Press "Enter" to skip to content

Islam VS Kapitalisme: Perlawanan yang Masih Bertahan Saat Revolusi Lain Kehilangan Nafasnya

Di saat komunisme runtuh dan anarkisme kehilangan arah, Islam tetap menjadi sistem nilai yang konsisten menolak kapitalisme bukan dari aspek ritual, tapi melalui prinsip sosial dan ekonomi yang bisa diterapkan siapa pun. Baca analisis kritis dan faktualnya di sini.


Islam Melawan Kapitalisme: Alternatif Sistemik Saat Komunisme dan Anarkisme Mandek

Ketika Uni Soviet runtuh pada tahun 1991, dunia menyaksikan bukan hanya berakhirnya satu negara adidaya, tapi juga robohnya imajinasi kolektif akan sistem alternatif dari kapitalisme global. Bersama dengan keruntuhan itu, komunisme sebagai gerakan sistemik yang sebelumnya menjadi poros perlawanan terhadap kapitalisme mengalami pembusukan ideologis, birokratisasi gerakan, dan kekalahan historis yang menyedihkan. Sementara itu, anarkisme  yang pernah menjadi bara revolusi jalanan dari Barcelona hingga Chicago justru tercerai-berai dalam fragmentasi identitas dan ketidaksanggupan menemukan tubuh revolusioner yang kokoh menghadapi wajah kapitalisme modern yang semakin kompleks, cair, dan menyesap ke dalam seluruh aspek kehidupan manusia.

Namun ada satu bentuk perlawanan yang tak pernah benar-benar padam, yang tidak mengalami pergeseran besar dalam prinsip dan orientasinya: Islam – bukan sebagai institusi keagamaan formal, tetapi sebagai sistem budaya, nilai, dan praksis hidup yang secara historis dan kontemporer menolak totalitas dominasi kapital.

Ini bukan pernyataan religius atau glorifikasi spiritual. Ini adalah pengamatan sosiologis dan historis tentang bagaimana, dalam banyak medan konflik, sistem nilai Islam tetap menjadi oposisi organik terhadap ekspansi kapitalisme global dari bentuk neoliberalnya yang menghisap sumber daya hingga imperialismenya yang memanipulasi kedaulatan.


Islam sebagai Sistem Perlawanan: Dari Nabi Muhammad SAW ke Gerakan Kontemporer

Sejak awal kemunculannya, ajaran Islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW di abad ke-7 merupakan bentuk pembebasan struktural terhadap tatanan ekonomi yang eksploitatif. Di tengah gurun Mekah yang dikuasai oleh oligarki dagang Quraisy, Islam datang bukan hanya dengan ajaran tauhid, tapi juga membawa kritik tajam terhadap ketimpangan sosial, penindasan buruh, praktik riba, dan akumulasi kekayaan yang tidak adil. Konsep zakat, larangan riba, hak atas distribusi harta melalui warisan dan wakaf, serta dorongan untuk mendahulukan kepentingan ummat di atas individu, semua itu adalah substansi anti-kapitalis bahkan sebelum kapitalisme sebagai sistem mapan lahir.

Perlawanan Nabi Muhammad bukan hanya spiritual. Ia politis, ekonomi, dan militer. Negara Madinah sebagai bentuk awal institusi Islam memperlihatkan model komunitas yang kolektif, egaliter, dan berorientasi pada keadilan sosial, dengan menolak akumulasi modal oleh segelintir elit. Inilah awal dari sebuah sistem nilai yang akan terus menjadi alternatif dari sistem ekonomi eksploitatif sepanjang sejarah.


Saat Komunisme Membusuk dan Anarkisme Mengambang

Pasca Perang Dunia II, dunia seakan terbagi dalam dua kutub besar: kapitalisme yang dipimpin Amerika Serikat dan komunisme yang dikomandoi Uni Soviet. Selama beberapa dekade, komunisme tampil sebagai antitesis dari sistem kapitalisme. Namun, sebagaimana dikritik oleh banyak pemikir kiri sendiri seperti Cornelius Castoriadis atau Raya Dunayevskaya, komunisme versi Soviet bukanlah emansipasi sejati, melainkan sekadar negara birokratis yang mengganti borjuasi dengan negara sebagai pemilik alat produksi. Ketika Uni Soviet runtuh, maka runtuh pula kepercayaan dunia terhadap kemungkinan sosialisme negara sebagai alternatif kapitalisme.

Anarkisme yang seharusnya menjadi jalan ketiga, kini menghadapi masalah serius: tidak adanya strategi jangka panjang dan fragmentasi internal yang justru menyatu dengan logika pasar. Banyak gerakan anarkis kini lebih sibuk dengan simbolisme, budaya alternatif, dan proyek otonom mikro tanpa menyentuh struktur sistemik. Dalam konteks inilah, kapitalisme tidak menemukan lawan tangguh yang mampu menyajikan sistem tandingan yang solid – kecuali Islam dalam wujudnya yang tidak terkooptasi.


Konsistensi Islam dalam Melawan Kapitalisme Global

Dari Iran pasca-revolusi 1979 yang menumbangkan monarki pro-Amerika hingga gerakan-gerakan Islam di Palestina, Lebanon, Irak, dan bahkan Afrika Utara, kita menyaksikan Islam – dalam berbagai tafsirnya tampil sebagai kekuatan yang konsisten menolak dominasi modal asing dan ekspansi kapitalisme global. Di Palestina, misalnya, Hamas yang kerap dicap teroris oleh Barat, sebenarnya mewakili bentuk perlawanan rakyat tertindas atas kolonialisme dan kapitalisme yang dijalankan oleh Israel sebagai proyeksi kepentingan korporasi global dan militerisme.

Di Libanon, Hizbullah menjadi kekuatan sosial yang tidak hanya bertempur dengan senjata, tetapi juga membangun jaringan rumah sakit, sekolah, dan layanan sosial yang menggantikan peran negara neoliberal yang gagal. Bahkan di kawasan Afrika seperti Somalia, Mali, dan Sudan, kelompok-kelompok Islam sering kali mengambil alih fungsi sosial dari negara yang telah dikorupsi oleh kekuatan pasar dan kekuasaan asing.

Apakah ini berarti semua gerakan Islam tanpa cela? Tentu tidak. Ada kelompok-kelompok reaksioner yang mencatut nama Islam untuk kepentingan kekuasaan dan kekerasan. Namun, dalam keseluruhan konteks global, Islam tetap menjadi satu-satunya ideologi transnasional yang memiliki basis massa nyata, jaringan nilai, dan perangkat hukum serta moral untuk menolak dominasi kapitalisme.


Warisan Sosial-Ekonomi Nabi Muhammad SAW: Nilai yang Melampaui Sekat Keagamaan

Salah satu kekeliruan paling umum dalam membaca Islam adalah menyempitkannya semata sebagai agama dalam pengertian ritualistik padahal ajaran Nabi Muhammad SAW justru menawarkan warisan sistemik yang sangat luas dalam ranah sosial, ekonomi, dan politik. Nilai-nilai tersebut bukan hanya milik eksklusif umat Islam, melainkan bisa – dan seharusnya dibaca sebagai inspirasi universal yang relevan bagi siapa pun yang mendambakan masyarakat adil dan seimbang, terlepas dari latar belakang agama atau keyakinan.

Warisan Nabi Muhammad SAW dalam bidang ekonomi dan sosial mencerminkan prinsip-prinsip keadilan distributif, anti-eksploitasi, solidaritas sosial, dan kepedulian terhadap yang lemah. Dalam sejarahnya, beliau menghapus sistem riba, memberlakukan hak kepemilikan kolektif atas sumber daya publik, dan mendorong distribusi kekayaan melalui zakat, infak, dan wakaf. Konsep-konsep ini, jika kita lepas dari kerangka ritual keagamaannya, sebenarnya sejalan dengan upaya-upaya kontemporer membangun ekonomi alternatif  mulai dari ekonomi solidaritas, koperasi rakyat, hingga sistem distribusi berbasis keadilan sosial yang saat ini ramai diperjuangkan oleh banyak komunitas di seluruh dunia.

