Esai
Fenomena bocah penari Pacu Jalur yang viral membuka wacana baru tentang ekspansi budaya lokal. Dari Sungai Kuantan menuju dunia, ia bukan lagi objek tontonan, melainkan subjek kebudayaan global. Simak analisis mendalamnya di sini.
Bocah Penari Pacu Jalur Viral: Dari Tradisi Lokal Menuju Panggung Budaya Dunia
Pendahuluan
Di atas perahu panjang yang melaju deras di Sungai Kuantan, berdirilah seorang bocah dengan kostum warna-warni, menggoyangkan tubuhnya dengan lincah mengikuti irama genderang. Aksinya bukan hanya menghibur masyarakat lokal, tetapi—dengan rekaman video amatir—menembus batas sungai, desa, bahkan negara. Dalam hitungan hari, aksinya menjadi viral di media sosial global. Ribuan netizen dari berbagai negara meniru gerakannya, membuat video duplikasi, dan memuji ekspresinya yang “raw”, “authentic”, dan “joyful”.
Apa makna dari viralisme seorang bocah penari ini? Apakah ini sekadar hiburan yang kebetulan mencuri perhatian dunia, atau merupakan cerminan dari sesuatu yang lebih dalam: sebuah ekspansi budaya, bentuk baru dari representasi lokal yang tampil di panggung global?
Pacu Jalur dan Latar Budaya Lokal
Pacu Jalur bukan hanya perlombaan dayung tradisional, melainkan sebuah panggung budaya yang kaya simbol, ritus, dan semangat kolektivitas. Bocah penari di ujung jalur bukan penampil tunggal—dia bagian dari orasi visual budaya Melayu Rantau Kuantan, yang berupaya menjaga keterhubungan antara generasi, tanah, dan identitas.
Biasanya, penari anak ini bertugas menghibur, menjaga semangat tim, dan menarik perhatian penonton. Namun di era digital, perannya mengalami mutasi simbolik: dari penjaga tradisi menjadi ikon ekspresi lintas batas.
Viralitas: Ekspansi Budaya Gaya Baru
Dalam istilah Stuart Hall, budaya bukan entitas tetap, melainkan arena produksi makna. Ketika bocah penari ini viral, budaya lokalnya tidak sekadar direpresentasikan ke luar, tetapi ditafsirkan ulang oleh penonton global. Gerak tubuh yang dalam konteks lokal bermakna penghormatan atau semangat komunitas, bisa dimaknai berbeda oleh netizen luar sebagai lucu, unik, atau bahkan eksotis.
Inilah yang disebut sebagai bentuk ekspansi budaya digital, yaitu perpindahan elemen budaya dari satu ruang sosial (lokal) ke ruang global yang cair, viral, dan sering kali mengalami dekontekstualisasi.
Dari Eksotisme ke Panggung Global: Risiko dan Potensi
Fenomena bocah penari Pacu Jalur dapat dilihat sebagai paradoks budaya global. Di satu sisi, kita menyaksikan bagaimana ekspresi lokal memiliki daya tarik universal. Di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa daya tarik itu justru dikonsumsi sebagai komoditas eksotis, bukan dipahami sebagai warisan hidup.
Dalam kajian poskolonialisme, fenomena ini tidak lepas dari bayang-bayang “orientalisme baru”—di mana budaya non-Barat tampil sebagai hiburan visual yang menghibur dunia, tanpa dunia benar-benar memahami kompleksitasnya. Bocah penari itu bisa jadi dilihat sebagai ikon tanpa konteks, simbol dari “keaslian” yang dijual dalam bentuk digital.
Namun, kita juga bisa membacanya secara lebih positif. Ini bisa menjadi peluang untuk merebut kembali narasi budaya lokal: memperkenalkan nilai-nilai kolektifitas, spiritualitas, dan estetika tradisional kepada dunia.
Tubuh Anak, Representasi, dan Politik Identitas
Ketika anak menjadi objek viral, kita juga harus berhenti sejenak dan merenung: siapa yang mengendalikan narasi? Apakah anak itu punya agensi? Atau ia hanya menjadi bagian dari pertunjukan yang diatur oleh orang dewasa, sistem budaya, atau algoritma?
Tubuh si bocah—yang menari tanpa beban, dengan gerak lincah dan ekspresi jenaka—tiba-tiba berubah menjadi arena tafsir publik. Dalam pendekatan psikologi budaya, hal ini bisa memunculkan efek ambivalen: antara kebanggaan (karena dikenal dunia), dan tekanan (karena menjadi tontonan massal).
Negara, dalam hal ini, mestinya hadir bukan sebagai pengklaim budaya, melainkan sebagai penjaga keseimbangan antara pelestarian, perlindungan anak, dan promosi budaya secara beretika.
Dari Objek Menjadi Subjek Kebudayaan Dunia
Viralisme bocah penari Pacu Jalur tak hanya menggeser posisi tubuh lokal ke panggung global, tapi juga menjadi momen penting dalam transformasi peran budaya lokal: dari objek tontonan, menjadi subjek yang menentukan narasi kebudayaan dunia.
Dalam sistem budaya global yang kerap didominasi oleh arus dari Barat ke Timur, Utara ke Selatan, masyarakat lokal seringkali direduksi menjadi “penyedia eksotisme”. Budaya daerah hanya dinikmati karena keunikan bentuk luarnya, bukan karena kedalaman nilai-nilainya. Dalam posisi ini, budaya lokal diperlakukan sebagai objek, yakni entitas pasif yang dilihat, dinilai, dinikmati—tanpa diberi ruang untuk menjelaskan diri.
Namun, ketika bocah penari Pacu Jalur ini menjadi viral bukan karena diarahkan institusi pusat, melainkan melalui jalur organik, partisipatif, dan digital, kita melihat munculnya tanda-tanda perubahan: masyarakat pinggiran menjadi pelaku utama narasi budaya.
Dalam perspektif antropologi dekolonial, ini adalah proses pemulihan posisi kultural masyarakat yang sebelumnya terpinggirkan. Mereka bukan hanya tampil di hadapan dunia, tapi membentuk tafsir atas dirinya sendiri: menentukan gerak tubuhnya, memilih simbol, menolak direduksi.
Yang menarik, viralitas ini juga tidak sepenuhnya dalam kendali institusi negara, pemerintah daerah, apalagi korporasi. Justru ia menyebar secara horizontal melalui media sosial—yang memperlihatkan bahwa subjek kebudayaan bisa tumbuh di luar skema formal dan otoritas budaya.
Bocah penari itu menjadi simbol dari pergeseran kekuasaan budaya: ia bukan bagian dari elite budaya, bukan juru bicara resmi warisan tradisi, bukan representasi yang ditugaskan. Ia adalah tubuh yang hidup dalam tradisi, tetapi juga bebas mengekspresikan makna di luar kerangka konservatif. Dan dalam kebebasannya itu, ia menjadi magnet global—menunjukkan bahwa kekuatan budaya tidak hanya lahir dari warisan, tapi dari vitalitas, spontanitas, dan keberanian menari di atas panggung dunia dengan jati diri sendiri.
Hal ini bisa dipahami sebagai proses subjektivasi budaya, di mana masyarakat lokal tidak lagi hanya mewarisi budaya, tetapi juga mengkonstruksinya, menafsirkannya, dan menawarkannya ke dunia atas nama dirinya sendiri. Mereka menjadi subjek budaya dunia, bukan karena disertifikasi, tetapi karena diakui oleh publik lintas batas, melalui laku tubuh, ekspresi wajah, dan makna gerak yang lahir dari tanahnya sendiri.
Ekspansi Budaya dalam Arus Digital
Ekspansi budaya masa kini tidak lagi membutuhkan penjajahan fisik, atau kanal diplomasi negara. Cukup dengan satu kamera ponsel, satu unggahan TikTok, dan satu hashtag, budaya bisa melampaui batas-batas nasional.
Fenomena bocah penari Pacu Jalur adalah bukti bagaimana budaya minor bisa tampil di mata dunia, melampaui Jakarta, bahkan melampaui peta budaya dominan. Inilah momen yang tepat untuk melihat ulang nilai-nilai lokal, bukan sebagai masa lalu yang statis, tetapi sebagai arsitektur identitas yang dinamis dan terbuka.
Penutup: Dari Viral ke Visioner
Apakah kita hanya akan berhenti di viralisme, atau bergerak ke arah yang lebih visioner? Bocah penari itu telah membuka jalur: bukan hanya jalur air di Sungai Kuantan, tetapi jalur budaya dari pinggiran ke pusat, dari lokal ke global, dari tubuh kecil ke dunia besar.
Kini tugas kita adalah menjaga agar ekspansi budaya ini tidak jatuh dalam kubangan eksotisme, tetapi menjadi pembuka dialog lintas budaya yang sejajar dan saling memahami. Seperti jalur yang terus berpacu, semoga budaya lokal terus bergerak—menari di atas dunia, bukan sebagai tontonan, tetapi sebagai narasi yang hidup.
Be First to Comment