Press "Enter" to skip to content

Jalan Tunjungan: Ketika Kolonialisme Dandan Cantik dan Menyamar Jadi Warisan

Esai

Revitalisasi Jalan Tunjungan Surabaya menampilkan wajah kolonial sebagai heritage. Tapi warisan siapa yang sedang dirayakan? Artikel ini membedah interpretasi heritage dari perspektif eksistensial, komodifikasi, dan kuasa budaya.


Jalan Tunjungan dan Warisan yang Dipalsukan: Kritik atas Interpretasi Heritage Kolonial di Surabaya

Seluruh jalan itu dipoles rapi, bangunan kolonial dirias jadi “estetis”, lampu-lampu malam berkedip meriah, dan kamera-kamera ponsel tak henti menyorot sudut-sudut eksotik. Tapi warisan apa yang sebenarnya sedang kita rayakan di Jalan Tunjungan?

Kota ini, Surabaya, pernah terbakar dalam perang besar melawan kolonialisme. Bukan hanya perang fisik, tapi perang identitas. Tanggal 10 November 1945 bukan sekadar momentum pertempuran, tapi titik di mana rakyat Surabaya—yang sering dipotret sebagai “arek-arek pemberani”—menolak tunduk pada simbol dan struktur penjajahan. Ironisnya, hampir delapan dekade kemudian, simbol-simbol itu berdandan ulang dalam bentuk “heritage tourism” yang cantik, rapi, dan katanya membanggakan.

Salah satu panggung utamanya adalah Jalan Tunjungan. Jalan ikonik ini kini menjadi semacam museum terbuka yang menghidangkan fasad kolonial sebagai destinasi wisata utama. Pemerintah menyebutnya program “Tunjungan Romansa.” Media lokal memujinya sebagai revitalisasi warisan kota. Tetapi mari kita tanya ulang, dengan serius dan tanpa basa-basi: warisan yang mana yang sedang dirayakan di sini?


Dari Fasad ke Identitas: Apakah Warisan Itu?

Dalam buku The Past is a Foreign Country, sejarawan David Lowenthal menyatakan bahwa masa lalu yang kita pilih untuk dirayakan sebagai warisan budaya adalah “interpretasi”—bukan kebenaran absolut. Masa lalu bisa didekorasi, dirias, dan disesuaikan dengan selera zaman dan… kepentingan.

Revitalisasi Jalan Tunjungan memperlihatkan proses itu bekerja nyaris sempurna. Arsitektur kolonial yang dulu dibangun sebagai simbol dominasi—kantor bank Belanda, toko elite untuk warga Eropa, penginapan orang-orang kulit putih—kini tampil sebagai spot foto estetik, latar belakang coffee shop kekinian, dan bingkai dari gerai waralaba.

Masalahnya bukan pada pemugaran bangunan tua. Masalahnya terletak pada interpretasi yang dikukuhkan tanpa kritik: bahwa heritage = kolonial. Bahwa warisan kota = arsitektur Eropa. Bahwa jejak penindasan dapat dirias menjadi tempat nongkrong dan komoditas turisme.

Di sinilah Surabaya mengalami semacam disonansi identitas: kota yang bangga dengan semangat perlawanan kini justru memajang simbol penjajah sebagai “daya tarik utama.” Dalam pandangan Henri Lefebvre, ruang kota adalah arena pertarungan makna: siapa yang mengontrol estetika ruang, mengontrol pula kesadaran kolektif masyarakat.


Warisan Lokal yang Dipinggirkan

Warisan sejati Surabaya bukanlah pilar dan plester kolonial, melainkan semangat budaya rakyatnya. Ludruk, tari remo, bahasa Suroboyoan, dan sikap egaliter menjadi warisan non-fisik yang justru tak punya tempat di koridor Tunjungan hari ini.

Dalam perspektif eksistensial, warisan budaya semestinya menjadi jembatan antara identitas masa lalu dan keberadaan kita hari ini. Seperti dijelaskan oleh Paul Ricoeur, memori kolektif adalah fondasi dari rasa kebersamaan dan kontinuitas. Maka, apakah Jalan Tunjungan sebagai ruang wisata hari ini masih mampu menyalurkan rasa “Surabaya” itu?

Tanpa seni ludruk, tanpa komunitas tari, dan tanpa ruang bagi pelaku budaya tradisional, jawabannya adalah: tidak. Jalan Tunjungan yang kini kita lihat adalah ruang yang dikontrol oleh estetika global—bukan oleh kearifan lokal.

Jl. Tunjungan, Surabya dimalam hari

Komodifikasi yang Salah Alamat

Fenomena Jalan Tunjungan tidak berdiri sendiri. Kita bisa melihat gejala serupa di Kota Lama Semarang dan Braga Bandung. Di Semarang, bangunan peninggalan VOC dipugar dan dipasangi lampu sorot. Tapi ruang publik yang dibuka lebih ramah kepada kafe dan restoran franchise, bukan pelaku budaya lokal. Di Braga, kawasan heritage yang dulu menjadi arena seni dan pergerakan, kini berubah menjadi etalase fashion vintage dan bisnis modern yang homogen.

Dalam semua kasus ini, terlihat satu pola: heritage dijadikan komoditas visual, bukan ruang hidup budaya. Warisan dipilih berdasarkan nilai jualnya, bukan nilai sejarah sosialnya.

Kondisi ini mengingatkan kita pada peringatan Pierre Nora dalam konsep lieux de mémoire (tempat memori): saat ruang-ruang budaya direduksi menjadi lokasi konsumsi, yang terjadi bukan pelestarian memori, tetapi penggantiannya dengan memori semu.


Siapa yang Berhak Menentukan Warisan?

Pertanyaan kunci dalam wacana heritage adalah: siapa yang menentukan apa yang layak disebut warisan?

Laurajane Smith dalam The Uses of Heritage menyebut bahwa warisan bukan hanya benda atau tempat, tetapi praktik sosial yang penuh dengan ketimpangan kekuasaan. Ia mengatakan bahwa “authorized heritage discourse” (AHD) sering dikendalikan oleh elit—pemerintah, korporasi, arsitek, dan ahli warisan formal—yang menetapkan apa yang dianggap berharga dan apa yang tidak.

Jalan Tunjungan, dengan revitalisasi yang didominasi oleh estetika kolonial dan narasi turisme, adalah contoh dari AHD itu. Warga lokal, budayawan, dan seniman tradisi nyaris tak diberi tempat dalam proses perencanaan. Publik hanya menjadi pengunjung—bukan subjek aktif dalam pewarisan nilai.

Michel de Certeau menyebut hal ini sebagai “konsumsi ruang yang disusun oleh kuasa produksi.” Dalam hal ini, Jalan Tunjungan adalah ruang yang ditata untuk dikonsumsi secara pasif, bukan untuk dihidupi secara kritis.

suasan Jl.Tunjungan, Surabaya

Masa Lalu yang Dandanan, Masa Depan yang Terlupa

Dalam satu wawancara, seorang pejabat kota menyebut bahwa revitalisasi ini adalah bentuk kemajuan. Bahwa heritage harus “ramah wisatawan dan milenial.” Pernyataan ini terdengar masuk akal… sampai kita sadar bahwa “heritage” yang dimaksud hanya mencakup bangunan kolonial, bukan budaya rakyat.

Danny Porcello menyebut model ini sebagai “heritage tanpa komunitas.” Ketika warisan dilepaskan dari masyarakat yang menciptakannya, ia berubah menjadi artefak estetis yang tak lagi punya makna. Seperti museum yang indah, tapi sunyi.

Apakah ini warisan yang kita ingin teruskan? Kota yang dulu dijuluki “Kota Pahlawan” justru memajang wajah kolonialisme sebagai ciri visualnya hari ini. Ini seperti seseorang yang mencium tangan penjajah karena desain seragamnya dianggap fashionable.


Jejak Luka di Tunjungan: Ingatan yang Tidak Dikenang

Sebelum menjadi koridor “romantis” yang dipenuhi lampu hias dan mural estetik, kawasan Tunjungan adalah saksi bisu kekerasan kolonial dan perjuangan rakyat. Banyak dari bangunan yang kini dilestarikan dengan penuh kebanggaan adalah bagian dari sistem ekonomi-politik kolonial: toko milik pengusaha Eropa, hotel tempat berkumpulnya pejabat Hindia-Belanda, serta kawasan perdagangan yang menyingkirkan akses ekonomi masyarakat lokal.

Menurut catatan sejarah lokal, bentrokan antara pemuda Surabaya dan pasukan Sekutu di sekitar Hotel Yamato (sekarang Hotel Majapahit) pada 19 September 1945 adalah salah satu titik balik. Bukan hanya soal perobekan bendera, tetapi tentang perlawanan atas simbol kuasa kolonial yang berusaha kembali menduduki ruang yang telah diperjuangkan rakyat.

Namun saat ini, banyak narasi sejarah itu direduksi menjadi cerita patriotik ringan yang dipasarkan dalam brosur wisata. Memori luka, konflik, dan resistensi perlahan dihapus, digantikan oleh narasi “damai dan romantis” demi menunjang iklim bisnis.

Seperti yang dikatakan oleh Andreas Huyssen, dalam bukunya Present Pasts: Urban Palimpsests and the Politics of Memory, kota-kota yang pernah mengalami kolonialisme kerap menghadapi tekanan untuk mengubah tempat ingatan menjadi tempat hiburan. Dalam proses ini, luka sejarah tidak dipulihkan, melainkan diselimuti oleh estetika visual dan wisata selfie.


Studi Banding Internasional: Belajar dari Kota-Kota Dunia

Beberapa kota di dunia yang juga mengalami warisan kolonial memilih pendekatan yang lebih kritis dalam mengelola heritage. Mereka tidak serta-merta merayakan peninggalan kolonial sebagai kebanggaan estetika, melainkan berupaya menyandingkannya dengan narasi lokal yang kuat, bahkan trauma sejarah.

1. Cartagena, Kolombia

Cartagena adalah kota pelabuhan penting dalam sejarah kolonial Spanyol di Amerika Selatan. Pemerintah lokal memugar benteng dan kota tuanya, namun tak berhenti pada perbaikan fisik. Mereka mengembangkan program museum terbuka yang memuat sejarah perbudakan, perdagangan manusia, dan pembantaian etnis lokal. Di banyak sudut kota, pengunjung tidak hanya melihat arsitektur Eropa, tapi juga membaca kisah rakyat Afro-Kolombia yang membangun kota itu dengan darah dan keringat.

Cartagena mengajarkan bahwa heritage bukan hanya soal tampilan, tapi juga pengakuan terhadap luka kolektif.

2. Hanoi, Vietnam

Vietnam, seperti Indonesia, pernah dijajah oleh Prancis. Di Hanoi, bangunan kolonial banyak yang masih berdiri: bekas kantor pos, sekolah, hingga hotel. Namun banyak dari bangunan ini kini digunakan sebagai pusat seni, tempat belajar sejarah, atau kantor komunitas budaya. Pemerintah setempat bekerja sama dengan seniman dan sejarawan lokal untuk mengisi ruang-ruang itu dengan konten kritis, bukan sekadar bisnis.

Pendekatannya adalah reapropriasi—pengambilalihan simbol kolonial oleh masyarakat, agar menjadi alat pendidikan, bukan dominasi.

3. George Town, Malaysia

George Town di Pulau Penang telah ditetapkan UNESCO sebagai warisan dunia. Banyak bangunan kolonial di kota ini dirawat, namun secara bersamaan juga dipadukan dengan heritage budaya lokal, seperti street art bertema Hokkien, Melayu, dan India. Pemerintah lokal memfasilitasi seni jalanan yang menggambarkan kisah warga biasa, bukan elit kolonial. Ada pula upaya menjaga keberadaan pasar rakyat, warung, dan rumah tradisional agar tidak tergilas gentrifikasi.

George Town menunjukkan bahwa warisan kolonial bisa hidup berdampingan dengan identitas lokal—asal kekuasaan naratif ada di tangan warga.

Mengapa Surabaya Perlu Belajar dari Ini?

Jalan Tunjungan bisa saja menjadi pusat budaya rakyat. Fasad kolonial bisa tetap berdiri, namun isi, narasi, dan fungsi sosialnya harus bergeser dari sekadar spot estetik menjadi ruang edukasi dan partisipasi.

Jika Cartagena bisa menjadikan warisan kolonial sebagai pengingat luka perbudakan, mengapa Surabaya tak bisa menjadikan Tunjungan sebagai ruang edukasi tentang kolonialisme dan perjuangan rakyat 1945?

Jika George Town bisa merawat warisan arsitektur sambil merayakan seni komunitas, mengapa Tunjungan justru dipenuhi kafe franchise yang tak mencerminkan cita rasa lokal?

Jika Hanoi bisa menjadikan bekas kantor kolonial sebagai pusat pembelajaran sejarah nasional, mengapa Surabaya justru menyulap bangunan tua jadi etalase dagangan yang hampa makna?

Kita sering terjebak dalam romantisasi heritage tanpa mengajukan pertanyaan: heritage siapa? untuk siapa? dan untuk apa? Inilah saatnya interpretasi ulang dilakukan.


Merebut Kembali Narasi: Jalan Masih Panjang

Tentu, revitalisasi tak selalu keliru. Tapi harus kita sadari bahwa interpretasi heritage bukan tindakan netral. Ia melibatkan pilihan-pilihan ideologis. Maka interpretasi itu harus bisa dikritik, dibuka, dan—jika perlu—direbut kembali oleh komunitas.

Kota Surabaya bisa memulai dengan:

  • Membuka ruang budaya di Jalan Tunjungan yang menampilkan ludruk, keroncong, jula-juli, hingga kuliner rakyat.
  • Membuat program edukasi sejarah kritis, bukan romantisme kolonialisme.
  • Memberikan ruang ekonomi kepada UMKM berbasis budaya lokal, bukan hanya estetika global.
  • Menjadikan narasi perjuangan sebagai wajah utama—bukan hanya visual kolonial.

Sejarah bukan dinding tua yang dipoles. Ia adalah narasi yang hidup, dan karenanya harus dimiliki bersama.


Warisan Bukan Pajangan, Tapi Perjuangan

Apa yang terjadi di Jalan Tunjungan bukan semata soal estetika. Ini soal siapa yang berhak menentukan masa lalu, dan masa depan, kota ini. Apakah kita ingin menjadi kota yang hanya menampilkan “kulit warisan”, atau kota yang berani menghadirkan nilai-nilai rakyat dalam ruang publik?

Jika heritage hanya menjadi latar selfie dan objek dagangan, maka kita sedang menjual kenangan. Tapi jika heritage dijadikan ruang refleksi, ruang budaya hidup, dan ruang partisipatif, maka ia akan menjadi bagian dari perlawanan kita hari ini: melawan pelupaan, melawan estetika palsu, dan melawan penjajahan yang berganti rupa.


Heritage bukan soal bangunan tua. Tapi soal siapa yang masih menghidupi nilai-nilai yang pernah diperjuangkan.


Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *