Bayangkan jika seluruh rakyat tertindas sadar bahwa penderitaan mereka bukan kehendak Tuhan, tapi hasil kejahatan sistemik. Esai utopis ini mengurai bagaimana dunia bisa berubah bila rakyat menggugat kekuasaan, agama yang membungkam, dan kapitalisme yang menindas.

Ketika Rakyat Sadar: Utopia Perlawanan Melawan Kekuasaan dan Dogma Palsu
“Ketika penderitaan tidak lagi diterima sebagai takdir ilahi, melainkan sebagai hasil dari penindasan sistematis, maka dunia seperti yang kita kenal takkan lagi sama.“
—
Pendahuluan: Antara Langit dan Lumpur
Sepanjang sejarah, umat manusia selalu berada di persimpangan antara menatap langit dan terjebak dalam lumpur realitas. Ketika gempa menghancurkan rumah, ketika perut-perut lapar menangis sepanjang malam, ketika tangan-tangan lemah terpaksa menadah demi sesuap nasi, ada satu narasi yang terus bergaung dari mimbar ke mimbar, dari teks suci hingga nasihat orang tua: “Ini ujian dari Tuhan.” Seolah-olah seluruh kesengsaraan harus ditelan sebagai bagian dari takdir ilahi.
Namun bagaimana jika dalam sekejap kesadaran kolektif seluruh rakyat tertindas menyadari bahwa hidup ini tidak selalu berkaitan langsung dengan kehendak atau campur tangan Tuhan? Bagaimana jika mereka sadar bahwa penderitaan yang mereka alami bukanlah hukuman atas kurangnya kesalehan, melainkan buah busuk dari pohon sistemik yang dirawat oleh kekuasaan tiranik, hegemonik, dan manipulatif?
Esai ini adalah utopia pemikiran. Bukan untuk mengajak menafikan Tuhan, tetapi untuk menggugat cara manusia terutama penguasa telah menjadikan Tuhan sebagai tameng kejahatan struktural. Ini adalah proklamasi tentang kemungkinan dunia yang berubah ketika yang tertindas menemukan kebenaran di balik kabut dogma, menemukan bahwa “beriman” bukan berarti menerima penindasan, dan bahwa pembebasan adalah ibadah paling tinggi.
—
Filosofi Kesadaran: Tuhan Tidak Menciptakan Penjara
Filsuf eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre menyatakan bahwa manusia “dikutuk untuk bebas” sebuah paradoks yang menggugah: kebebasan adalah beban. Dalam kenyataannya, sebagian besar manusia justru memilih menyerahkan kebebasannya kepada otoritas, kepada sistem, bahkan kepada interpretasi agama yang menjebak. Ketika hidup menjadi terlalu berat untuk dimengerti, sebagian memilih jawaban instan: “Ini kehendak Tuhan.”
Namun, apakah Tuhan adalah arsitek dari sistem ekonomi yang timpang? Apakah Tuhan yang menciptakan upah murah, kapitalisme predator, atau militer yang menembak demonstran? Atau justru manusialah yang menciptakan itu semua, lalu menyematkan nama Tuhan agar tak bisa digugat?
Dalam filsafat keadilan sosial, khususnya dalam pemikiran Paulo Freire, ketidaksadaran akan struktur penindasan disebut sebagai false consciousness. Ketika rakyat miskin percaya bahwa kemiskinan mereka adalah “jalan menuju surga”, maka kekuasaan tak perlu lagi beroperasi secara brutal cukup menyebar dogma dan menjaga agar rakyat tak belajar berpikir kritis.
—
Politik Hegemoni: Kekuasaan yang Mengabdi pada Ketidaktahuan
Antonio Gramsci, seorang teoretikus Marxis, pernah mengatakan bahwa hegemoni bukan sekadar dominasi fisik, melainkan kontrol atas cara berpikir. Hegemoni menciptakan realitas palsu yang diterima sebagai kebenaran. Dalam konteks ini, politik tidak lagi tampak sebagai alat perebutan kekuasaan, melainkan pengelolaan kesadaran.
Di banyak negara, termasuk dalam konteks Indonesia, hegemoni beroperasi lewat institusi-institusi agama, pendidikan, dan media. Pemimpin yang zalim akan lebih mudah mempertahankan kekuasaannya ketika rakyat percaya bahwa pemimpin adalah “wakil Tuhan” di bumi. Ketika sistem gagal memberi makan, maka rakyat diajarkan untuk lebih rajin berdoa. Ketika keadilan tak kunjung datang, rakyat disuruh lebih bersabar.
Inilah cara kekuasaan bekerja: bukan sekadar memukul, tapi membutakan. Seorang diktator tak perlu membakar buku-buku jika ia bisa meyakinkan rakyat bahwa membaca adalah sia-sia. Ia tak perlu menutup sekolah, jika ia bisa menjadikan sekolah sebagai mesin pencetak kepatuhan.
—
Sosial-Religius: Iman sebagai Alat Pembebasan, Bukan Penundukan
Religiusitas dalam esai ini bukan untuk ditolak, melainkan untuk direklamasi. Karena dalam sejarahnya, agama bukan hanya alat kekuasaan – agama juga pernah menjadi nyala revolusi. Nabi Musa melawan Firaun, Yesus melawan hipokrisi agamawan, Nabi Muhammad melawan sistem feodal Quraisy. Tokoh-tokoh spiritual agung tak pernah membiarkan kekuasaan zalim bercokol dengan dalih ketuhanan.
Sayangnya, institusi agama kerap dikooptasi oleh negara dan elite ekonomi. Khotbah hari ini lebih banyak membicarakan aurat perempuan daripada praktik riba global; lebih sibuk mempromosikan kesalehan personal daripada menyoroti ketimpangan sosial. Umat diajarkan untuk taat kepada negara bahkan ketika negara adalah mesin perampas tanah, penggusur rumah, dan pencabut nyawa.
Utopia kita dimulai saat iman dipahami bukan sebagai penyerahan mutlak, melainkan sebagai kekuatan untuk menuntut keadilan. Ketika rakyat sadar bahwa membela hidupnya dari penindasan adalah bagian dari keimanan, maka runtuhlah kekuasaan yang hanya bertumpu pada dogma palsu.
—
Apa yang Akan Terjadi Jika Kesadaran Itu Terjadi?
Bayangkan jika rakyat di desa-desa, buruh di pabrik-pabrik, pekerja informal di jalanan, dan pengangguran yang tak terdengar suaranya semua secara kolektif sadar bahwa mereka bukan menderita karena kutukan atau karma, melainkan karena sistem yang dirancang untuk membuat mereka tetap di bawah.
Bayangkan jika kesadaran ini tidak berhenti di mulut, tetapi mengalir menjadi tindakan sosial, menjadi gerakan rakyat lintas iman, lintas kelas, lintas generasi.
Yang akan terjadi?
1. Kekuasaan akan gemetar. Karena kekuatan dominasi tidak lagi datang dari senjata, tetapi dari ketakutan rakyat untuk melawan. Ketika rasa takut digantikan oleh keyakinan bahwa melawan adalah perintah moral dan spiritual, maka aparat tidak akan mampu menghentikan lautan manusia.
2. Institusi agama akan digugat. Mereka yang selama ini diam atas korupsi dan kekerasan negara akan ditantang. Akan lahir pemuka agama baru—bukan dari mimbar mewah, tetapi dari jalanan perjuangan.
3. Kapitalisme akan terguncang. Karena fondasi kapitalisme adalah ilusi meritokrasi. Jika rakyat sadar bahwa kerja keras saja tidak cukup dalam sistem yang timpang, maka pasar bukan lagi tempat untuk berjuang sendirian, tapi untuk membangun solidaritas.
4. Dunia baru mungkin muncul. Sebuah dunia di mana iman tidak bertentangan dengan keadilan sosial. Di mana Tuhan tidak dijadikan tameng, tetapi sumber kekuatan untuk membebaskan manusia dari eksploitasi.
—
Penutup: Utopia Sebagai Ancaman Bagi Kekuasaan
Utopia bukan berarti khayalan yang mustahil. Ia adalah arah kompas yang menunjukkan bahwa dunia saat ini tidak harus diterima apa adanya. Utopia adalah mimpi kolektif yang mengganggu tidur para tiran.
Ketika rakyat tertindas sadar bahwa mereka tak lagi sendirian, bahwa penderitaan mereka bukan takdir tetapi konstruksi, maka kekuasaan yang zalim tidak punya tempat untuk bersembunyi. Karena saat itulah, rakyat tidak lagi minta pertolongan dari langit, tetapi saling menggandeng tangan di bumi dan dari situ, keajaiban yang sejati lahir.
Dan mungkin, justru di situlah Tuhan benar-benar hadir: dalam upaya manusia untuk membebaskan sesamanya dari segala bentuk penindasan.
—
“Maka bertanyalah sang penindas: bagaimana mungkin kalian melawan kami? Bukankah Tuhan bersama kami?”
Dan jawab rakyat pun bergema: “Tidak, Tuhan bersama yang tertindas, yang tak menyerah, dan yang mencintai keadilan lebih dari kemewahan kekuasaan.”
Be First to Comment