Dalam pengelolaan komunitas, Nabi membentuk tatanan Madinah sebagai masyarakat multikultural yang tidak dibangun atas dasar agama tunggal, tetapi pada konsensus dan perjanjian sosial (Piagam Madinah) yang menjamin hak-hak berbagai kelompok termasuk Yahudi dan penyembah berhala untuk hidup berdampingan secara adil. Ini menunjukkan bahwa sistem Islam dalam dimensi sosialnya tidak eksklusif, melainkan dapat menjadi acuan dalam membangun masyarakat yang adil dan setara, bahkan bagi mereka yang tidak secara teologis mengidentifikasi sebagai Muslim.

Oleh karena itu, ketika kita membicarakan Islam sebagai perlawanan terhadap kapitalisme, kita tidak berbicara tentang kewajiban menjadi Muslim secara ritual, tetapi tentang kemungkinan mengadopsi nilai-nilai Islam sebagai kerangka etik dan praksis untuk menata ulang kehidupan sosial-ekonomi yang kini tercekik oleh logika akumulasi kapital. Sama seperti orang bisa belajar dari nilai-nilai Marxisme tanpa menjadi Marxis dogmatis, atau terinspirasi oleh anarkisme tanpa harus menolak negara sepenuhnya, maka nilai-nilai sosial dalam Islam pun terbuka untuk diterapkan secara luas oleh siapa pun yang menghendaki keadilan, distribusi sumber daya yang setara, dan pembebasan rakyat dari eksploitasi sistemik.


Islam, Kapitalisme, dan Perang Narasi

Selain konfrontasi fisik, perlawanan Islam terhadap kapitalisme juga berlangsung di medan narasi dan budaya. Kapitalisme modern bukan hanya sistem ekonomi, tapi juga ideologi kehidupan: ia menawarkan gaya hidup, membentuk keinginan manusia, bahkan memetakan makna kebahagiaan dalam bingkai konsumsi. Dalam hal ini, Islam menolak logika konsumtif itu dengan membentuk identitas kolektif yang berorientasi pada ukhuwah, kesederhanaan hidup, dan tanggung jawab sosial.

Tak heran jika media Barat sebagai alat ideologis kapitalisme terus membentuk Islam sebagai ancaman. Istilah seperti “radikalisme”, “terorisme”, atau “fundamentalisme” seringkali digunakan secara general untuk mendeligitimasi bentuk-bentuk perlawanan Islam, padahal seringkali perlawanan itu adalah reaksi terhadap kolonialisme ekonomi dan politik yang nyata.


Kesimpulan: Melampaui Sekat Religius, Melihat Fakta Historis

Artikel ini tidak ditulis untuk membela agama tertentu atau menyerang yang lain. Bukan pula bagian dari wacana sektarian yang mencoba mempolitisasi iman. Yang ingin digarisbawahi adalah: dalam realitas historis dan kontemporer, ketika komunisme telah runtuh dan anarkisme kehilangan arah, Islam dalam wujudnya sebagai sistem nilai dan praksis sosial-politik masih berdiri sebagai benteng terakhir yang mampu menolak kapitalisme dalam seluruh wujudnya, dari pasar modal hingga imperialisme budaya.

Tentu Islam sebagai kekuatan perlawanan tidak hadir dalam bentuk tunggal. Ia kompleks, penuh kontradiksi, dan tidak lepas dari tantangan internal. Namun, keteguhan sistem nilainya, kesinambungan historisnya, dan daya tariknya di kalangan rakyat tertindas menjadikannya satu-satunya ideologi yang secara global masih mampu mempertahankan perlawanan kolektif terhadap kapitalisme global.

Dalam dunia yang semakin dikendalikan oleh pasar, Islam  meski bukan tanpa cacat tetap menyala sebagai bara yang belum padam. Dan kita, yang mendamba dunia yang adil, tak bisa menutup mata terhadap fakta ini.


Referensi dan Catatan Tambahan:

  • Olivier Roy, Globalized Islam: The Search for a New Ummah (2004)
  • Edward Said, Covering Islam (1981)
  • Cornel West, Democracy Matters (2004)
  • Noam Chomsky, Hegemony or Survival (2003)
  • Hamid Dabashi, Islamic Liberation Theology: Resisting the Empire (2008)

Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *