Sosok Yakult Lady lebih dari sekadar sales. Mereka adalah representasi perempuan tangguh yang bekerja mempertahankan martabat, jauh dari sorotan elitisme feminis. Baca kisah penuh makna dan kritik sosialnya di sini.

Ibu-Ibu Yakult: Potret Perempuan Tangguh di Jalanan yang Terlupakan Wacana Feminisme
Di jalanan yang sibuk, di antara deru kendaraan dan langkah orang-orang yang terburu-buru, kita kerap melihat sosok perempuan bersepeda mini dengan dua boks besar di sisi kiri dan kanan. Seragamnya sederhana: kemeja lengan panjang, topi bundar untuk melindungi wajah dari matahari, sepatu sport murah, dan senyum yang tak dibuat-buat. Ia adalah Yakult Lady bukan sekadar sales produk kesehatan, tapi simbol ketangguhan perempuan pekerja yang sering luput dari percakapan kelas menengah urban maupun wacana feminisme salon yang gemar bergumul pada karier, jabatan, dan ruang eksklusif lainnya.
Yakult Lady memang menjalankan peran sebagai tenaga pemasaran langsung, berkeliling dari satu rumah ke rumah lain, dari satu blok ke blok lainnya. Tapi pekerjaan itu hanyalah kulit luar. Yang jauh lebih dalam dan bernilai adalah perjuangan yang mereka lakukan dalam diam tanpa panggung, tanpa sorotan media, tanpa konferensi gender atau seminar perempuan. Dalam keheningan dan keringat, mereka membawa satu hal yang barangkali telah lama dilupakan dalam diskursus kerja dan feminisme: bahwa bekerja adalah soal martabat.
Antara Pilihan dan Keniscayaan
Mayoritas dari para Yakult Lady bukanlah perempuan muda, melainkan ibu-ibu di usia 40 ke atas. Ada yang menjadi tulang punggung keluarga, ada yang sudah menjanda, ada pula yang menolak bergantung pada anak-anaknya di usia senja. Mereka bekerja bukan untuk mengejar gaya hidup, bukan pula untuk eksistensi sosial media, tapi karena hidup memanggil mereka untuk tetap tegak berdiri.
Di tengah segala keterbatasan, mereka memilih untuk bekerja bukan mengemis, bukan menggantungkan diri pada subsidi atau belas kasihan, dan bukan pula larut dalam apatisme. Inilah bentuk keberdayaan sejati. Keberdayaan yang tidak datang dari pemberian negara atau diksi empowerment dalam iklan-iklan multinasional, tetapi tumbuh dari keputusan pribadi untuk mempertahankan marwahnya sebagai manusia.
Setiap pagi, ketika kota masih menguap sisa kantuk, mereka telah siap mengayuh sepeda. Matahari belum meninggi, tapi semangat mereka sudah sampai di ujung pemukiman yang menjadi wilayah distribusi mereka. Mereka tahu setiap sudut, nama pelanggan, dan bahkan cerita kecil dari rumah tangga yang mereka kunjungi. Di balik distribusi botol mungil itu, ada relasi sosial yang dibangun sebuah modal sosial yang tak terlihat, tapi menjadi pondasi ketangguhan mereka.
Ketangguhan yang Tak Glamor, Tapi Nyata
Ketika feminisme hari ini sering kali dibingkai lewat keberhasilan perempuan dalam ruang profesional, jabatan tinggi, atau pencapaian akademik, para ibu Yakult ini justru menampilkan narasi lain. Narasi yang sunyi, tapi substansial. Bahwa tidak semua ketangguhan harus dibingkai dalam performa media atau kutipan-kutipan intelektual.
Dalam kerangka feminisme mapan, mereka mungkin hanya dianggap “pekerja rendahan” bahkan tak masuk hitungan dalam indeks representasi perempuan dalam sektor strategis. Tapi bagi kita yang bersedia melihat lebih dekat, mereka adalah wajah lain dari gerakan perempuan. Gerakan yang tidak berbicara, tapi bekerja. Tidak berteriak di forum, tapi hadir setiap hari melawan kepenatan dan keterbatasan hidup.
Apa yang mereka lakukan bukan sekadar tentang ekonomi rumah tangga, melainkan bentuk resistensi. Resistensi terhadap dominasi sistem yang membuat perempuan di usia tertentu dianggap tidak lagi produktif. Resistensi terhadap budaya yang menganggap ibu-ibu hanya pantas di rumah. Resistensi terhadap wacana-wacana perempuan yang terlalu sering bersarang di ruang menara gading dan lupa menyapa realitas kelas bawah.
Kritik untuk Feminisme Elitis
Kita harus berani mengakui bahwa sebagian besar narasi besar dalam gerakan perempuan hari ini masih cenderung eksklusif. Terjebak dalam glorifikasi pencapaian personal, terkadang lupa bahwa feminisme lahir dari denyut nadi kelas pekerja dari pabrik, dari dapur, dari jalanan. Bukan dari ruang seminar atau sudut kafe hipster di pusat kota.
Ketika feminisme hanya bicara tentang “perempuan CEO”, “perempuan pemimpin”, atau “perempuan inspiratif dengan jutaan follower”, ia mulai kehilangan koneksi dengan akar rumputnya. Yakult Lady, dan perempuan pekerja informal lainnya, kerap menjadi sosok yang tidak dianggap relevan dalam peta politik identitas hari ini. Mereka dianggap terlalu “biasa” untuk mewakili gagasan emansipasi. Padahal justru dari ketidakterlihatan itu, kita melihat bentuk keberanian paling murni.
Martabat yang Tak Butuh Afirmasi
Yang menjadikan para ibu Yakult ini luar biasa bukanlah karena mereka punya jabatan tinggi, bukan pula karena mereka mengubah sistem secara langsung. Tetapi karena mereka tetap memilih bekerja, ketika banyak hal menyarankan mereka untuk berhenti. Mereka tetap hadir di ruang publik, ketika banyak yang berharap mereka menghilang setelah “tua”. Dan mereka tetap tersenyum, bahkan ketika pendapatannya hanya cukup untuk bertahan hidup.
Di tengah zaman ketika kerja diukur dengan status LinkedIn dan jumlah pengikut Instagram, mereka menawarkan versi lain dari kerja: kerja yang melestarikan martabat, bukan menebalkan gengsi. Kerja yang tidak menuntut pengakuan, tapi tetap dilakukan dengan sepenuh hati.
Ketika kita bicara tentang perempuan tangguh, mari jangan hanya melihat ke layar televisi atau profil media sosial tokoh publik. Mari turun ke jalan, dan lihat ibu-ibu bersepeda dengan kotak di kiri dan kanan. Lihat wajah mereka yang berkeringat, tapi tak kehilangan harapan. Lihat tubuh mereka yang mengayuh, membawa beban, tapi tetap tenang dan tegar. Di sana, feminisme menemukan dirinya kembali dalam bentuk paling purba dan paling murni.
Karena sesungguhnya, ketangguhan bukan soal siapa yang bicara paling lantang, tapi siapa yang tetap bergerak, meski dunia seakan tak peduli. Dan di balik kotak Yakult yang mereka bawa, tersembunyi satu hal yang tak tergantikan: harga diri seorang perempuan.
Be First to Comment