
Opini
“Rahmat yang Dieksploitasi: Menolak Narasi Suci atas Kerusakan Alam”
Saya menulis ini sebagai bentuk kekecewaan dan keresahan moral saya terhadap sikap sebagian organisasi keagamaan besar di Indonesia yang secara terang-terangan memberikan dukungan terhadap proyek pertambangan masif yang terjadi secara luas di negeri ini. Dalam berbagai pernyataan publik dan kerja sama yang diumumkan, mereka menyematkan justifikasi teologis bahwa Tuhan telah menciptakan bumi dan seluruh isinya sebagai rahmat bagi umat manusia, dan oleh karenanya manusia wajib memanfaatkannya. Di permukaan, narasi ini terdengar masuk akal, bahkan religius. Namun jika dicermati secara lebih dalam, narasi ini sarat dengan bias antroposentris yang tidak hanya mengabaikan krisis ekologis yang sedang berlangsung, tetapi juga secara langsung dan tidak langsung melegitimasi kerusakan alam yang tak terpulihkan. Saya tidak menolak kenyataan bahwa kita membutuhkan energi: listrik, bahan bakar minyak, dan sumber daya lainnya untuk menjalankan roda kehidupan sosial dan ekonomi, tetapi saya tidak bisa menerima cara dan skala di mana eksploitasi terhadap alam dilakukan—terlalu masif, brutal, dan tak jarang mengorbankan hak hidup masyarakat adat serta ekosistem yang telah ada jauh sebelum logika industri modern masuk. Ironisnya, organisasi-organisasi yang semestinya menjadi benteng moral dan penjaga nilai-nilai spiritual justru memilih berdiri di belakang agenda industrialisasi ekstraktif yang berorientasi pada akumulasi kapital. Mereka membungkus dukungan tersebut dengan narasi bahwa manusia wajib mengambil manfaat dari alam sebagai bentuk syukur atas nikmat Tuhan, padahal narasi tersebut hanya mengulang logika ekonomi yang sama sekali tak memperhitungkan daya dukung lingkungan, keberlanjutan hayati, dan hak makhluk hidup lain di bumi ini.
Jika kita melihat ini melalui kerangka pemikiran Karl Marx, maka jelaslah bahwa apa yang terjadi merupakan bentuk nyata dari alienasi ekologis: manusia tercerabut dari relasi aslinya dengan alam karena didorong oleh sistem produksi kapitalistik yang menjadikan alam semata-mata sebagai objek komodifikasi. Dalam sistem seperti ini, semua yang bisa menghasilkan nilai tukar akan diekstraksi dan dimonetisasi, termasuk hutan, tambang, air, bahkan udara. Marx mengkritik bahwa sistem kapitalisme mengalienasi manusia dari alam karena ia menempatkan nilai pada benda berdasarkan potensi pasarnya, bukan nilai intrinsik atau ekologisnya. Maka ketika agama—yang seharusnya mengajarkan nilai spiritual, keseimbangan, dan kesucian ciptaan Tuhan—malah bergabung dengan logika kapitalistik ini, yang terjadi adalah apa yang bisa disebut sebagai koalisi antara kekuatan spiritual dan kekuatan modal, sebuah bentuk kolusi ideologis yang berbahaya. Tidak hanya melegitimasi kehancuran, tetapi juga menumpulkan kesadaran kritis umat beragama tentang tanggung jawab ekologis mereka. Pandangan ini sejalan dengan kritik Noam Chomsky terhadap bagaimana ideologi dominan direproduksi melalui media, pendidikan, dan institusi sosial lainnya untuk membuat masyarakat menerima kebijakan yang sebenarnya merugikan mereka. Dalam kasus ini, narasi keagamaan berfungsi seperti propaganda: ia membuat eksploitasi besar-besaran terhadap alam tampak sah dan bahkan bermoral. Padahal sesungguhnya, hal ini adalah bentuk lain dari manufaktur persetujuan (manufacturing consent), di mana umat secara tidak sadar didorong untuk menyetujui dan mendukung aktivitas yang pada dasarnya menghancurkan rumah mereka sendiri.
Lebih menyedihkan lagi, eksploitasi ini tidak hanya berdampak pada rusaknya lingkungan secara fisik—seperti deforestasi, pencemaran laut, dan hilangnya keanekaragaman hayati—tetapi juga memicu disintegrasi sosial, memperparah ketimpangan ekonomi, dan mempercepat hilangnya pengetahuan lokal tentang bagaimana merawat dan hidup berdampingan dengan alam. Masyarakat adat yang selama ratusan tahun menjaga hutan dan gunung harus tergusur, digantikan dengan korporasi yang hanya peduli pada profit jangka pendek. Semua ini terjadi dengan restu yang secara tidak langsung diberikan oleh organisasi keagamaan yang semestinya berpihak pada keadilan, pada kehidupan yang penuh welas asih dan keseimbangan. Dalam konteks ini, saya merasa marah dan terguncang: bagaimana mungkin keyakinan kepada Tuhan yang Maha Pengasih bisa digunakan untuk membenarkan kehancuran ciptaan-Nya? Bagaimana bisa ajaran yang seharusnya membawa kedamaian dan harmoni justru dipelintir untuk mendukung kehancuran ekosistem dan penderitaan manusia lain? Kita harus menolak dengan tegas segala bentuk penggunaan narasi ilahiah sebagai dalih untuk membenarkan eksploitasi sumber daya alam. Kita harus menyadari bahwa tidak semua yang bisa diambil dari bumi harus diambil. Ada batas, ada etika, ada keseimbangan yang harus dijaga. Alam bukan musuh yang harus ditaklukkan, tetapi mitra kehidupan yang harus dihormati.
Sudah saatnya kita membongkar mitos bahwa pembangunan hanya bisa dicapai melalui ekstraksi masif dan konsumsi energi yang tak terbatas. Kita perlu paradigma baru yang tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tetapi pada keberlanjutan ekologis dan keadilan sosial. Ini bukan hanya tanggung jawab negara atau korporasi, tetapi juga komunitas keagamaan, akademisi, intelektual, dan seluruh warga yang peduli pada masa depan bumi. Saya percaya bahwa spiritualitas sejati adalah spiritualitas yang mengajarkan keterhubungan manusia dengan alam secara holistik, bukan spiritualitas yang menindas atas nama manfaat dan efisiensi. Kita harus mulai membangun narasi tandingan—narasi yang menempatkan manusia bukan sebagai penguasa bumi, melainkan sebagai bagian dari jaringan kehidupan yang luas, yang keberadaannya bergantung pada keberlangsungan seluruh ekosistem.
Sebagai penutup, saya ingin menegaskan bahwa apa yang saya tulis bukanlah serangan terhadap agama, tetapi kritik terhadap bagaimana agama dijadikan alat untuk melanggengkan kepentingan yang justru bertentangan dengan nilai-nilai luhur itu sendiri. Jika Tuhan memang Maha Pengasih dan Maha Bijaksana, maka tidak mungkin Ia melegalkan kehancuran yang dilakukan atas nama-Nya. Maka sudah saatnya kita bertanya: apakah kita benar-benar beriman, atau hanya menjadikan iman sebagai topeng untuk membenarkan kerakusan? Bumi ini adalah rumah kita bersama, dan jika kita tidak menjaganya, maka pada akhirnya kita sendiri yang akan kehilangan tempat berpijak—secara harfiah maupun spiritual.
Be First to Comment