Press "Enter" to skip to content

Kasdut Belater: Lelaki Tanpa Alamat

cerpen Kasdut

penulis: kusni

Sejak malam itu, sejak suara celuritnya mengoyak kaki lelaki yang berani menyentuh martabat ibunya, Kasdut tidak pernah lagi pulang. Nama dan wajahnya menempel di dinding warung dan pos ronda, diselipkan dalam amplop yang dibawa aparat berpakaian preman. Ibu-ibu kampung menyebutnya seperti menyebut hantu: dengan rasa takut sekaligus hormat.

Ia menjelma lelaki tanpa alamat. Tidur berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain, numpang di kamar sempit milik kawan-kawan lamanya—yang setia meski tahu Kasdut membawa bau pelarian dan masalah. Di salah satu gang belakang rumah sakit tua, tempat aroma obat bercampur got dan suara azan magrib bersaing dengan klakson becak barang, Kasdut menemukan ritme baru hidupnya. Bekerja sebagai montir tidak tetap di bengkel motor kecil yang lebih banyak hidup di malam hari.

Pagi hingga magrib, bengkel itu hanyalah tempat oli menetes dan tangan-tangan kasar memperbaiki karburator. Tapi ketika azan isya memantul di tembok-tembok gang sempit, tempat itu berubah. Menjadi markas. Anak-anak muda berdatangan, rambut dicat pirang atau dibiarkan gondrong. Bau bensin oplosan dan paloma murahan mengisi udara. Mereka bukan mekanik—mereka pembalap liar. Dan di sinilah, di bawah cahaya neon bengkel yang remang dan musik dangdut remix dari speaker yang rusak bassnya, Kasdut kembali menemukan arena perangnya.

Ia tak sekadar memperbaiki motor. Ia ikut bertaruh. Uang hasil upah montir dibakar dalam lingkaran taruhan. Kadang menang, kadang rugi babak belur. Tak jarang Kasdut terlibat perkelahian masal saat pihak yang kalah tak mau menyerahkan uang kesepakatan hasil taruhan. Pernah Suatu waktu ia terlibat pekelahian karena membela pemuda perantauan yang dibuli preman kampung—seorang pemabuk yang hobi menginjak siapa saja yang tampak lemah. Malam itu, meja kayu berisi botol-botol paloma berubah menjadi senjata. Berawal dari cekcok mulut dimana Kasdut membela pemudah perantauan tersebut dan berlanjut dengan lima botol kosong bekas paloma dihantamkan Kasdut ke kepala si preman. Satu per satu, denting botol pecah, darah berceceran, dan preman itu roboh seperti karung beras. Seminggu kemudian, Kasdut mendengar kabar bahwa salah satu mata preman itu kini juling dan penglihatannya rusak permanen.

“Sudah biasa,” kata Kasdut lirih. “Kalau tak ingin dibalas, jangan menginjak.”

Di antara kehidupan penuh luka itu, ia masih menyisakan sejumput keyakinan. Tiap Jumat, Kasdut mencuci wajahnya, mengenakan baju paling layak, dan berjalan kaki ke masjid di ujung gang. Ia duduk di saf belakang, tak bersuara, hanya memandangi lantai dan menyimak khotbah. Barangkali Tuhan masih bersedia menatapnya, walau tak bisa lagi menjadikannya contoh.

Lalu datang malam itu.

Balapan besar, taruhan besar. Lintasan yang digunakan: ruas jalan kosong di depan rumah sakit tua, yang berseberangan dengan pasar tradisional. Pukul dua dini hari, sandal japit dijatuhkan. Dua motor meraung, RX-King dan Ninja modifan. Udara pecah. Suara knalpot menggema di dinding rumah sakit tua yang kusam dan berjamur.

Kasdut tak balapan. Ia bertaruh. Uang tabungan seminggu jadi montir diserahkan ke bandar judi pinggiran, tempat dimana taruhan dilakukan oleh parah penonton diluar dari kesepakatan para pembalab yang sedang beradu kencang. Degup jantungnya mengikuti deru roda. Dan ketika jagoannya menang—motor RX-King biru dengan knalpot berasap putih itu menyentuh garis akhir lebih dulu—Kasdut melompat kecil. Matanya menyipit mencari bandar. Tapi yang ia lihat hanya punggung lelaki itu yang berlari—kabur—menyelinap ke gang di samping stasiun.

Tanpa pikir panjang, Kasdut naik RX-King-nya dan mengejar.

Stasiun itu gelap. Lampu jalan mati. Aspal dingin dan jalan berlubang. Di tikungan ke dua, sebuah gerombolan pria menghadangnya. Lima orang. Salah satunya—bandar yang lari tadi.

cerpen Kasdut

Kasdut turun. Helaan napasnya dalam, berat. Ia tahu malam ini bukan malam biasa. Tangannya meraba belati di punggung, mata menatap satu per satu lelaki di depannya.

“Balekno duwek ku,” katanya dingin.

Tak ada jawaban. Hanya langkah kaki mereka yang makin mengepung.

Lalu, semuanya meledak.

Gerak pertama, Kasdut menebas perut pria terdekat. Balasan datang dari belakang—bogem ke pelipisnya. Ia berputar, menghantamkan kepala lawannya tepat ditelinganya ke batang besi pembatas rel. Dentuman keras. Darah. Jeritan.

Lawan-lawan Kasdut tidak diam. Pukulan besi menghantam bahunya. Tendangan ke rusuk. Tapi Kasdut tak roboh. Ia seperti binatang terluka yang semakin buas. Belatinya menari. Sayatan di leher, lengan, punggung lawan. Satu dari mereka ia banting ke tanah dan menghajar kepala ke aspal hingga nyaris pingsan.

Namun lima lawan tetap lima. Jumlah menang. Kasdut terhuyung. Hidungnya pecah, darah menetes ke bibir. Matanya lebam. Napasnya pendek. Tapi satu pikirannya tak mau padam:

Uang itu untuk makan. Untuk ibu.

Hingga akhirnya, suara-suara dari kejauhan datang. Warga kampung terbangun. Beberapa muncul sambil mengacung-acungkan balok kayu, berteriak, membubarkan.

Gerombolan lawannya bubar lebih dulu. Kasdut menyalakan motor. RX-King meraung. Ia melaju, meninggalkan tempat itu, meninggalkan darah dan luka, tapi tidak membawa uangnya.


Pagi harinya, Kasdut duduk di emperan bengkel. Wajahnya bengkak, tangan kanan dibalut perban, matanya menyipit menahan nyeri. Tapi ia tak diam.

Ia hanya menggenggam selembar catatan kecil. Di sana ia tulis:
“Cari kerja tambahan. Minggu ini kirim sembako. Jangan sampai Ibu tahu aku makin miskin.”

Di dunia yang menggigit lebih dulu sebelum ditanya niat, Kasdut belajar bahwa laki-laki bukan ditentukan dari siapa yang ia pukul, tapi dari siapa yang tak ingin ia biarkan kelaparan.

Dan hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, Kasdut kembali hidup—di kota yang tak pernah benar-benar menaruh belas kasihan, tapi selalu memberi cukup ruang untuk seorang bajingan bernama Kasdut bertahan.


Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *