yang tercerahkan.

Kita sedang berbicara tentang titik balik sejarah. Titik di mana rakyat berhenti menunduk, dan mulai mendongak dengan mata menyala. Titik di mana tiada lagi tempat bagi elite yang hidup dari hasil peras keringat orang miskin, tiada lagi mimbar suci yang menjadi tempat berlindung para penjilat tiran, tiada lagi penguasa yang menganggap istana sebagai warisan ketuhanan.

Dunia lama—yang penuh kebohongan, tipu daya, dan legitimasi semu—akan terbakar.

Kita akan melihat petani menanam bukan hanya untuk bertahan, tapi untuk merdeka. Buruh memukul mesin bukan karena terpaksa, tapi karena sadar bahwa mereka adalah pencipta kekayaan sejati. Kita akan menyaksikan imam, pendeta, biksu, dan penghayat kepercayaan berdiri bersama rakyat, menggugat penguasa yang telah mencemari nama Tuhan demi tahta. Kita akan mendengar suara-suara perempuan, kaum miskin kota, masyarakat adat, dan kaum terpinggirkan lainnya—yang selama ini dibungkam—akhirnya menggema dan memimpin arus perubahan.

Lalu apa yang terjadi pada penguasa yang lalim?

Mereka akan kehilangan daya sihirnya. Tidak lagi ditakuti, tidak lagi dihormati. Mereka akan melihat bagaimana rakyat yang dulunya diam, kini bicara lantang. Rakyat yang dulunya saling curiga, kini saling peluk. Rakyat yang dulunya menunggu mujizat, kini menjadi mujizat itu sendiri. Mereka akan menyaksikan istana yang sunyi, pasar yang hidup, dan sekolah-sekolah yang mengajarkan keberanian. Mereka akan menyadari, terlambat, bahwa kekuasaan sejati bukan di tangan mereka—tetapi telah berpindah ke tangan rakyat yang terbangun.


Kita akan membangun tatanan baru. Bukan dari abu kekuasaan lama, tapi dari mimpi-mimpi yang pernah coba dipadamkan.

Tatanan baru di mana Tuhan tidak digambarkan sebagai raja tiran, tapi sebagai roh cinta dan keberpihakan kepada yang lemah. Di mana iman tidak lagi menjadi rantai, tapi sayap yang membuat manusia terbang menjangkau kemerdekaan.

Tatanan baru di mana politik tidak menjadi alat tipu daya, tapi ruang musyawarah sejati. Di mana ekonomi bukan ajang eksploitasi, tapi sarana berbagi kehidupan. Di mana rakyat tidak hanya hidup, tapi menghidupi sejarahnya sendiri dengan kepala tegak.


Jangan takut bermimpi tentang dunia ini. Dunia seperti ini bukan mustahil—hanya ditakuti oleh mereka yang hari ini berkuasa.
Sebab mereka tahu: jika kita sadar, mereka runtuh.
Jika kita bergerak, mereka lenyap.
Jika kita bersatu, dunia berubah.

Dan dunia baru itu—ya, ia akan lahir.
Bukan dari revolusi senjata, tapi dari revolusi kesadaran.
Dari api di dada yang menolak tunduk.
Dari bisikan dalam hati yang akhirnya menjadi pekik keras:

“Kami tidak diciptakan untuk menderita. Kami tidak akan lagi diam. Kami tidak akan lagi tunduk!”


Karena di setiap dada manusia tertindas, ada bara yang menunggu tersulut. Dan ketika seluruhnya menyala, tak satu pun tirani akan selamat.


“Pembebasan tidak diberi, ia diambil. Keadilan tidak diminta, ia diperjuangkan. Dan hidup yang layak bukan janji surga, melainkan hak yang harus direbut di bumi.”
— Esai ini adalah seruan. Dan barangkali, awal dari sesuatu yang jauh lebih besar.


Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *