kolom opini

Aktivisme seharusnya lahir dari kesadaran, bukan dari kepentingan sesaat. Ia adalah gerakan yang bertumpu pada keberanian moral, analisis kritis, dan keberpihakan terhadap realitas sosial yang tertindas. Namun, dalam dinamika sosial-politik yang semakin kompleks, muncul fenomena yang merusak esensi aktivisme itu sendiri: oportunisme. Oportunisme dalam aktivisme bukan sekadar sikap pragmatis, tetapi bentuk ketidakjujuran intelektual yang lahir dari kecacatan dalam menalar keadaan serta kedangkalan berpikir dalam memahami substansi perjuangan.
Fenomena ini menjelma dalam berbagai wajah, mulai dari aktivis yang hanya muncul di momen-momen strategis demi kepentingan pribadi, hingga mereka yang mengatasnamakan perjuangan rakyat tetapi secara sadar tunduk pada kepentingan modal atau kekuasaan. Para oportunis ini sering kali hadir sebagai pihak yang lantang bersuara, tetapi tidak memiliki akar yang kuat dalam realitas sosial yang mereka klaim bela. Mereka menjadikan aktivisme sebagai panggung, bukan sebagai medan perjuangan.
Aktivisme yang Kehilangan Substansi
Oportunisme dalam aktivisme dapat dilihat dari kecenderungan banyak kelompok yang lebih sibuk membangun citra dibandingkan dengan memahami realitas sosial secara mendalam. Mereka memilih narasi yang mudah dikonsumsi publik, menyesuaikan retorika agar menarik bagi media, dan pada akhirnya, berorientasi pada eksistensi kelompok dibandingkan pada penyelesaian masalah sosial yang konkret.
Aktivisme jenis ini kehilangan karakter radikalnya. Bukan dalam arti kekerasan, tetapi dalam makna etimologisnya: menyentuh akar masalah. Mereka tidak lagi mempertanyakan sistem yang menindas, tetapi hanya berkutat dalam isu-isu permukaan yang dapat mendongkrak popularitas mereka. Jika ada isu yang sedang viral, mereka segera merapat ke sana, tetapi tanpa kedalaman analisis dan tanpa komitmen jangka panjang.
Ini bukan hanya problem etika, tetapi juga problem epistemologi. Oportunisme dalam aktivisme menunjukkan kelemahan dalam cara berpikir dan cara memahami keadaan. Alih-alih melihat masalah sebagai sesuatu yang berakar pada sistem sosial, ekonomi, dan politik, mereka menghadapinya dengan logika instan, solusi pragmatis yang dangkal, dan terkadang bahkan dengan pendekatan yang sama eksploitatifnya dengan yang mereka kritik.
Kegagalan Menalar Keadaan
Salah satu aspek mendasar dari aktivisme yang sehat adalah kemampuan membaca realitas dengan akurat. Namun, aktivisme oportunis gagal dalam aspek ini. Mereka tidak memiliki pijakan teori yang kuat, tidak memahami sejarah gerakan sosial, dan sering kali hanya mengulang jargon tanpa pemahaman yang memadai.
Misalnya, ketika membicarakan ketimpangan sosial, aktivis oportunis mungkin hanya menyalahkan individu atau kelompok tertentu tanpa melihat struktur yang lebih besar. Mereka menempatkan diri sebagai moral tinggi, tetapi dalam praktiknya, mereka justru mereproduksi sistem yang sama dengan cara yang lebih halus. Alih-alih membangun kesadaran kolektif yang transformatif, mereka hanya menciptakan siklus perdebatan yang dangkal.
Hal ini juga terlihat dalam cara mereka menanggapi kritik. Aktivisme yang sejati terbuka terhadap perdebatan intelektual dan evaluasi diri, sementara aktivisme oportunis cenderung defensif, menyerang lawan diskusi dengan serangan pribadi atau retorika populis yang menghindari substansi. Bagi mereka, mempertahankan citra lebih penting daripada mencari kebenaran.
Dampak Oportunisme terhadap Gerakan Sosial
Salah satu konsekuensi paling berbahaya dari aktivisme oportunis adalah delegitimasi gerakan sosial itu sendiri. Ketika aktivisme tidak lagi didasarkan pada pemikiran yang tajam dan komitmen jangka panjang, masyarakat akan kehilangan kepercayaan pada perjuangan itu. Mereka akan melihat aktivisme sebagai sekadar alat bagi individu atau kelompok tertentu untuk meraih kekuasaan, popularitas, atau keuntungan ekonomi.
Lebih jauh, oportunisme menciptakan fragmentasi dalam gerakan sosial. Karena motivasi mereka bukan perubahan struktural yang nyata, tetapi lebih kepada keuntungan jangka pendek, mereka cenderung berkonflik dengan sesama aktivis yang memiliki komitmen lebih tulus. Perpecahan ini melemahkan kekuatan kolektif dan memperkuat status quo, karena perjuangan menjadi lebih terfragmentasi dan lebih mudah dikendalikan oleh kekuatan yang lebih besar.
Menolak Kedangkalan, Membangun Kesadaran
Menghadapi aktivisme oportunis bukan sekadar mengkritik individu atau kelompok tertentu, tetapi membangun kembali kesadaran kritis yang menjadi fondasi dari gerakan sosial yang sejati. Ini berarti mendekati isu sosial dengan analisis yang mendalam, berbasis data, teori, dan sejarah. Ini juga berarti membangun gerakan yang tidak hanya berorientasi pada citra atau momen viral, tetapi memiliki strategi jangka panjang yang jelas dan solid.
Kesadaran kritis ini juga harus diwujudkan dalam praktik. Aktivisme yang sejati tidak hanya berbicara, tetapi juga bertindak secara nyata di komunitas. Ia tidak hanya menuntut perubahan dari sistem, tetapi juga melakukan perubahan dalam cara berpikir, berorganisasi, dan berinteraksi dengan masyarakat.
Maka, bagi siapa pun yang mengaku sebagai aktivis, pertanyaan reflektif yang harus selalu diajukan adalah: apakah perjuangan ini benar-benar untuk perubahan, atau hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompok? Jika yang kedua lebih dominan, maka aktivisme itu telah kehilangan jiwanya.
Be First to Comment