Press "Enter" to skip to content

“Revolt dan Estetika Pinggiran: Komik Sebagai Politik Kultural”

komik berjudul Jancok karya Revolt

“Revolt dan Estetika Pinggiran: Komik Sebagai Politik Kultural”

Orang-orang yang menulis komik dengan amarah, pada dasarnya bukan sedang menciptakan cerita. Mereka sedang menciptakan keretakan kecil di dinding keheningan. Karena seperti juga sejarah yang ditulis dari pinggiran, komik yang keluar dari studio bernama Bunuh Diri Room ini tak menawarkan pelipur lara. Ia menawarkan sebentuk kerikil di mulut kekuasaan yang terlalu penuh.

Saya tidak tahu siapa Revolt. Tapi mungkin itu memang niatnya: untuk tidak diketahui. Dalam masyarakat yang senang menepuk bahu mereka yang bersuara lantang hanya jika suara itu menyenangkan, barangkali memang lebih aman untuk hadir sebagai nama samar. Tapi dengan nama itu—yang mengandung muatan kata kerja, “memberontak”—Revolt menyampaikan satu kalimat yang sangat terang: kita belum selesai.

Dan lalu komik Jancok itu terbit.

Ada yang bilang makian tidak punya tempat dalam kesusastraan. Barangkali mereka benar, barangkali juga tidak. Tetapi di tangan Revolt, satu kata kasar yang terlalu sering kita dengar di warung kopi, terminal bus, atau dalam desahan frustrasi di balik kemudi motor itu, berubah menjadi tajuk utama sebuah narasi sosial yang muram tapi jujur.

Bukan sebuah hujatan kosong. Tapi hujatan yang penuh sejarah. Kata itu, yang diangkat menjadi judul, menjadi penanda bahwa karya ini tidak hendak berjalan di tengah jalan, melainkan di trotoar yang retak. Atau bahkan di jalan belakang yang tidak pernah diaspal karena tidak masuk anggaran prioritas.

Peluncuran komik ini dilakukan dengan sederhana—tapi juga tidak bisa disebut sekadar sederhana. Ia dilakukan di Cakrawalakata Ruang Kreatif dan Literasi, sebuah tempat di Surabaya Timur yang lebih menyerupai semacam rumah kultural bagi seniman-seniman tanpa gaji tetap, penulis-penulis tanpa ISBN, dan pembaca-pembaca yang lebih senang membaca kehidupan ketimbang membaca kuis di media sosial.

Studio Bunuh Diri Room, yang namanya saja sudah seperti satire terhadap industri seni yang gemar menjual bunuh diri sebagai estetik semata, memilih berjalan bersama Penerbit Lumpur. Saya kira, ada yang menarik dari pilihan itu. Lumpur, bagi banyak orang, adalah kotoran. Tapi justru di lumpur itulah tumbuh benih padi. Di lumpur pula Revolt dan kawan-kawannya menyemai benih wacana yang tak hendak tumbuh di ladang-ladang korporasi.

salah satu karya yang dipamerkan oleh Revolt

Di tengah ruang kecil, di antara rak-rak buku dan tembok yang dipenuhi ilustrasi, Jancok muncul bukan sekadar buku bergambar. Ia semacam memoar sosial. Setiap panelnya adalah potongan realitas yang tak pernah diberi panggung. Wajah-wajah muram, kota-kota yang kehilangan warna, dan percakapan antar tokoh yang kaku karena tak ada yang tersisa untuk dicairkan. Kita sedang tidak baik-baik saja, kata komik itu. Dan kita perlu mengatakannya dengan keras.

Warna hitam putih mendominasi halaman demi halaman. Ada sedikit merah di sana-sini. Bukan merah revolusi, tapi merah luka. Sebentuk isyarat bahwa segala yang kita banggakan dalam narasi “kemajuan” sering kali dibangun di atas tubuh-tubuh yang terpaksa diam.

Komik ini bukan hanya tentang cerita. Ia tentang keberanian untuk mengubah media populer menjadi medan kritik. Ia tentang membajak format yang biasanya dipakai untuk humor, aksi, atau drama ringan menjadi medium untuk menyampaikan kegelisahan struktural. Revolt tidak sedang membuat karakter yang menang melawan musuhnya. Ia sedang menyampaikan bahwa musuhnya justru ada di mana-mana—di bangku-bangku DPR, di layar-layar infotainment, di tagihan listrik, dan bahkan di dalam pikiran kita sendiri.

Dan karena itu, Jancok bukan komik yang bisa dinikmati sambil lalu. Ia mengganggu. Ia tak ingin dibaca untuk dilupakan. Ia ingin diserap, seperti udara panas di kota, seperti debu yang terus menempel meski kita sudah mandi.

Deretan karya digaleri Cakrawalakata

Yang membuat peluncurannya menjadi istimewa bukan hanya karena komik ini bicara keras, tapi karena ia dibicarakan bersama. Revolt memamerkan ilustrasi-ilustrasi lain di sekelilingnya. Tak satu pun menyenangkan. Tapi semuanya penting. Dan lebih penting lagi: semua itu lahir dari pengalaman. Dari pengamatan langsung, dari perasaan tidak berdaya yang dipendam terlalu lama.

Saya kira, yang terjadi di Surabaya Timur pada tanggal 21 Juni itu bukan hanya peluncuran karya. Ia adalah bagian dari ritual kultural yang kini semakin langka: ketika seni hadir bukan untuk merayu pasar, tapi untuk menggugat kenyataan. Ketika seniman hadir bukan sebagai selebriti, tapi sebagai saksi.

Dalam situasi seperti ini, kita tidak bisa hanya menjadi penonton. Karena diam di tengah perayaan perlawanan adalah bentuk lain dari pengkhianatan. Dan oleh karena itu, tulisan ini adalah catatan kecil untuk mengatakan bahwa kita masih bersama mereka—mereka yang menulis, menggambar, dan menerbitkan bukan karena dijanjikan tepuk tangan, tapi karena tahu bahwa diam adalah bentuk lain dari kematian.

Dan Jancok, dalam segala kekasarannya, adalah upaya untuk tidak mati.


Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *