
“Gus Ulil Adalah Bukti Nyata Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia Itu Kotor dan Bodoh”
penulis : Aditya Poundra
Sektor pengelolaan pertambangan di Indonesia, sejatinya tidak pernah bertujuan untuk kemakmuran rakyat. Praktik demikian, telah terjadi sejak Orde Baru berkuasa.
Terbaru, adalah peristiwa eksplorasi tambang di kawasan Raka Empat. Pemerintah dalam hal ini, semakin menunjukkan bahwa kebijakan hilirisasi di sektor pertambangan wajib untuk dievaluasi serta dikritisi secara terus menerus. Melalui berbagai macam dinamikanya, proses pengerukan kekayaan alam yang ekstraktif terindikasi secara kuat mengingkari prinsip keadilan sosial-ekologis, serta marak praktik korupsi dalam aspek tata kelolanya.
Realitas ini, bertolak belakang dengan imaji kesejahteraan yang dicita-citakan oleh pemerintah.
Indonesia memang dikenal sebagai salah satu kawasan dengan cadangan kandungan nikel terbesar di dunia. Data terakhir, tercatat cadangan nikel yang telah dieksplorasi Indonesia mencapai 5.2 milliar Ton.
Sejak Presiden Joko Widodo membuat kebijakan hilirisasi untuk nikel. Ekspor nikel Indonesia meningkat secara signifikan sejak tahun 2015.
Namun, untuk mengetahui sejauh apa efek atau hasil dari kebijakan tersebut. Kita perlu skeptis dalam mencari fakta, seperti apa realitas yang dihadapi masyarakat lokal yang hidup di sekitar kawasan tambang.
Apakah nilai manfaat yang terkandung dari tanah leluhurnya dapat mereka nikmati? Atau justru sebaliknya, mereka tersingkir, tercerabut dari tanah yang selama ini mereka jaga, dan hidup damai berdampingan dengan ekologi setempat akibat dari praktik koruptif yang hanya menguntungkan kelompok elit dan para proxy-nya.
Dalam sejarahnya, upaya pemerintah mencegah praktik korupsi dalam pemberian izin di sektor pertambangan terbukti gagal total. Yang terjadi malahan penyempitan ruang akuntabilitas, serta pelemahan aspek-aspek integritas.
Kebijakan hilirisasi tersebut, faktanya hanya memberikan previlage bagi para oligarki, elite, dan para proxy kekuasaan. Setidaknya, kita dapat mengidentifikasi secara kasat mata, tidak kurang dari 6 (enam) lingkaran aktor berbagai level yang berkelindan didalam gurita dan relasi kuasa pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia.
1. Aktor Istana.
2. Aktor Kementerian.
3. Aktor Aparat.
4. Aktor Konglomerat.
5. Aktor Pemerintah Daerah.
6. Aktor Organisasi Masyarakat.
Oleh karena itu, apabila terdapat berbagai kelompok masyarakat sipil yang mempunyai pandangan pesimistis terhadap implementasi kebijakan hilirisasi pertambangan menjadi sebuah kewajaran.
Alih-alih menjadi solusi kesejahteraan rakyat, dan shifting menuju energi terbarukan, eksploitasi tambang justru merampas ruang hidup komunitas masyarakat lokal, belum lagi dampak serius terhadap krisis sosial ekologis, konflik agraria, serta pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Sementara itu, mengetahui seperti apa perspektif Gus Ulil selalu Ketua PBNU yang notabene mendapatkan bagian konsesi pengelolaan pertambangan. Adalah isyarat mutlak bagi kita, bahwa pola pikir pemerintah tak jauh berbeda.
Dalam kesempatan dialog pada Program Kompas TV yang dipandu oleh Risianna Silalahi, Gus Ulil secara gamblang memberikan labeling ‘Wahabi Lingkungan’ kepada Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Iqbal Darmanik.
Kedangkalan berpikir Gus Ulil, adalah bukti nyata cara pandang pengelolaan SDA di Indonesia itu kotor dan Bodoh.
Penulis dalam hal ini memberikan pesan terbuka kepada Gus Ulil selalu Ketua PBNU.
Pertama, bagi masyarakat adat, ekspansi pertambangan (nikel) akan dan telah menghancurkan warisan komunitas adat mereka.
Kehidupan mereka kini terancam dan dikepung oleh puluhan korporasi tambang. Komunitas adat dalam hal ini semakin kehilangan ruang hidup yang mereka warisi dan jaga secara turun temurun.
Penyerobotan tanah ulayat selalu melahirkan konflik dengan perusahaan pertambangan. Hal tersebut lahir akibat dari penerbitan izin eksplorasi yang sarat dengan penyalahgunaan kekuasaan dengan menggunakan aturan yang hanya menguntungkan segelintir orang.
Disisi lain, ketika muncul penolakan atau perlawanan dari masyarakat. Berbagai intimidasi akan dilakukan dengan menggunakan kekuatan aparat serta ormas yang menjadi proxy kekuasaan.
Hal demikian, jamak terjadi di Indonesia yang mengarah pada Etnogenosida. Komunitas masyarakat lokal pun, semakin terpisah baik dari aspek ekonomi, sosial, dan lingkungannya.
Gap implementasi dari kebijakan hilirisasi nikel ini lahir akibat praktik korupsi dan perampasan ruang hidup atas nama cita-cita semu hilirisasi sektor pertambangan di Indonesia. Dan yang akan menerima dampak nyata adalah masyarakat lokal yang hidup di sekitar lingkaran kawasan tambang.
Kedua, labeling ‘Wahabi Lingkungan’ bagi para aktivis dan masyarakat yang memberikan concern pada pelestarian lingkungan adalah bentuk kesesatan berpikir.
Gus Ulil mengatakan, “Orang Wahabi itu sebegitunya kepingin menjaga kemurnian teks, sehingga teks tidak boleh disentuh sama sekali”.
Kenyataannya bukankah, Agama Islam dibangun di atas Dalil.
Allah berfirman, “Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan ia tidak akan celaka,” (Qs Thaha (20) : 123)
Para ulama salaf juga telah memperingatkan kita untuk berhati-hati, agar tidak menafsirkan Al-Qur’an secara sembarangan.
Ibnu Katsir mengatakan, “Menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan logika semata, hukumnya haram”. (Tafsir Al-Qur’an Al’Azim, 1:11)
Tak hanya itu, dari Abu Bakar ash-Shidiq, ia berkata. ” Langit mana yang akan menaungiku, dan bumi mana yang akan menampungku, jika aku berkata tentang Kitab Allah SWT berdasarkan pendapat (semata)”. (Ibnu Qayyim, I’lam al Muwaqqiin 1/87).
Semoga Gus Ulil segera melakukan pertaubatan ekologis demi kemaslahatan umat dan bumi yang sesungguhnya.
Be First to Comment